Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #8

Lamaran & Keraguan

“Nikahi aku ....”

Tanganku yang sedang menyuap nasi tiba-tiba terhenti, dan kata-kata Nina yang meluncur begitu saja, membekukan seluruh tubuhku. Dadaku berdegup kencang, berusaha menyesuaikan diri dengan detakan yang semakin cepat. Sungguh, aku tak pernah membayangkan bahwa kalimat itu akan keluar dari bibirnya. Bagiku, pernikahan bukanlah hal yang mudah. Itu bukan sekadar kata yang bisa diucapkan tanpa memikirkan dampaknya. Mungkin karena aku bukan orang yang berpengalaman dalam urusan cinta, aku merasa ragu. Namun bagi Nina, yang telah terjebak dalam hubungan semu dengan Aldi, tidak mengherankan jika ia memikirkan langkah yang lebih besar—sesuatu yang lebih serius seperti pernikahan.

"Kalau kamu nggak mau pacaran sama aku, nikahi aku, Ndre," katanya lagi, suaranya pelan, penuh harapan yang seakan tak terbendung. Kalimat itu sudah berulang kali dia ucapkan, tapi aku tetap terdiam, membeku karena terkejut.

Mudah sekali rasanya mengajak seseorang menikah. Namun, apakah semua akan berjalan baik-baik saja begitu kami benar-benar menjalani hidup bersama?

Tidak, bagiku, mencintai dan memiliki itu dua hal yang sangat berbeda. Ketika kamu mencintai seseorang, itu tidak menjamin kamu bisa memilikinya. Terlebih lagi, ada Aldi yang sedang aku jaga perasaannya. Maafkan aku, tapi aku memang tipe orang yang berhati-hati. Bukan karena takut dengan apa yang akan dikatakan Aldi, melainkan karena aku sudah berkomitmen untuk menjaga persahabatan kami. Itu lebih penting bagiku daripada keputusan terburu-buru.

“Ndre, aku—“

Aku memotong kata-katanya dengan cepat, takut jika percakapan ini berlarut-larut dan membuat semuanya semakin rumit.

“Aku tiba-tiba kenyang. Kamu sudah selesai sarapannya? Kalau sudah, kamu mau tinggal di sini, atau mungkin ikut aku ke tempat lain?”

Aku berharap pertanyaanku ini bisa mengalihkan pembicaraan kami dari topik yang semakin membuatku bingung. Faktanya, setiap kali Nina berbicara soal perasaannya, kami hanya akan berakhir dengan perdebatan yang tak ada ujungnya. Aku lelah melihatnya tersiksa, terus berharap pada sesuatu yang belum tentu bisa aku berikan. Dan di sisi lain, aku belum siap menerima perasaan tulusnya dengan lapang dada.

Aku terjebak dalam dilema yang semakin membingungkan, dan rasanya tidak ada jalan keluar yang jelas.

 

 

-II-

 

Menjadi seorang fotografer memberiku kebebasan untuk menjelajahi berbagai tempat indah yang jarang dijamah orang lain. Maka, ketika Nina setuju untuk ikut, aku mengajaknya ke sebuah objek wisata di daerah Cimahi. Tempat ini pernah kuunjungi sebelumnya, tapi karena keterbatasan waktu dan beberapa pekerjaan yang membatalkan niatku untuk berlama-lama, aku merasa belum sepenuhnya mengeksplorasinya. Biasanya, jika tak ada job dari klien, aku pergi sendiri untuk menangkap gambar, mengabadikan apa pun yang ada di sekitarku.

Hari itu, aku terpesona dengan sebuah air terjun yang begitu memukau. Setiap sudutnya menawarkan keindahan yang ingin aku abadikan, tapi aku merasa ada yang kurang pada setiap foto yang aku ambil. Ada semacam kekosongan yang tidak bisa aku jelaskan, hingga tiba-tiba aku mendapat ide. Kali ini, aku bisa menjadikan Nina sebagai model. Wajahnya yang elegan dan menawan selalu menarik perhatian siapa pun yang melihatnya, dan aku tahu ini adalah kesempatan untuk meningkatkan kreativitas dalam karya fotoku. Sebelumnya, aku sempat berpikir memanfaatkan kesempatan ini untuk meraih keuntungan finansial, tetapi kini aku merasa lebih penting untuk menikmati proses kreatif ini tanpa terbebani ambisi.

Hari itu, Nina mengenakan rok merah maroon dan sweter rajut yang agak kebesaran. Aku mulai menyesuaikan kamera di tangan, membentuk bingkai dengan jari telunjuk dan ibu jari, mencoba mencari sudut terbaik untuk mengambil gambar. Nina, yang tengah sibuk memandangi air terjun, tak begitu memperhatikan aku yang berdiri beberapa meter darinya.

Aku segera mengangkat kamera yang tergantung di leher dan memotret tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Wajah Nina menatap ke langit, tangannya diletakkan di leher, dan tangan lainnya menopang dengan lembut. Pose itu sempurna, tanpa perlu perencanaan. Aku mundur sedikit, mencari sudut yang lebih pas, memastikan hasil foto nanti memuaskan. Posisi Nina ada di sekitar jam 10 dari tempatku berdiri.

Dengan satu klik, aku menangkap momen itu. Flash kamera menyala, dan tanpa diduga, Nina langsung menoleh ke arahku, menyadari bahwa aku telah memotret dirinya.

"Ndre? Kamu ngambil fotoku, ya?!" Nina terdengar sedikit terkejut, sementara aku tak langsung menjawab karena sibuk memeriksa hasil potretan di layar kamera.

Lihat selengkapnya