"Coba gue lihat hasil potretan lo hari ini, Ndre."
Dia Kifli, laki-laki yang merekomendasikanku bekerja sebagai fotografer di Rain Photography, sekaligus menjadi seniorku. Dia berasal dari Bandung dan telah menempuh pendidikan S1 jurusan Multimedia. Ia tekun, gigih, hasil-hasil karyanya begitu elegan dan membuatku selalu termotivasi untuk terus mengasah kemampuan sendiri. Banyak sekali teknik memotret yang sudah kudapatkan dari lelaki berambut ikal itu.
"Hmm, ini lumayan bagus. Wah, sepertinya kemampuan lo terus meningkat ya, Ndre. Semoga ke depannya lebih bagus lagi. Oke, sekarang mari kita cetak aja foto-foto yang bagus." Aku memberikan laptop pada Kifli, kemudian ia berjalan ke ruang percetakan.
Sedangkan, karena baru saja pulang dari nge-job, aku berniat beristirahat sejenak. Akan tetapi, baru saja punggung menyentuh sofa, Anwar yang merupakan staf administrasi di studio ini menghampiriku, dan langsung berujar, "Ndre. Kamu dicariin orang di lobi. Cewek."
Mendengar itu, dahiku mengerut. Sebab selama ada di Bandung, aku belum menjalin pertemanan dengan siapa pun, kecuali karyawan-karyawan di Rain Photography. Siapa kira-kira cewek yang mencariku itu?
Mungkin tebakanku tidak akan meleset jika mengatakan kalau yang mencariku adalah Nina—perempuan dengan rambut sebahu yang sekian waktu lalu telah aku lukai hatinya. Jika itu benar, maka pantaslah aku berkata bahwa dia perempuan yang keras kepala. Bahkan sampai tak berpikir dua kali menemuiku ke Bandung.
Sebelum beranjak bangkit, aku mendengkus kasar. Terpaksa aku berjalan ke lobi demi memastikan. Dan ternyata benar, tubuh indah yang sudah beberapa bulan tidak kulihat itu ternyata sedang menanti dengan wajah cemas. Aku menghentikan langkah kaki sebelum mulai menyapa. Ia di sana, duduk di bangku ruang tunggu. Terlihat sesekali dua ujung alisnya saling bertautan, pun sesekali menggigit bibir bawahnya. Jika aku tak salah menduga, masih ada harapan yang belum tanggal, dan itu jelas terlihat dari sorotnya.
Oke, aku ingat dia pernah berkata akan mengejar ke mana pun aku pergi. Dan sekarang, kata-katanya bukan sekadar omong kosong belaka. Ia berkorban, bersusah payah hanya demi menemuiku. Lantas, ekspresi apa yang semestinya aku tunjukkan pada Nina? Aku sama sekali tidak bisa memikirkan semua itu. Lagi pula, ada pikiran lain yang menumpuk di kepala dan semua itu tentang Aldi, beberapa pekerjaan, serta rencana masa depanku kelak.
"Nina ...." Aku menyapa dengan nada pelan dan berdiri di hadapannya.
Melihat diriku yang telah muncul di sorotnya, dia diam sejenak. Beranjak bangkit, segurat senyum ia beri untukku. Tampak jelas selama ini Nina betul-betul merindu buta pada hadirku. Terlihat bahwa rindu benar-benar mengubah dirinya. Yang aku lihat tidak sama seperti ketika aku meninggalkannya waktu itu.
Matanya berkantung, dan ada noda hitam di sana seolah-olah dia selalu menangis sejak aku pergi dan menolak perasaannya. Atau bahkan, seolah-olah dia tak pernah tidur karena terlampau memikirkanku. Tak bermaksud percaya diri, tetapi aku orang yang selalu memikirkan kemungkinan seperti itu. Setidaknya, aku berharap tebakanku salah.
"Andre!" Seperti tak bisa menahan kuasa, Nina meraih tubuhku dengan amat sangat lugas. Dia menjeratku dengan kedua lengannya, lalu merebahkan kepala di dada bidangku yang dibalut kaus biru tua. Kerinduannya tertumpah ruah berhamburan.
"Apa arti semua ini?" tanyaku kemudian. Haru sebenarnya, tetapi aku butuh penjelasan secara rinci tentang kehadirannya. Bagaimana dengan Aldi?