Seperti karang yang diam di tengah lautan, diterpa ombak tanpa henti, begitulah diriku saat ini. Hanya bisa terdiam meski kenyataan menghantam dengan begitu keras. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa Nina tiba-tiba bertanya, "Kamu siapa?" Padahal, aku tahu diriku adalah orang yang cukup berarti baginya. Tapi kenyataan ini berbeda, dan aku hanya bisa tertegun, mulut terkunci, mata terbuka lebar, dan dada yang terasa sesak. Reaksi yang wajar, bukan? Apalagi mendengar pertanyaan yang tak mungkin datang dari Nina, setelah bertahun-tahun kami saling mengenal.
"Nina, ini aku, Andre," ucapku pelan, tetapi tegas. Sementara itu, Aldi masih menahan lenganku, seolah-olah aku ini buronan yang harus segera ditangkap dan diseret pergi.
"Andre siapa? Apa kita pernah kenal?" Nina bertanya dengan nada datar, seakan tak ada sedikit pun ingatan yang tersisa tentangku.
Aldi dengan cepat menimpali, "Nggak. Kamu nggak pernah kenal orang ini, Nina. Jangan pikirin dia! Dia cuma orang aneh yang dari tadi mengawasi kamu. Mungkin dia mau berbuat jahat sama kamu." Nada suara Aldi begitu tajam, seolah-olah dia siap menerkamku kapan saja, seperti singa buas yang mengejar mangsanya.
Padahal baru kemarin rasanya hubungan kami baik-baik saja. Bermain PS bersama, karaokean, makan bareng. Semua kenangan itu terasa semakin memudar begitu aku melihat sikap Aldi sekarang. Seolah-olah semua yang pernah ada di antara kami lenyap begitu saja.
"Tapi—" Nina mencoba berbicara, tapi kalimatnya terhenti karena batuk yang keras. Napasnya terdengar berat, dan dadanya tampak sesak, seperti ada yang menghalangi udara masuk. Terlihat jelas bahwa dia belum benar-benar pulih.
"Nina! Kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa, kan?" Aldi langsung melepaskan genggamannya, panik melihat keadaan Nina yang semakin memburuk.
Melihat itu, aku merasa hanya bisa berdiri di sana, terperangkap dalam kebingunganku. Aku menatap Nina, mencoba mencari kepastian dalam matanya. Apakah benar aku sudah dilupakan begitu saja? Atau mungkin ini semua hanyalah sandiwara yang direncanakan bersama Aldi? Bagaimana mungkin aku bisa percaya bahwa namaku telah hilang dari ingatannya begitu cepat? Bagaimana bisa dia tidak mengingatku, sementara Aldi yang baru datang ke dalam hidupnya masih begitu dikenalnya? Ini jelas tidak masuk akal.
Di antara kebingunganku, aku mulai berpikir, mungkin Tuhan sedang menghukumku. Mungkin ini adalah karmaku, akibat semua yang pernah kulakukan padanya. Dan entah kenapa, aku merasa pantas mendapatkannya.
"Apa lagi yang kamu tunggu, hah? Pergi kamu! Nina udah melupakan kamu, Andre! Kamu nggak dibutuhin lagi di sini! Sekarang rasakan karma yang kamu dapat karena sudah merebut dia dariku!" Aldi berteriak, suaranya penuh kebencian. Aku terdiam, tubuhku kaku. Meski kata-kata itu tajam, aku tahu—aku harus tetap bertahan. Namun, sepertinya tubuhku menentang, tak ingin bergerak pergi tanpa mendapatkan jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Nina.
Aku menatap Aldi, yang kini menyeringai puas. Dia seolah merasa menang, melihatku sebagai orang yang tak lagi berarti bagi Nina. Aku ingin percaya bahwa apa yang dia katakan itu adalah kenyataan, meski hatiku berontak. Aku ingin percaya, meskipun rasanya mustahil. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Sahabat yang dulu kukenal baik, ternyata bisa berubah begitu cepat. Dan Nina, yang tiba-tiba melupakanku—aku harus menerimanya, meski hatiku dipenuhi keraguan.
