Semalam suntuk, mataku tak mampu terpejam. Lelah tak terasa, lapar pun tidak menyapa. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 2.00 dini hari, tetapi pikiranku terus dihantui ucapan Aldi yang begitu kejam. Kata-katanya masih menggema di kepalaku, menancap seperti duri. Aldi, yang dulu kuanggap sebagai teman, kini tak lagi memandangku seperti itu. Sebaliknya, dia menimpakan semua kesalahan padaku tanpa ragu, seakan aku adalah tersangka utama yang tak berhak membela diri.
Namun, jika aku mengingat kejadian malam itu, bukankah yang membuat Nina berlari ke jalanan adalah Aldi sendiri? Dialah yang memaksanya dalam tekanan hingga Nina akhirnya mengambil langkah impulsif yang nyaris merenggut nyawanya. Tapi sekarang, aku yang menjadi "kain pel"—diinjak, dilempar, dan ditinggalkan tanpa belas kasih. Semua seolah-olah telah diputarbalikkan, meninggalkan aku sendirian dalam lingkaran tuduhan.
Bagaimana bisa orang yang selama ini aku coba jaga perasaannya berubah menjadi sosok yang begitu buta oleh ambisinya? Aku tidak bisa lagi menyebut itu cinta. Jika cinta adalah apa yang diklaimnya, ia tak mungkin bertindak sedemikian kejam, apalagi mengorbankan seseorang yang telah mencintainya. Cinta sejati tak seharusnya menyakitkan, bukan?
Dalam keheningan malam, kebencian perlahan tumbuh di hatiku, bercampur dengan rasa luka dan kecewa. Namun, di saat yang sama, tekad baru mulai muncul—sebuah dorongan untuk tidak menyerah begitu saja. Aku tak mungkin hanya duduk diam, sementara Nina, seseorang yang mencintaiku, sedang terbaring lemah di tempatnya. Ketika ia akhirnya membuka mata, akankah aku menjadi orang pertama yang ia cari? Satu-satunya yang ia harapkan untuk dapat ia lihat? Aku ingin percaya bahwa jawabannya adalah "iya".
Pada pukul 2.30 dini hari, aku bangkit dari keterpurukan ini, mengambil langkah kecil menuju sumber kekuatan yang selalu mampu membantuku. Aku mengambil wudu dengan air yang dinginnya menusuk kulit, tetapi terasa menenangkan jiwa. Setelah itu, aku berdiri menghadap kiblat, menunaikan salat dalam kesunyian malam.
Dalam doa yang panjang, aku memohon dengan segenap hati, meminta agar diberikan petunjuk dan jalan keluar. Mungkin aku tak mampu meredam kekacauan ini seorang diri, tapi aku yakin bahwa Dia selalu punya cara untuk memberikan titik terang. Meskipun hati ini penuh luka, aku ingin percaya bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari rencana yang lebih besar.
-II-
Di mana ini?
Aku berdiri di sebuah tempat yang begitu indah, seolah-olah tercipta dari serpihan mimpi. Hamparan rumput hijau yang lebat memenuhi pandanganku, melambai lembut ditiup angin, memberikan kesan tenang dan damai. Sejauh mata memandang, lautan biru yang luas terbentang di depan sana, memantulkan kilauan matahari yang menari di permukaannya. Udara di sini terasa segar, begitu berbeda dari tempat mana pun yang pernah aku kunjungi. Namun, satu hal yang membuatku bingung—bagaimana aku bisa ada di sini? Kapan aku melakukan perjalanan ke tempat ini?
Aku mengedarkan pandangan, mencari jawaban yang tak kunjung kutemukan. Jika saja aku membawa kamera, keindahan ini pasti akan kuabadikan dan kuberikan pada Nina saat ia sadar nanti. Mungkin, aku akan menceritakan setiap detailnya, membuatnya seolah-olah ikut hadir di sini bersamaku. Tapi, apakah ini nyata? Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh pikiranku yang kacau?
Di tengah lamunan, mataku tertuju pada sosok seorang perempuan. Dia berdiri tak jauh dari tempatku berpijak, mengenakan gaun putih bersih yang bersinar terkena cahaya matahari. Terang gaunnya memantulkan sinar hingga membuatku sedikit menyipitkan mata. Perlahan, perempuan itu merebahkan dirinya di atas rumput hijau, membentangkan kedua tangannya seperti ingin merangkul dunia.
Aku terpaku, tetapi langkahku otomatis mengarah padanya. Ada sesuatu yang aneh—bukan tentang penampilannya, tetapi tentang aura yang ia pancarkan. Rasanya, ada yang familier, sesuatu yang selama ini kurindukan. Hati kecilku berbisik, menyebut nama yang tak pernah berhenti kupanggil dalam doa.
"Nina?" panggilku ragu, hampir tak percaya dengan dugaanku sendiri.
Dia membuka matanya perlahan, kemudian menoleh ke arahku. Senyuman itu—senyuman yang selalu kurindukan, kini kembali menyapa. Senyuman yang seolah berkata bahwa tak pernah ada luka, tak pernah ada air mata. Ia bangkit dari rebahannya, berdiri anggun di hadapanku.
"Andre," ucapnya, lembut.
Hatiku serasa berhenti berdetak. Lututku mendadak lemas, hingga aku bersimpuh di depannya tanpa sadar. Air mata yang tak mampu kubendung mulai mengalir deras. Tanpa berpikir panjang, aku meraih tubuhnya, memeluknya erat seakan takut ia menghilang lagi.
"Nina, kamu ... ini beneran kamu, kan?" Suaraku bergetar, penuh kerinduan dan ketidakpercayaan.
Dia menghela napas pelan, membalas pelukanku dengan hangat. Tangannya yang lembut mengelus punggungku, seperti dulu—seperti ketika ia selalu menenangkanku saat dunia terasa begitu berat.
"Aku di sini, Andre," katanya, suara itu menenangkan, penuh kepastian.
Tangisanku pecah semakin deras. Aku merindukan setiap detik yang pernah kami lewati bersama. Kerinduan yang menguasai hati selama ini akhirnya menemukan pelampiasannya. Namun, bersamaan dengan itu, penyesalan juga menyeruak, mengingat semua kesalahan yang telah kulakukan. Aku ingin percaya bahwa ini nyata, bahwa aku sedang berada di sisinya, bahwa aku masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
Namun, di balik pelukannya, aku masih bertanya-tanya. Apakah ini nyata, ataukah aku hanya sedang terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh harapanku sendiri?
Nina membuka mulutnya, suaranya tenang dan penuh arti. "Indah, kan rumah baruku, Ndre?"
Aku menatap sekeliling, terpesona oleh keindahan tempat ini, tapi hatiku tak tenang. "Sangat indah, Nin. Indah banget, tapi kita harus segera pulang. Kita nggak boleh berlama-lama di sini. Ayo, kita pergi."
Setelah beberapa detik berlalu tanpa respons, Nina akhirnya melepaskan pelukanku. Dia berjalan pelan, matanya terpaku pada laut biru yang memantulkan cahaya matahari, berkilauan seperti permata. Seolah tempat ini begitu sempurna untuknya—tempat yang jauh lebih baik daripada dunia yang kukenal.