Aku betul-betul tidak mengerti jalan pikiran Nina. Aku selalu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya membuat dia begitu mencintaiku? Setiap saat, di mana pun aku berada, ia terus-menerus menghubungi. Bahkan meski aku sedang di tengah-tengah deadline kerja. Dia bertutur mesra dan bercanda ria bagai hanya diriku harapan terbesarnya. Bahkan dia rela mengabaikan ajakan Aldi ketika Sabtu malam tiba. Padahal, aku sudah berkata bahwa dia bukan tujuan utamaku. Sejak bertemu dengannya pun, aku tak pernah punya niat pacaran.
"Sebenarnya kenapa kamu nggak mau nerima aku jadi pacar kamu seutuhnya, Ndre? Apa aku ini kurang cantik bagi kamu? Atau ada kekurangan lain yang—"
"Aku nggak mandang cewek dari fisik ataupun materi, Nin. Percuma aja. Buat memiliki kamu, aku harus ngorbanin sesuatu yang lebih besar, yaitu jalinan persahabatanku sama Aldi. Udah berapa kali aku bilang ke kamu? Kamu itu cantik dan udah lebih dari cukup. Tapi, aku nggak kayak para cowok di luar sana yang lebih peduli sama fisik cewek. Apa kamu tega ngelihat persahabatan aku sama Aldi rusak?" jelasku, lalu mendengkus gusar sembari menahan gejolak yang hadir di dalam hati ini.
Tidak dimungkiri, melihat wajah Nina yang sendu, hatiku bagai dicabik seribu pisau dan jutaan anak panah. Tak ingin kukatakan aku mencintainya. Meski kalimat itu yang diharapkan Nina, tetapi mencintai tanpa harapan yang jelas merupakan rasa sakit yang akan terus-menerus menghunjam relung.
Bayangkan saja, setelah aku menerimanya menjadi kekasih, lalu apa yang harus kami lakukan? Aku tak tega bahagia di atas penderitaan sahabatku sendiri. Nina pun tahu bahwa hanya Aldi yang kumiliki di dunia ini.
"Jadi ... kamu lebih memilih persahabatan kamu daripada ngaku kalau kamu sayang sama aku? Kenapa, Ndre? Kenapa semua ini harus terjadi sama kita? Apakah sebegitu pentingnya persahabatan kamu—"
"Maaf, Nin. Kamu nggak berhak mempertanyakan apakah sebegitu penting persahabatan aku sama Aldi. Aku lebih dulu ngenal dia daripada kamu. Aku pun udah berutang banyak sama dia. Sekali lagi, maaf, aku nggak cinta sama kamu. Mulai sekarang, kamu harus kembali ke Aldi. Lagian, aku cuma minjem kamu buat semalem, nggak buat selamanya. Nggak ada yang spesial di antara kita dan kamu harus pahami itu."
Terpaksa aku mengatakan kalimat kejam seperti itu. Sebab, jika tak mengambil langkah tegas, bisa-bisa terjadilah apa yang aku takutkan. Nina terlonjak kaget setelah mendengar pernyataan dari mulutku. Aku yakin rasanya jauh lebih sakit daripada saat pertama kali aku menolaknya.
"Apa kamu ... lupa pertemuan awal kita, Ndre? Hujan? Kamu nggak rindu saat-saat itu? Aku jatuh cinta sama kamu pada pandangan pertama, Ndre. Apa kamu tahu alasan kenapa aku cinta banget sama kamu?" Nina membekap mulut rapat-rapat, menahan isak tangis yang makin lama makin tidak bisa dia tahan.
"Aku nggak butuh alasan, Nin. Semua udah nggak penting bagi aku. Maaf, aku harus pergi."
Dengan begitu, aku beranjak mengangkat langkah, tetapi Nina meraih lengan hoodie yang aku kenakan, memaksa menatap wajah hancurnya yang dipenuhi bulir-bulir kesedihan. Aku memaksa diriku sendiri menoleh ke belakang, dan melihat sendunya wajah itu. Jika saja aku bisa melakukan sesuatu untuk luka yang baru saja dia rasakan, aku akan melakukannya. Namun, jika itu bisa menghancurkan persahabatanku dengan Aldi, aku tak akan pernah melakukannya. Kurasa, dia lebih baik lupa ingatan, lalu melupakanku untuk selamanya. Dengan begitu, aku tidak perlu repot-repot berdebat setiap hari dengannya. Jika boleh jujur, aku merasa sangat terganggu.
"Jangan ikuti aku, Nin. Kamu nggak bakal kuat. Kita punya jalan masing-masing."