Rindu, katanya. Seketika membuat relung di hati bergejolak, tak sanggup menolak. Namun, ketika mendengar ia mengungkapkan perihal yang seharusnya tidak akan pernah dialami sahabatku—Aldi—gejolak di dalam dada ini pun berubah sesak. Dijejalinya angan dengan penjelasan-penjelasan tak penting. Ia bagai menelikung diriku dari titik buta yang tak dapat kujangkau. Oh, sahabat. Maaf, di sini aku juga pilu sebagaimana nestapa memelukmu.
Setelah gumpalan api di langit yang disebut matahari itu bersembunyi di ufuk barat, gelap ia undang, tetapi indah ketika rembulan menyambut malam. Sudah saatnya mereka bertukar peran.
Aku pulang dari studio setelah menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Berkali-kali kuhela udara, berkali-kali kuembuskan. Tiba di pintu gerbang rumah kontrakanku, aneh. Siapa yang membuka gerbang? Seketika itu aku mengingat bahwa tak mengunci gerbang pagi tadi karena buru-buru berangkat ke kantor. Kesalahan yang fatal, kurasa.
Langsung saja aku menuntun sepeda motor segera masuk ke halaman. Namun, betul-betul diri ini tak habis pikir dengan kebetulan yang tak masuk akal. Aku mendesah lebih panjang dari sebelumnya karena sosok itu terlihat lagi di hadapan. Tanpa perlu kusebutkan, kalian pasti sudah tahu siapa orangnya. Namun, kenapa? Mengingat apa yang aku lakukan padanya dan terkesan kasar, kenapa ia tak juga menyerah?
"Andre ...." Lihat, bahkan bulu-bulu matanya yang lentik itu masih tampak basah oleh bekas air mata. Apakah dia tak berhenti menangis sedari sore?
Jika iya, maka aku telah berdosa menyakiti perempuan sebaik dirinya. Setetes air matanya merupakan dosa bagiku, pula tak terhitung berapa tetes sudah air mata yang ia keluarkan sebab ulahku. Nina menghampiriku dengan langkah yang lemah. Wajahnya cukup gembira, tetapi bersembunyi pada sendunya yang terus merajalela.
Aku belum ingin membalas sapaan hangatnya itu, lantas memasukkan sepeda motor ke garasi yang tak seberapa luasnya di samping pintu ruangan utama. Setelahnya, aku berjalan ke teras dan membuka pintu, tetapi perempuan itu masih berdiri, memelas. Ia seperti pohon yang bahkan tak ingin kalah hanya sebab angin atau badai datang memporak-poranda.
Kubuka pintu sedikit, kemudian menoleh ke kanan tanpa melihat Nina di belakangku. "Masuk, di luar sebentar lagi dingin. Kamu bisa sakit kalau di situ terus."
Pelan, Nina berjalan sambil sesekali menyapukan tangan ke mata. Malam ini, sepertinya terpaksa aku harus tidur di sofa, dan diserbu sekelompok nyamuk. Bagaimanapun juga, aku adalah lelaki, meski telah menyakiti, aku tidak menuntut gelar sejati. Sebisa mungkin, aku harus melakukan apa yang mampu aku lakukan untuknya.
Dalam benak ini, aku sangat ingin meminta maaf padanya. Hanya saja, ego masih menguasai diriku dan secara emosional itu dapat terlihat dari sikapku yang dingin pada Nina.
"Duduk aja dulu," ucapku. Nina pun menurut.
Sementara itu, aku pergi ke dapur mencari sesuatu untuk dimakan. Kasihan dia, sepertinya belum makan. Kemungkinan besar, dia sudah melupakan kebutuhan-kebutuhannya yang lain seperti makan dan sebagainya. Kalau begitu, aku harus membuatnya memasukkan sesuatu ke dalam perut, sebelum sakit melanda. Selain itu, aku juga harus melakukan sesuatu pada kesedihannya yang tiada akhir itu. Kebetulan sekali, di kulkas masih tersedia dua Pop Mie. Lumayan untuk membuat perut kebal terhadap lapar dalam beberapa jam.
Tak ada apa pun selain mi kemasan. Sebab, aku memang jarang mengonsumsi makanan dengan nutrisi yang cukup. Di samping itu, aku juga tak bisa memasak sama sekali. Meski telah lama hidup sendiri, aku hanya menghabiskan waktu belajar sesuatu yang lain dan mengenyampingkan masalah perut. Itulah mengapa sampai saat ini aku masih tak tahu caranya memasak sesuatu, kecuali makanan instan yang bisa didapat dengan mudah di warung-warung.
*