Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #10

Kenangan yang Menyeruak

Cinta sering kali menjadi alasan untuk menyakiti orang lain. Ironisnya, ada kalanya kita membenci cinta, tapi di saat yang sama, mencintai rasa benci itu sendiri. Bagiku, peran yang selama ini kumainkan dalam hidup dua insan yang perasaannya tengah kujaga sudah lebih dari cukup. Aku tak pernah berharap lebih, kecuali melihat mereka bahagia, meskipun kebahagiaan mereka harus kubayar dengan merana dalam kesendirian.

Jauh sebelum semua ini semakin rumit, aku sudah mengambil keputusan. Aku memilih merelakan harapanku, menyerahkan kebahagiaan Nina kepada Aldi. Aku berpikir, itu akan menjadi solusi yang paling adil bagi semua pihak. Namun, kenyataan sering kali tidak berjalan seiring dengan rencana. Perasaan asli Nina yang selama ini berusaha kusangkal akhirnya tak lagi bisa dibungkam. Dia memberontak, dan kejujurannya justru mengguncang segalanya.

Di titik ini, aku benar-benar menyadari betapa rapuhnya kami bertiga—terlalu rapuh untuk ukuran manusia yang mencoba bertahan dalam kekacauan emosi ini. Meski dari luar aku terlihat dingin, dengan sikap yang seolah tak tergoyahkan, semua itu hanyalah topeng. Sebuah cara untuk menyembunyikan kerapuhan dan kekurangan yang terus menghantui diriku.

Namun, seberapa lama aku bisa terus bertahan dengan cara ini? Kadang, aku merasa seperti boneka yang dipaksa berdiri tegak meski benang-benangnya nyaris putus. Aku ingin melangkah keluar dari bayangan ini, tetapi setiap kali aku mencoba, bayangan itu justru semakin kuat mencengkeram.

 

MEI 2014

 

"Andre!"

"Apa?"

"Aku boleh pegang pipi kamu, nggak? Sebentar aja! Mau, ya? Please!"

"Buat apa?"

"Ya, mau pegang aja, sih. Boleh, nggak? Boleh, ya? Ya, ya, ya?"

"Iya, boleh," jawabku singkat, mencoba tak memperpanjang durasi permintaannya. Lagi pula, kalau aku bilang tidak, dia pasti akan tetap memaksa. Begitulah Nina, selalu meminta hal-hal aneh yang sering kali di luar nalar.

Sekejap, Nina mendekatkan wajahnya. Ia menatapku dengan tatapan yang ... entah kenapa terasa begitu intens. Aku berusaha menghindar, memutar bola mataku dengan malas. Tapi mataku tetap menangkap bibirnya—memesona dengan lipstik merah muda yang tipis. Sudah lama aku menyadari daya tarik itu, meski selalu kucoba untuk tidak terlalu memikirkannya.

Nina mengangkat tangannya perlahan. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata. Dan di detik berikutnya, aku merasakan kelembutan jemarinya menyentuh pipiku. Sentuhannya lembut, menahan sejenak, lalu mengelus-elus pipiku beberapa kali. Ia berhenti sejenak, lalu mengulang lagi, entah apa tujuannya. Rasanya ... aneh. Bukan tidak nyaman, hanya aneh—seperti ada sesuatu yang tak kumengerti di balik tindakan sederhana ini.

Ketika kurasa sudah cukup, kubuka mata perlahan. Jemarinya masih di sana, menempel di kedua pipiku. Wajahnya begitu dekat. Napasnya hangat, embun tipis keluar dari bibir mungilnya setiap kali ia menghela napas. Udara dingin siang ini membuat segala detailnya terasa lebih nyata. Hidungnya yang kecil dan mancung, kulitnya yang begitu bersih.

Dada ini mulai tak keruan. Debaran yang semula samar kini semakin kencang. Apa ini? Aku tahu jawabannya, tapi tetap saja bertanya. Ini jelas perasaan itu. Perasaan ketika seseorang begitu dekat denganmu, hingga seluruh dunia seakan menghilang. Ini ... cinta?

"Kulit wajah kamu halus banget, ya, Ndre. Aku sebagai cewek jadi iri, deh," bisiknya pelan, sambil tertawa kecil. Tatapannya masih terkunci pada mataku. Aku ingin berpaling, tetapi entah kenapa, tatapannya seolah menahanku di tempat.

Aroma tubuhnya menyeruak—melati. Parfum favoritnya, yang sudah kukenal sejak pertama kali kami bertemu. Waktu itu, aku tak pernah menyangka aroma sederhana itu akan melekat di ingatanku sedalam ini.

Setelah beberapa menit, Nina akhirnya menarik tangannya. Ia kembali duduk di tempat semula sambil menarik napas panjang, sementara aku masih terpaku. Dadaku berdegup kencang, imajinasiku melayang, pikiranku kacau balau.

"Ndre? Kamu nggak apa-apa?" tanyanya, memecah lamunanku.

"Ah, ya ... nggak apa-apa. Aku ... aku—"

"Kalau gitu, aku balik dulu, ya. Ada kelas sekarang. Kamu jaga kesehatan, deh. Akhir-akhir ini udaranya dingin banget," potong Nina sambil berdiri.

Aku hanya mengangguk pelan, terlalu banyak hal yang terjadi di dalam kepalaku untuk bisa berkata-kata. Lalu kulihat dia berlalu, meninggalkan aku yang masih terjebak dalam euforia sederhana yang tak akan pernah kulupakan.

Lihat selengkapnya