Sering kali cinta menjadi sebuah alasan untuk menyakiti orang lain. Bahkan kadang membenci cinta, pun juga mencintai benci. Bagiku sendiri, sudah cukup peran yang selama ini kumainkan dalam kehidupan dua insan yang perasaannya sedang kujaga. Asalkan mereka bahagia, pada akhirnya aku hanya bisa merana dalam nestapa.
Padahal, aku sudah memutuskan jauh sebelum semua ini bertambah rumit bahwa aku akan merelakan harapanku untuk mereka berdua. Namun, semua itu tak berjalan mulus dan akhirnya, perasaan asli Nina memberontak.
Di sinilah aku benar-benar sadar, kami sangat rapuh untuk ukuran manusia normal. Sikap dinginku kadang tak mencerminkan kerapuhan itu. Akan tetapi, percayalah, itu hanya sebuah cara untuk menyembunyikan segala kekurangan yang ada di diriku sendiri.
*
Mei 2014
"Andre!"
"Apa?"
"Aku boleh pegang pipi kamu, nggak? Sebentar aja! Mau, ya? Please!"
"Buat apa?"
"Ya, mau pegang aja, sih. Boleh, nggak? Boleh, ya? Ya, ya, ya?"
"Iya, boleh," singkatku tanpa memperpanjang durasi ucapan permintaan Nina. Lagi pula, jika aku berkata tidak boleh pun, dia akan tetap memaksaku mengizinkannya. Sebab, seperti itulah Nina yang aku kenal. Dia selalu meminta hal yang aneh dan bahkan di luar nalar.
Sedetik kemudian, Nina mendekatkan wajahnya padaku. Dia menatapku berlama-lama. Sedangkan, aku hanya memutar bola mataku dengan malas, tak berekspresi sama sekali. Kulihat bibirnya yang begitu memesona dengan lipstik tipis merah muda. Sudah lama sekali aku memperhatikan hal itu darinya karena itulah salah satu daya tarik paling besar yang terlihat di mataku.
Nina mengangkat kedua tangannya perlahan-lahan. Aku bersiap dan memejam. Pada detik berikutnya, pipiku terasa disentuh kelembutan kulit sebuah tangan. Tertahan sejenak, ia mengelus-elusku beberapa kali. Tertahan lagi, dielusnya lagi hingga tiga kali seperti itu hingga aku bingung sendiri. Memangnya, apa yang dia lakukan? Dia seperti orang gila yang kurang kerjaan saja.
Setelah kurasa cukup, aku membuka mata di saat tangan Nina masih menempel di kedua pipiku yang pasti kini sudah seperti udang rebus. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Setiap lekukan wajah mungil itu dapat kulihat dua kali lebih dekat dari sebelumnya. Dapat kulihat hidungnya yang lancip dan bersih. Dapat kulihat embun yang keluar dari mulutnya saat bernapas karena saat ini udara sedang berada di suhu yang rendah.
Dadaku berontak kemudian. Menggebu-gebu. Apa ini? Meski kutahu, tetapi aku tetap bertanya. Ini jelas sebuah perasaan ketika seorang lelaki dan perempuan begitu dekat. Ini jelas sebuah debaran yang setiap manusia di dunia pernah merasakannya. Cinta?
"Kulit wajah kamu ternyata halus banget, ya, Ndre. Aku sebagai cewek jadi iri, deh." Begitu katanya dengan lirih sambil tertawa kecil. Ia masih menatap kedua bola mata hitamku. Ingin kuberpaling, tetapi tatapan itu seolah-olah tak mengizinkan.
Deru napas Nina terdengar jelas. Bau tubuhnya yang khas. Melati. Ia suka parfum aroma melati. Dan kutahu itu saat pertama kali bertemu dengannya.
Setelah beberapa menit adegan mendebarkan itu berlangsung, Nina kembali ke posisi semula, duduk di depanku sambil menghela napas dalam-dalam. Sedangkan, aku masih tertegun dengan segala pikiran yang telah melampaui langit ketujuh. Imajinasi menyelimuti angan. Dadaku masih tak terkendali, pun aliran darahku mengalir lebih cepat.
"Ndre? Kamu nggak apa-apa?" tanya Nina yang kemudian menarikku dari imajinasi saat membayangkan betapa hangatnya perhatian yang dia beri.
"Ah, ya ... nggak apa-apa. Aku ... aku—"
"Kalau gitu, aku balik dulu, ya. Ada mata kuliah sekarang. Kamu jaga Kesehatan, ya. Soalnya akhir-akhir ini dingin banget udaranya," potong Nina seraya bangkit.