Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #11

Menyadari Kesalahan

Sunyi malam semakin terasa menusuk, menyelimuti musala kecil yang kini hampir kosong. Aku masih duduk terpaku di dalamnya, dengan sarung melingkari pinggang hingga menutupi mata kaki. Salat isya berjamaah telah usai beberapa waktu lalu, dan orang-orang yang memenuhi tempat ini perlahan telah meninggalkannya.

Mataku sempat mengikuti gerakan mereka—langkah-langkah yang membawa mereka keluar dari bangunan sederhana ini. Bukan karena aku tertarik melihat mereka, tetapi karena pikiranku masih terombang-ambing, bingung untuk melangkah. Ke mana aku harus pergi? Jika aku pergi, rasanya seperti meninggalkan sesuatu yang penting, melukai hati sendiri. Tetapi jika aku tetap tinggal dan bersikeras, aku tahu akan ada hati lain yang lebih terluka.

Entah apa yang kurasakan saat ini. Rasanya hampa. Bahkan hal-hal yang dulu begitu aku cintai kini kehilangan daya tariknya. Fotografi—dunia yang selama ini menjadi pelarianku, kini terasa hambar. Biasanya, di jam-jam seperti ini, aku akan duduk di depan laptop, memeriksa hasil foto, mengedit dengan hati-hati untuk mendapatkan sentuhan sempurna. Tetapi malam ini, semua semangat itu menguap tanpa jejak.

Aku memutuskan untuk duduk di tepi musala, menatap kosong ke arah orang-orang yang masih berlalu lalang di luar. Beberapa dari mereka masuk, mungkin untuk menunaikan salat yang tertunda. Mungkin, seperti aku, mereka juga datang dengan hati yang dipenuhi rasa bersalah, penyesalan, atau putus asa. Aku tidak tahu pasti. Yang aku tahu, aku merasa seperti terperangkap dalam bayang-bayang kelam yang tak kunjung sirna.

Lama aku termenung hingga sebuah suara mengalun pelan, memasuki pendengaranku.

“Bismillahir-rahmanir-rahim.” Suara itu jernih, merdu, dan penuh penghayatan, seolah berasal dari seseorang yang benar-benar tenggelam dalam kalam Ilahi. Tanpa sadar, aku terdiam, terpaku mendengarnya. Suara itu mengisi ruang kosong dalam diriku, memaksa bulir-bulir air mata yang sempat kutahan untuk kembali jatuh. Aku mengusap wajah, tetapi rasanya air mata ini tak akan pernah habis. Haruskah aku menangis terus seperti ini? Sampai kapan?

“Asalamualaikum.”

Sapaan lembut itu memecah lamunanku. Aku menoleh dan mendapati seorang pria paruh baya berdiri di pintu musala. Pakaiannya rapi—koko putih bersih, sarung cokelat tua, dan kopiah putih yang bertengger pas di kepalanya. Senyumnya hangat, sehangat suara lantunan ayat yang baru saja kudengar.

“Wa ‘alaikumus-salam,” jawabku pelan, lalu aku berdiri untuk menunjukkan rasa hormat.

"Maaf, saya perhatikan dari tadi Adik duduk di sini," ujarnya dengan nada lembut, sedikit mengangkat tangan memberi isyarat. "Kenapa nggak masuk aja? Kita bisa baca Al-Qur'an bareng-bareng, kalau Adik mau."

Aku tertegun sesaat, tidak menyangka akan diajak seperti ini. "Boleh, Pak?" tanyaku, hampir tak percaya.

"Tentu saja boleh," jawabnya sambil tersenyum lebar. Janggut putihnya bergoyang sedikit saat ia mengangguk dengan penuh keyakinan. "Semua orang boleh membaca Al-Qur'an di musala ini. Sekali lagi, maaf kalau saya lancang. Tapi, apa pun yang sedang Adik hadapi, coba baca kalam Allah. Percayalah, hati bisa jadi lebih tenang."

Aku hanya mengangguk kecil, tidak tahu harus berkata apa. Pria itu melangkah masuk, meninggalkan aroma ketenangan yang seakan melekat di jejaknya. Aku memandang punggungnya yang perlahan menghilang di dalam musala. Kata-katanya terus terngiang-ngiang di telingaku.

“Hati bisa jadi lebih tenang.”

Mungkin dia benar. Mungkin ini yang selama ini aku butuhkan—bukan pelarian, bukan penghakiman, tetapi sebuah tempat untuk bersandar dan mengadu pada Yang Mahakuasa. Dengan langkah berat, aku mengikuti jejaknya masuk ke musala, mencoba mencari kembali kedamaian yang entah di mana sempat hilang dari hidupku.

Keraguan masih menyelimuti hatiku, membuatku enggan melangkahkan kaki untuk masuk kembali ke musala. Aku diam, membeku di ambang pintu, terjebak dalam konflik batin. Kuakui, sebelumnya aku terlalu sering lalai terhadap ibadah. Azan hanya terdengar seperti suara latar yang aku abaikan, dan salat lebih sering kutunda atau bahkan kulewatkan sama sekali. Aku sibuk dengan kesendirian yang tidak jelas arahnya, membiarkan masalah menumpuk hingga beratnya menekan jiwa.

Namun, malam ini aku sadar. Saat beban hidup semakin tak tertahankan, hanya Allah yang menjadi tempat terakhir untuk bersandar. Dengan berat hati, aku melangkah masuk ke dalam musala. Pandanganku tertuju pada rak kecil yang menempel di dinding, tempat beberapa Al-Qur'an tersusun rapi. Aku mengambil satu, lalu melangkah menuju pria paruh baya yang duduk bersila di depan mimbar. Tanpa ragu, aku menirukan posisi duduknya, tepat di hadapannya.

"Maaf, Pak. Saya boleh tanya sesuatu?" tanyaku, memecah keheningan sebelum dia sempat melantunkan ayat-ayat suci.

"Oh, tentu saja boleh. Silakan, Dik. Apa yang ingin Adik tanyakan?" Pria berjanggut putih itu menatapku dengan penuh perhatian. Tangannya perlahan memasang kacamata berbingkai hitam yang terselip di saku bajunya.

Kini, setelah memperhatikannya lebih saksama, pria itu tampak tidak terlalu tua, meskipun garis-garis di wajahnya menandakan perjalanan hidup yang sudah panjang. Dia mungkin sepantaran dengan almarhum ayahku. Jika ayahku masih hidup, mungkin ia akan terlihat seperti pria ini—tenang, bijak, dan penuh kearifan. Ucapannya ramah, setiap kata yang meluncur dari bibirnya menunjukkan penghormatan, bahkan kepada orang sepertiku yang barangkali masih awam dalam hal agama.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dalam diriku sebelum berbicara. "Begini, Pak," aku memulai, "saya sedang menghadapi masalah yang benar-benar nggak sanggup saya hadapi sendiri. Apa ada ayat Al-Qur'an yang bisa membantu saya untuk berserah diri kepada Allah?"

Lihat selengkapnya