Nina menjadi korban tabrak lari. Aku dan Aldi segera membawanya ke rumah sakit terdekat di Bandung. Keadaannya sangat parah—terkulai lemah di atas aspal dengan darah mengalir deras dari kepalanya. Rasa cemas menguasai diriku. Aku hanya bisa berfokus pada keadaan Nina, tak bisa memikirkan apa pun selain keselamatannya. Tanpa Nina, pekerjaan dan segala kontrak yang harus selesai minggu ini jadi tak berarti. Aku bahkan membatalkan semuanya. Ini bukan karena aku lebih memikirkan pekerjaan daripada dia. Justru sebaliknya, Nina jauh lebih penting. Aku terus berdoa dalam hati untuknya, berharap keajaiban datang.
Namun, di sisi lain, ada Aldi. Sahabatku, yang dulu selalu ada untukku, kini tak lagi bisa diajak berbicara. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dia seolah menyimpan dendam yang dalam, dan kami berdua kini seperti dua orang asing yang saling membenci. Beberapa menit yang lalu, dia tak sudi menatapku, bersikap acuh tak acuh. Sakit rasanya melihat kami berada di titik ini. Aku tahu, Nina lebih penting daripada aku. Dia adalah prioritas.
"Aldi—" Aku mencoba memulai percakapan, tapi Aldi menyela dengan suara datar yang penuh amarah.
"Pergi kamu, Ndre. Kamu udah bikin aku hancur kayak gini. Kamu bikin Nina masuk ICU. Kamu mengkhianati kepercayaanku. Apa maksudnya cuma satu malam? Kalau kamu meminjam sesuatu, harusnya kamu kembalikan dengan baik, kan? Tapi kamu—" Aldi terdiam sejenak, wajahnya dipenuhi kekecewaan yang dalam. "Sekarang, jangan pernah datang lagi ke rumah sakit ini. Aku yang akan urus semuanya buat Nina. Nggak ada artinya kamu ada di sini. Pergi, Ndre."
Kata-katanya menghunjam hatiku, membuatku terdiam. Aku tak pernah menyangka akhirnya akan berakhir seperti ini. Sesuatu yang selama ini kuhindari, kini terjadi juga. Aku tahu jika aku tetap bertahan, ini hanya akan memperburuk keadaan. Kami akan saling membenci selamanya, tak ada jalan tengah. Dengan langkah gontai, aku akhirnya memutuskan untuk pergi. Aku meninggalkan Aldi sendirian di ruang tunggu, sementara aku berjalan keluar, menenangkan diri. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba meresapi setiap embusan angin yang datang dari barat ke timur. Suhu udara yang mulai berubah, seolah memberi pertanda. Sebentar lagi, hujan pasti akan turun. Seperti dalam drama klise yang sering aku baca di novel-novel, hujan datang saat hati sudah tak keruan. Seakan-akan, langit ingin merayakan hari patah hati yang terjadi padaku.
Aku tahu aku tak bisa memperbaiki semuanya. Aku hanya seorang peminjam yang tak bisa mengembalikan apa yang sudah diberikan dengan cara yang baik. Dan kini, dengan segala kerendahan hati, aku memilih untuk meninggalkan Nina bersama Aldi. Aku tak lagi punya tempat di sana, hanya menjadi puing-puing dari hubungan yang dulu ada. Cintaku berakhir di sini.
-II-
MARET 2014
"Andre! Sini, dong! Andre!" Nina memanggilku dengan suara ceria, duduk di kursi yang ada di depanku. Aku tetap fokus pada buku yang sedang kubaca, mengabaikan suara pengganggu itu.
Ah, Nina. Dia benar-benar bisa mengacaukan kedamaian yang sedang kurasakan. Aku tengah menikmati momen santai di kantin, dengan secangkir kopi kapucino hangat di tangan, ditemani bacaan tentang teknik fotografi. Bagi seorang kutu buku sepertiku, itu sudah cukup menjadi surga tersendiri. Namun, begitu Nina datang, konsentrasiku langsung buyar. Bukan hanya karena tingkahnya yang suka menjahiliku, tapi juga karena kehadirannya yang terlalu sempurna untuk seseorang seperti diriku. Dia terlalu cantik, terlalu ceria, dan terlalu hidup untuk disandingkan dengan lelaki penyendiri sepertiku.
Di kampus ini, banyak lelaki yang lebih pantas untuknya. Ada Rian, misalnya. Lelaki kaya raya yang selalu mengirim salam untuk Nina, selalu tersenyum penuh pesona. Atau Dimas yang selalu mengemudikan mobil mewah ke kampus. Bahkan, banyak teman sekelasku yang datang padaku hanya untuk bertanya tentang Nina, berharap bisa mengenalnya lebih dekat.
"Jangan ganggu, lagi sibuk!" ujarku ketus, tetap menatap buku tanpa mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Cih, ini kan waktu istirahat, Ndre. Baca buku terus. Nanti kamu jadi pinter, banyak masalahnya. Ayo, dong, sekali-sekali santai. Kita cerita-cerita, atau pergi ke tempat hiburan, misalnya," katanya, nada suaranya penuh semangat.
Perempuan ini benar-benar mengganggu! Dia merampas buku teori pemotretan yang sedang asyik kubaca dan—yang paling parah—dia menyeruput kopi kesukaanku tanpa izin. Aku tidak bisa menahan diri.
"Minum kopi orang sembarangan. Beli sana! Kelakuan kamu bar-bar banget, deh. Jadi cewek itu yang anggun sedikit kenapa, sih?" kelakarku, setengah marah.
Nina tertawa kecil mendengar protesku, lalu berkata sambil menyeringai, "Enakan juga bekas kamu, Ndre."
Sungguh, walaupun tingkahnya kadang menyebalkan, Nina tetap memiliki daya tarik yang luar biasa. Meskipun dia sering bertindak bar-bar dan jahil, dia tetap perempuan yang anggun, penuh karisma. Aku tahu itu, meskipun aku egois dan tak mau mengakuinya secara langsung.
Nina selalu bisa membuatku tersipu malu. Entah itu dari tingkah laku, candaan, atau kelakuan jahilnya, semua itu sering membuatku tersenyum tanpa sadar. Namun, aku menutupi perasaanku, langsung menutup wajahku dengan buku yang masih kupegang.
"Dosa, tahu!" tegasku, berusaha mengalihkan perhatian dengan berpura-pura marah.