Sunyinya malam kian mencekam. Aku masih terpaku di musala dengan sarung yang menutupi pinggang hingga mata kaki. Baru saja orang-orang keluar setelah salat isya berakhir. Beberapa waktu sebelumnya, sorotku terpaku pada orang-orang yang keluar dari bangunan yang tak seberapa luasnya ini hingga aku yakin sudah tidak ada lagi yang tersisa.
Bukan karena begitu menarik melihat gerombolan orang berjalan keluar dari pintu, melainkan aku masih bingung untuk berjalan ke arah mana. Jika aku pergi, hati ini sakit dan perih. Jika aku tinggal dan bersikeras, akan ada hati yang tersakiti.
Sejujurnya, aku sudah tak memiliki niat apa pun saat ini. Hobi yang aku rasa tidak akan pernah membuatku bosan, kini justru terasa tidak menyenangkan sama sekali. Biasanya, di waktu-waktu seperti ini, aku hanya bisa menatap layar laptop sambil memeriksa hasil foto yang kuambil seharian, lalu mengeditnya sedemikian rupa. Namun, kali ini semua ambisi sirna tanpa sisa.
Aku memutuskan duduk di tepi musala, menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang, datang dan pergi, lalu masuk ke musala untuk salat karena sebelumnya tak sempat ikut berjamaah. Entah, mereka mungkin sama sepertiku yang tengah diselimuti rasa bersalah dan putus asa.
Lama aku termenung sampai lantunan basmalah memasuki gendang telinga. Aku tiba-tiba merasa jatuh cinta dengan kalam Ilahi setelah mendengar lantunan syahdu dengan vokal tinggi itu. Seseorang mungkin baru saja masuk ke musala tanpa aku sadar, lalu membaca Al-Qur'an. Aku terenyuh kembali, bulir-bulir air mata ini ternyata belum usai. Harus sampai kapan kutumpahkan?
"Assalamualaikum."
Seseorang yang baru saja datang dan hendak memasuki musala, menyapa, membuyarkan kecemasanku yang menumpuk di kepala. Seorang lelaki paruh baya yang tampak rapi dengan pakaian koko serta kopiah putih bertengger di kepala.
"Waalaikumsalam," jawabku, lalu bangkit demi bersopan santun.
"Maaf, saya perhatikan dari tadi Adik duduk di sini. Nggak mau masuk aja? Kita baca Al-Qur'an bareng-bareng," ajak pria berjanggut putih itu sambil merekahkan senyuman.
"Boleh, Pak?"
"Oh, tentu saja boleh. Semua orang boleh membaca Al-Qur'an di musala ini, Dik. Sekali lagi, maaf. Apa pun masalah yang sedang Adik hadapi, dengan membaca kalam Allah, hati bisa menjadi tenang," ungkapnya, bijak. Pria itu berjalan masuk.
Sementara itu, aku masih membeku karena ragu untuk mengangkat kakiku dan masuk lagi ke musala. Kuakui sebelumnya aku memang lalai terhadap ibadah. Bahkan tidak pernah aku bersegera melaksanakan salat ketika azan berkumandang. Aku asyik dengan kesendirian tanpa tujuan yang jelas. Tanpa pernah sekali pun memikirkan masalah yang kian terasa berat. Beban hidup kian bertambah sampai hati tak mampu membendung segala luka.
Memang pasrah kepada Allah adalah kuncinya. Aku pun masuk, lalu mengambil sebuah Al-Qur'an yang tersedia di rak yang mepet dengan dinding. Lelaki paruh baya itu duduk bersila di depan mimbar. Aku mengikutinya dan mulai duduk di hadapannya.
"Maaf, Pak. Saya boleh tanya?" Aku membuka mulut sebelum pria berjanggut putih itu melantunkan ayat-ayat suci.
"Oh, boleh. Silakan, Dik. Apa yang mau Adik tanyakan?" Dipasangnya kaca mata dengan frame hitam kemudian.
Jika ditilik lebih teliti, pria tersebut tidak terlalu tua meskipun garis-garis di wajahnya cukup terlihat. Namun, aku bisa mengambil kesimpulan kalau dia sepantaran dengan ayahku. Andai ayahku masih hidup, mungkin dia akan terlihat seperti pria tersebut. Selain itu, ucapannya sangat ramah dan jelas sekali dia menjaga sikapnya meskipun berbicara dengan orang sepertiku.