"Tapi, aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi sama Nina. Kenapa dia bisa lupa denganku? Jawab aku, Al," desakku, menatap Aldi dengan tatapan yang sama tajamnya seperti dia menatapku.
"Kamu nggak pantas dia ingat!" Aldi membentak. "Kamu memang pantasnya dilupakan! Pergi kamu, Pengkhianat! Kamu nggak berhak ada di sini!" ucapnya, suaranya penuh amarah.
Belum sempat aku memberi reaksi, dua satpam rumah sakit datang menghampiri. Tanpa basa-basi, mereka langsung menyeretku menjauh dari Nina. Aku meronta, tak ingin pergi sebelum mendapatkan penjelasan yang aku cari. Meskipun tubuh mereka lebih besar dan kuat dariku, aku tak bisa diam begitu saja. Aku menyikut perut dan kepala mereka, berusaha bertahan, tapi tetap saja mereka terlalu kuat.
“Diam! Anda sudah mengganggu pasien! Anda harus keluar dari rumah sakit ini!” teriak salah satu satpam dengan tegas.
"Lepasin saya, Pak! Lepasin! Saya masih butuh penjelasan! Hei! Hei! Apa-apaan ini?!" Suaraku penuh kekesalan dan kebingunganku.
Kepala dan dadaku terasa sesak, kesal dan frustrasi. Aku dipaksa berpisah dengan Nina tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Dari kejauhan, aku masih bisa melihatnya. Nina terus menatapku, matanya penuh dengan kesedihan dan keraguan. Ada sesuatu yang tidak beres. Aku bisa merasakannya, bahkan lebih jelas daripada yang bisa dijelaskan kata-kata.
Pikiranku kembali melayang, mengingat semua yang terjadi beberapa bulan lalu. Aku sadar, ini karma—karma yang aku ciptakan sendiri. Dulu, aku pernah memperlakukan Nina dengan cara yang sama, dengan ketidaktahuan dan egoisme. Dan kini, karma itu datang padaku dalam bentuk yang menyakitkan.
Aku teringat doa-doa yang kutuangkan dalam hati, berharap bisa memperbaiki segalanya. Tapi ternyata, doa itu membawaku bukan kepada penolong, melainkan justru kepada ironi yang tak terduga. Aku dipaksa menghadapi kenyataan yang pahit, dan aku tahu, aku tak bisa lagi mengelak.
Kini, aku seperti remah nasi yang tak lagi berarti—terabaikan, terlupakan. Nina yang pernah mengisi hari-hariku dengan harapan dan kebahagiaan, kini seolah telah menghapus semua itu. Aku hanya bisa berharap bahwa dia akan kembali pulang, kembali dari tempat yang kini membuatnya nyaman. Jika aku sudah tak lagi indah di matanya, maka aku hanya akan menjadi kenangan yang lusuh. Dan jika aku sudah tak pantas menjadi tempat berpulangnya, maka mungkin sudah saatnya aku menerima kenyataan ini.
Dua minggu berlalu, dan aku kembali terjebak dalam kesendirian yang semakin mencekam. Setiap hari terasa hampa, seperti ada kekosongan yang menggelayuti pikiranku. Nina, perempuan yang pernah jadi pusat dunia kecilku, kini telah terhapus dari ingatanku, dan aku hanya bisa merasakan sebuah rindu yang buta arah, merobek-robek ruang-ruang harap di palung hatiku. Seiring dengan kepergiannya, luka baru terbentuk—lebih dalam, lebih pedih, lebih sulit untuk disembuhkan.
Hari-hari seakan berlalu tanpa makna, dan aku terus bergumul dengan kenangan. Wajah Nina, senyumannya yang dulu selalu berhasil menyentuh relung hatiku, kini hanya bisa aku bayangkan dalam khayalan kosong. Aku merindukan sosok itu lebih dari yang bisa aku ungkapkan, tapi tak ada yang bisa kulakukan selain menahan perasaan ini sendiri.