Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #7

Mati Terpanah

Rindu, katanya. Kata itu seketika mengguncang relung hati, tak mampu kuhindari. Namun, ketika ia mengungkapkan tentang perasaan yang seharusnya tidak pernah terjadi pada sahabatku—Aldi—gejolak itu berubah menjadi sesak. Angan-angan yang terukir dalam kata-katanya datang begitu saja, penuh dengan penjelasan yang terasa tak penting. Ia seakan menelikung diriku dari tempat yang tak dapat kujangkau. Oh, sahabat, maafkan aku. Di sini, aku juga pilu, sebagaimana nestapa yang kini melingkupi hatimu.

Ketika matahari akhirnya tenggelam di balik ufuk barat, gelap menyelimuti, tetapi tak lama kemudian rembulan menyambut malam dengan keindahannya. Sudah saatnya mereka bertukar peran.

Hari itu aku pulang dari studio setelah menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Berkali-kali aku menghela napas, mengusir lelah yang menumpuk. Ketika tiba di depan pintu gerbang rumah kontrakanku, rasa aneh tiba-tiba menghampiriku. Gerbang terbuka. Aku segera teringat bahwa pagi tadi aku terburu-buru dan lupa mengunci gerbang. Kesalahan fatal, pikirku.

Dengan langkah tergesa, aku menuntun sepeda motor masuk ke halaman. Namun, kejadian yang terjadi setelah itu benar-benar tak masuk akal. Aku mendesah lebih panjang, merasa bingung dan terkejut. Di hadapanku, berdiri sosok yang tak asing lagi. Tanpa perlu kusebutkan, kalian pasti sudah tahu siapa dia. Tapi, kenapa? Mengingat apa yang telah kulakukan padanya—terkesan begitu kasar—kenapa dia tak juga menyerah?

"Andre ...." Suaranya lirih, dan matanya yang lentik itu masih tampak basah oleh air mata. Apakah dia terus menangis sejak sore tadi? Jika iya, maka aku telah berdosa menyakitinya. Setiap tetes air matanya adalah dosa bagiku, dan aku tak bisa menghitung berapa banyak air mata yang sudah ia jatuhkan karenaku.

Nina melangkah menghampiriku dengan tubuh yang tampak lemah. Wajahnya terlihat sedikit ceria, tetapi kesedihan masih menyembul di baliknya, terus merajalela.

Aku belum siap untuk menyambut sapaan hangatnya itu, jadi aku memilih untuk memasukkan sepeda motor ke dalam garasi kecil di samping pintu utama rumah. Setelah itu, aku berjalan ke teras dan membuka pintu, tetapi ia tetap berdiri di sana, memelas. Seperti pohon yang tak ingin tumbang meski angin atau badai datang mengoyaknya.

Aku membuka pintu sedikit, menoleh ke kanan tanpa menatap Nina yang berdiri di belakangku. "Masuk, di luar sebentar lagi dingin. Kamu bisa sakit kalau di situ terus," kataku dengan nada yang cenderung datar.

Pelan, Nina melangkah masuk, sesekali mengusap matanya yang tampak masih basah. Malam ini, rasanya aku harus tidur di sofa dan menghadapi serbuan nyamuk yang tak pernah berhenti di rumah kontrakan ini. Aku lelaki, meski telah menyakiti, aku tidak meminta belas kasihan. Sebisa mungkin, aku akan melakukan apa yang bisa untuknya, meski hatiku masih penuh keraguan.

Di dalam benakku, aku ingin sekali meminta maaf padanya, tapi ego terus menguasai diriku. Sikapku yang dingin padanya adalah bukti bahwa perasaanku masih kacau. Aku merasa seolah-olah semua ini adalah akibat dari keputusan-keputusan buruk yang telah kutetapkan sebelumnya.

"Duduk aja dulu," ucapku pelan, mencoba tidak terlalu keras. Nina pun menurut, duduk dengan tubuh yang tampak lelah dan terimpit beban yang belum selesai.

Sementara itu, aku pergi ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Kasihan, sepertinya dia belum makan. Mungkin selama ini dia terlalu arut dalam pikirannya, sampai melupakan hal-hal penting seperti makan. Aku harus pastikan dia mendapatkan sesuatu untuk menenangkan perutnya, sebelum sakit datang. Kebetulan di dapur masih ada dua bungkus Pop Mie. Setidaknya itu bisa mengisi perutnya, meskipun hanya untuk beberapa jam.

Hanya itu yang ada, mi instan. Sejujurnya, aku jarang sekali mengonsumsi makanan bergizi. Hidup sendiri membuatku lebih fokus pada pekerjaan dan hal-hal lain, sementara urusan perut sering kali aku sepelekan. Itu sebabnya, sampai sekarang aku masih belum bisa memasak selain makanan instan yang gampang ditemukan di warung.

 

-II-

 

"Ini mi buat kamu." Aku meletakkan Pop Mie di atas meja yang sudah kuisi dengan air panas. Nina menatapnya sejenak, melihat asap yang mengepul dari mi kemasan itu.

Lihat selengkapnya