Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #12

Cinta yang Terlupakan

Semalam suntuk, mataku tak dapat memejam. Lelah tak terasa, lapar pun tidak. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 2.00. Masih mengiang ucapan Aldi yang kejam, tak lagi menganggapku sebagai seorang teman. Apalagi dia menimpakan semua kesalahan padaku. Jika kita tilik kembali, yang membuat Nina sampai berlari ke jalanan waktu itu adalah dia. Lantas, aku kini seakan-akan menjadi tersangka utama yang tidak bisa membela diri. Seolah-olah, aku kain pel yang bisa ia injak-injak sesuka hati.

Bagaimana mungkin orang yang dulu selalu berusaha aku jaga perasaannya, sekarang menjadi sosok yang dibutakan ambisi? Aku hanya bisa menganggap perasaannya sebagai ambisi, bukan cinta yang sesungguhnya. Sebab, jika itu cinta, dia pasti tak akan pernah melakukan hal demikian.

Kebencian pun lahir di dalam diriku. Dalam waktu yang bersamaan, muncul tekad membara. Mana mungkin aku hanya duduk diam tanpa berbuat apa-apa, sedangkan seseorang yang mencintai diriku sedang berbaring lemah di sebuah tempat. Dan ketika ia terbangun nanti, akankah aku menjadi satu-satunya yang ia harapkan untuk dapat ia lihat kembali? Aku berharap begitu.

Hingga pukul 2.30 dini hari, aku memutuskan mengambil wudu, lalu menunaikan salat. Setidaknya, aku masih bisa berdoa, meminta untuk diberikan titik terang.

*

Ini di mana?

Sebuah tempat indah yang damai dan tentram. Rumput-rumput hijau lebat memenuhi, membuat mata segar ketika menatap ke sekeliling. Sepertinya aku berada di sebuah bukit, lalu di depanku adalah lautan luas yang menghampar. Pandangan seolah-olah tersihir dan aku terpanah oleh betapa indahnya tempat tersebut. Satu-satunya hal yang membuatku penasaran, mengapa aku bisa ada di tempat ini? Memangnya sejak kapan aku melakukan perjalanan ke sini?

Aku masih tak memahami segalanya. Andaikan aku membawa kamera, tempat ini dapat kuabadikan dan pasti akan aku perlihatkan pada Nina saat ia sadar nanti. Itulah yang aku pikirkan, setidaknya jika yang aku lihat ini adalah kenyataan.

Menghentikan pergerakan, aku menatap ke sesosok perempuan berambut sebahu yang hanya mengenakan gaun putih bersih. Saking putih gaunnya, sinar matahari memantul, membuatku silau dan akhirnya mengangkat tangan menghalaunya.

Orang yang tak kukenal itu merebahkan tubuhnya di atas padang rumput hijau ini, kemudian membentang kedua tangannya. Aku berjalan lebih dekat menghampirinya dengan maksud mencari tahu siapa dia sebenarnya. Tak dimungkiri, aku merasakan aura yang sama pada saat berada di samping Nina. Jika tebakanku tak salah, tentu orang itu adalah Nina yang semestinya saat ini ada di rumah sakit.

"Ni-Nina?!" sapaku. Seketika itu, aku terkejut mengetahui bahwa dugaanku memang tak salah. Perempuan bergaun putih itu adalah Nina yang selama ini kutunggu kehadirannya kembali.

Mata perempuan itu membuka, lalu dia menoleh dan sejenak menatapku sambil tersenyum seolah tak pernah terjadi apa-apa dengannya. Ia beranjak pada menit berikutnya, kemudian berucap, "Andre." Bibirnya masih bertahan membentuk kurva yang simetris.

"Nina." Bersimpuh diriku sebab tiba-tiba merasa lemas tak berdaya. Begitu aku mengangkat kepala, langsung kugapai tubuhnya dengan bersimbah air mata. "Nina. Kamu beneran Nina, kan?"

Tak kuasa aku atas kerinduan yang selama ini mendominasi hati dan pikiran. Sejak saat dia koma, aku selalu bertanya, ketika ia sedang bertarung menghadapi maut, harus ke mana aku meluapkan rasa rindu ini? Aku merindukan setiap senyumannya. Walau demikian, penyesalan masih tetap menerobos masuk di sela-sela kerinduan yang tertumpah ruah.

Kudengar Nina menghela napas lega, lalu menyambut pelukanku. Dia mengelus pundakku berkali-kali sebagaimana yang pernah ia lakukan padaku waktu itu ketika aku sama sekali tak menggubrisnya.

Nina buka mulut. "Indah 'kan rumah baruku, Ndre?"

"Sangat, sangat indah, Nin. Indah banget, tapi kita harus segera pulang. Kita nggak boleh berlama-lama di sini. Ayo, kita pergi."

Dia melepaskan pelukan setelah cukup lama tak merespons ajakanku, lalu berjalan pelan dan memandang laut biru yang memantulkan cahaya-cahaya matahari. Air laut tampak seperti berbinar-binar, seolah-olah tempat ini menjadi jauh lebih ideal bagi perempuan itu untuk ditinggali.

"Aku nyaman ada di sini, Ndre. Entah kenapa, aku jadi mikir nggak mau ngerusak persahabatan kamu dan Aldi. Aku udah salah selama ini. Seharusnya aku minta maaf. Aldi pasti marah banget sama kamu, ya. Maafin aku. Selama ini, aku egois banget udah maksa kamu buat ngasih aku kejelasan mengenai perasaan kamu," jelasnya, pelan dan tenang.

"Kamu benar, Nin. Kamu salah. Aku benci sekarang," kelakarku sambil beranjak berdiri dan terpaku tepat di belakang perempuan itu.

Nina berbalik badan, menatap mataku dengan ketenangan seperti biasanya. Dia terlihat seperti Nina yang dulu, sebelum masalah zona pertemanan itu menjadi beban yang mendominasi pikiran kami masing-masing.

"Maafin aku, ya, Ndre. Aku sayang banget sama kamu."

Lihat selengkapnya