Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #6

Kehangatan yang Dirindukan

“Coba gue lihat hasil potretan lo hari ini, Ndre.”

Kifli, seniorku di Rain Photography, orang yang merekomendasikan aku untuk bekerja di sini, memanggilku. Dia berasal dari Bandung dan telah menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan Multimedia. Sejak pertama kali bertemu, aku sudah mengagumi ketekunan dan semangatnya. Hasil-hasil karyanya elegan dan selalu memberi inspirasi untuk terus mengasah kemampuanku. Banyak teknik memotret yang telah aku pelajari darinya, terutama yang berkaitan dengan detail dan keindahan dalam setiap frame.

“Hmm, ini lumayan bagus. Wah, sepertinya kemampuan lo terus meningkat, Ndre. Semoga ke depannya lebih bagus lagi,” katanya sambil memeriksa hasil potretanku. “Oke, sekarang mari kita cetak aja foto-foto yang bagus.”

Aku memberikan laptop padanya, dan Kifli segera melangkah menuju ruang percetakan.

Sementara itu, karena baru saja pulang dari sesi pemotretan, aku berencana untuk beristirahat sejenak. Namun, baru saja punggungku menyentuh sofa, Anwar, staf administrasi di studio ini, menghampiriku. "Ndre, kamu dicariin orang di lobi. Cewek," ujarnya.

Dahiku mengerut mendengar itu. Sejak aku tiba di Bandung, aku belum menjalin hubungan pertemanan dengan siapa pun, kecuali karyawan-karyawan di Rain Photography. Jadi, siapa sebenarnya cewek yang mencariku?

Instingku langsung menebak—mungkin, ini Nina. Perempuan dengan rambut sebahu yang beberapa waktu lalu sempat kuciptakan luka di hatinya. Jika benar, maka pantas rasanya aku menyebutnya keras kepala, karena dia tak ragu datang menemuiku ke Bandung.

Dengan perasaan yang tak menentu, aku mendengkus kasar dan terpaksa bangkit dari sofa. Aku melangkah ke lobi, ingin memastikan kebenaran tebakanku.

Dan ternyata benar, di sana, duduk menunggu, adalah Nina—wajahnya tampak cemas, dan tubuhnya yang sudah beberapa bulan tidak kulihat tampak sangat familier. Aku berhenti sejenak, sebelum akhirnya membuka suara.

Dia duduk di bangku ruang tunggu, wajahnya tampak tegang. Sesekali aku melihat dua ujung alisnya bertautan, dan bibir bawahnya digigit, seolah menahan sesuatu. Jika aku tak salah menilai, ada harapan yang belum pudar di matanya. Itu jelas terlihat dari sorot matanya yang penuh keinginan.

Aku teringat, dia pernah berkata bahwa dia akan mengejarku ke mana pun aku pergi. Dan sekarang, kata-katanya bukan hanya sekadar omong kosong. Dia benar-benar berkorban dan bersusah payah hanya untuk menemuiku.

Lantas, ekspresi apa yang harus aku tunjukkan pada Nina? Aku merasa bingung, tidak tahu apa yang harus kukatakan atau lakukan. Terlalu banyak pikiran yang menumpuk di kepala—tentang Aldi, tentang pekerjaan, dan tentang rencana masa depanku yang semakin jelas di depan mata.

"Nina ...." Aku menyapa dengan nada pelan dan berdiri di hadapannya.

Melihatku yang muncul dalam sorot matanya, Nina terdiam sejenak, seakan menahan semua perasaan yang sudah lama terpendam. Perlahan, ia beranjak bangkit dan memberikan senyum yang kurasa penuh makna. Senyum itu bukan hanya untuk menyapaku, tapi juga untuk menunjukkan betapa dalam kerinduannya padaku. Terlihat jelas bahwa waktu yang telah berlalu benar-benar mengubahnya. Dia bukan sosok yang sama dengan Nina yang kuingat saat aku meninggalkannya dulu.

Matanya tampak lelah, dengan kantung hitam yang menggelayuti di bawahnya, seolah dia tak pernah benar-benar tidur sejak aku pergi. Mungkin, air mata yang telah mengalir tanpa henti selama ini adalah bukti bahwa perasaannya tetap tinggal, bahkan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Tanpa bermaksud percaya diri, aku tak bisa menghindari dugaan bahwa pikiranku bisa saja benar—mungkin dia tak pernah berhenti memikirkan aku. Tapi, aku berharap sekali dugaan itu salah.

"Andre!" Tiba-tiba, dia meraih tubuhku dengan begitu lugas, seolah tak ingin melepaskan. Kedua lengannya menjerat tubuhku erat, dan kepala kecilnya merebah di dada bidangku yang dibalut kaus biru tua. Rindu yang begitu mendalam tercurah tanpa sisa, begitu lepas.

Lihat selengkapnya