"Nikahi aku ...."
Tanganku yang menyuap nasi lantas berhenti karena dua kata mematikan yang baru saja Nina ucapkan. Dalam waktu sekian detik, dadaku menggebu dan memompa dua kali lebih cepat dari biasa. Sungguh tak pernah melintas di pikiran bahwa kalimat itu akan dia ucapkan. Bagiku sendiri, menikah bukan sesuatu yang mudah. Itu tak semudah mengucapkan. Mungkin karena aku bukan veteran dalam urusan percintaan. Akan tetapi, bagi Nina sendiri yang perasaannya sudah lelah terkurung dalam hubungan palsu dengan Aldi, tak heran dia bisa sampai berpikir ke arah hubungan yang lebih serius.
"Kalau kamu nggak mau pacaran sama aku, nikahi aku, Ndre," ucapnya pelan dengan penuh harapan serta keinginan kuat. Sudah ke sekian kalinya ia mengucapkan kalimat permintaan itu. Namun, aku masih membeku saking terkejut.
Mudah sekali mengajak seseorang menikah. Namun, apakah semua akan berjalan baik-baik saja ketika menjalaninya nanti?
Tidak, bagiku sendiri mencintai dan memiliki merupakan dua hal berbeda. Ketika kamu mencintai seseorang, kamu belum tentu bisa memilikinya. Terlebih lagi, ada seseorang yang sedang kujaga perasaannya. Maaf saja, tetapi aku memang tipe orang yang selalu berhati-hati. Tiada maksud hati untuk takut terhadap respons Aldi. Yang ingin aku tegaskan di sini ialah bahwa aku sejak dulu sudah berkomitmen untuk selalu menjaga persahabatan kami.
"Ndre, aku—"
"Aku tiba-tiba kenyang. Kamu udah selesai sarapannya? Kalau udah, apa kamu mau tinggal di sini? Atau mungkin mau ikut sama aku?"
Satu-satunya cara untuk menghentikan pembicaraan Nina soal perasaannya adalah seperti ini. Faktanya, jika ia sudah mulai bicara perihal perasaan, maka kami hanya akan berakhir dengan perdebatan sia-sia. Aku sungguh lelah melihatnya tersiksa dan terus berharap. Selain itu, aku pun belum bisa menerima dengan lapang dada perasaan tulusnya. Aku dalam situasi dilema yang berbahaya.
*
Profesi menjadi seorang fotografer membuatku bebas bertualang ke banyak tempat indah yang bahkan belum terjamah masyarakat umum. Maka, dengan keputusan Nina yang sanggup ikut, aku mengajaknya ke sebuah objek wisata di daerah Cimahi. Ini tempat yang sebelumnya kukunjungi, tetapi masih kurang kueksplorasi karena kurangnya waktu yang aku miliki. Beberapa job juga membatalkan niatku saat ingin berlama-lama di tempat tersebut. Memang jarang sekali aku punya waktu seperti ini. Jika tak ada permintaan dari klien, aku selalu pergi sendiri mengambil potret apa pun.
Sebuah objek wisata alam air terjun yang begitu memukau, membuatku penasaran untuk mengambil gambar yang indah dari berbagai sudut. Kurasa, ada sesuatu yang kurang dari setiap foto yang aku ambil, dan aku sama sekali tak mengetahuinya.
Aku kebetulan punya ide karena kali ini Nina ikut denganku. Aku pikir dia bisa menjadi modelku. Dia elegan, memiliki wajah yang menawan dan semua pria tak tahan dengan parasnya, maka dalam kesempatan ini aku punya banyak peluang untuk meningkatkan kreatifitas. Sebelumnya, aku sudah memikirkan hal ini. Kendati demikian, kini aku menghilangkan beberapa ambisi untuk memanfaatkan Nina agar mendatangkan uang yang banyak.
Hari ini, Nina mengenakan rok merah maroon sebagai bawahan, kemudian sweater rajut yang sedikit kebesaran untuk ukuran tubuhnya. Aku membentuk jari telunjuk dan ibu jari layaknya bingkai demi melihat seberapa ideal mengambil gambar pada sudut yang aku tentukan. Aku menggeser tangan ke arah Nina yang tengah berdiri beberapa meter dariku. Dia mungkin sibuk memperhatikan air terjun yang menerpa deras sehingga tak terlalu menghiraukan.
Langsung saja kuambil kamera yang menggantung di leher, lalu memotret tanpa sepengetahuannya. Wajah Nina mendongak ke langit, tangan kanan ia letakkan di leher serta ia tahan dengan tangan kiri. Sungguh postur yang pas. Beberapa waktu kemudian, aku mengambil jarak beberapa meter, mundur ke belakang mencari sudut yang pas agar mendapat hasil memuaskan. Tepat, posisi Nina ada di angka jarum jam 10 dari posisiku.
Fotonya kudapatkan dalam satu kali shutter. Nina menyadari flash kamera kodok yang menyala. Dengan lugas ia menoleh ke arahku.
"Ndre? Kamu ngambil fotoku, ya?!" Nina bernada sedikit terkejut, sedangkan aku tak merespons karena sibuk memeriksa hasil potretan.
Luar biasa! Aku terkesima dengan hasil foto yang di dalamnya ada Nina. Kini aku sadar bahwa sesuatu yang kurang itu ternyata ialah seorang model. Dengan begitu, aku memutuskan menjadikan Nina sebagai modelku mulai hari ini.
"Nin. Kamu ... mau nggak jadi modelku seterusnya?" tanyaku sambil menggaruk-garuk tengkuk.
Nina semringah, lantas balik bertanya, "Kenapa nggak jadi pacar kamu aja sekalian?"
Sudah kuduga dia akan mulai membahas hal itu. Sambil mendengkus kasar, aku berujar, "Nin, ini aku serius nawarin kamu."
"Ndre. Aku juga serius nanya sama kamu."