Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #14

Kenangan Baru

“Oke. Satu, dua, tiga!”

Flash kamera menyala, menangkap sosok ramping Lisa yang berpose anggun. Aku mengambil potret dari sudut angka lima pada jarum jam, berharap mendapatkan komposisi terbaik. Senyum merekah di wajahnya, menampilkan gigi putih yang rapi, sementara tangan kanannya berkacak pinggang dan tangan kirinya menyentuh dagu yang tampak sedikit terbelah, memberi kesan manis sekaligus memikat. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai melewati bahu, diatur sedemikian rupa agar terlihat sempurna di lensa kamera.

Salah satu hal yang mencuri perhatianku adalah gigi taringnya yang sedikit mencuat. Ada sesuatu yang unik dari situ—kesan vampir yang alami tapi tetap manis, memberikan daya tarik khas yang sulit diabaikan. Saking khasnya, kadang ia mengingatkanku pada Avril Lavigne, penyanyi dari Barat yang pernah menjadi idolaku.

Aku terus menekan tombol shutter, mencoba berbagai sudut dan postur. Lisa mengenakan atasan lengan panjang biru muda yang dipadukan dengan rok selutut bermotif bunga bernuansa krem. Kombinasi itu membuatnya terlihat elegan, seperti seorang model profesional. Dia tahu cara membawa dirinya di depan kamera. Bahkan, aku tak perlu repot-repot memberi arahan—seolah pose itu sudah ada dalam darahnya.

Namun, Lisa selalu bersikeras bahwa dunia modeling bukan untuknya. "Aku cuma tertarik kalau yang motret kamu," katanya saat aku menyinggung soal bakatnya. Kalimat itu terdengar mengada-ada, tapi ia mengucapkannya dengan nada yang serius.

"Gimana, Ndre? Hasilnya bagus nggak? Apa posenya kurang oke?" tanyanya antusias, berjalan mendekat untuk melihat hasilnya.

Saat sesi pemotretan usai, aku memperlihatkan beberapa foto di layar kamera. Reaksinya benar-benar di luar dugaanku. Ia terus memuji hasil fotoku, mengomentari setiap detail dengan penuh semangat. Padahal, aku tahu sebagian besar keindahan foto itu datang dari kecanggihan kamera Sony full-frame yang baru saja kudapatkan. Kamera ini adalah hadiah dari kantor, apresiasi atas hasil kerjaku yang mampu mendatangkan banyak klien.

Sejujurnya, keberhasilanku ini juga berkat Nina. Ia banyak membantuku saat awal membangun karier sebagai fotografer. Kini, dengan kamera yang bernilai puluhan juta ini, aku bisa menghasilkan karya yang lebih maksimal.

"Wah! Ini bagus banget, Ndre! Aku jadi cantik banget di foto itu. Kamu emang udah jago, ya," ucap Lisa dengan nada riang, senyum lebar menghiasi wajahnya.

Aku tertawa kecil mendengar pujiannya. "Cantik? Kalau soal cantik, itu udah bawaan dari kamu aja. Tapi, serius, kamu memang cocok jadi model. Kenapa nggak coba aja sekalian?"

Mendengar perkataanku, Lisa tiba-tiba terdiam. Pandangannya beralih ke arah kanan, lalu ia menunduk sejenak. Reaksinya membuatku berpikir apakah aku mengatakan sesuatu yang salah. Namun, aku rasa tidak. Aku hanya mengungkapkan apa yang ada di pikiranku. Lagi pula, aku bukan tipe orang yang suka memberi pujian kosong—yang kuucapkan tadi adalah murni pendapatku.

Hening melingkupi kami sejenak, dan aku hanya bisa menebak apa yang ada di pikirannya.

"Kenapa? Ada yang salah sama ucapanku, ya?" tanyaku, memecah keheningan.

"Nggak ada, kok," jawab Lisa singkat, lalu berjalan menuju bangku taman dan duduk. Aku mengikutinya, meskipun suasana yang terasa ganjil mulai membuatku tak nyaman.

Lisa tetap bungkam. Tatapannya tidak lagi tertuju padaku, berbeda dari sebelumnya ketika ia tampak antusias. Sikapnya yang tiba-tiba berubah membuatku gelisah, seolah keberadaanku di dekatnya justru memberatkan suasana. Aku benar-benar benci berada di situasi seperti ini. Dalam keheningan yang menyiksa, aku memutar otak untuk mencari cara agar suasana kembali cair.

"Maaf, ya. Aku nggak bermaksud apa-apa, Sa. Tadi aku cuma bilang apa yang aku pikirkan," ucapku hati-hati, berusaha mengklarifikasi.

Lisa menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Ia menatapku sebentar, memberi senyuman tipis yang nyaris tak terlihat, sebelum mengalihkan pandangannya ke depan.

"Nggak apa-apa, kok, Ndre. Lagian, aku tahu kamu orang yang suka ngomong apa adanya. Tapi ... aku nggak bisa jadi model," katanya dengan nada pelan.

Ada sesuatu dalam tatapannya—kesedihan yang begitu kentara. Aku tidak sedang mengada-ada; sebagai seseorang yang cukup jeli membaca ekspresi, aku tahu betul ada luka yang bersarang di matanya. Mungkin luka itu telah ia simpan rapat-rapat, dan kini hanya muncul sekelebat di hadapanku.

Meski begitu, aku menahan diri untuk tidak memaksanya bercerita. Kalimat "nggak apa-apa" dari seorang perempuan sering kali berarti sebaliknya. Entah apa yang sebenarnya ia pikirkan, tetapi aku yakin ada hal yang ia pendam dan belum siap untuk dibagikan—termasuk padaku.

"Oh, gitu," balasku singkat sambil mengangguk, mencoba menerima jawaban itu apa adanya.

Aku merasa ini saatnya mengalihkan pembicaraan. Jika terus menggali, aku takut malah terkesan seperti orang sok tahu. Lagi pula, aku memang tidak benar-benar mengenal Lisa secara mendalam. Kami hanya pernah sekelas di SMA, dan itu pun tidak membuat kami dekat.

Dulu, aku cenderung menghindarinya. Alasannya sederhana, tapi cukup membuatku ogah berurusan dengannya: Lisa yang dulu sering mem-bully-ku. Bersama gengnya, ia menjadi sosok tomboi yang dingin dan dominan di kelas. Hampir semua anak laki-laki, termasuk aku, enggan berpapasan dengannya, apalagi menatap matanya secara langsung. Hanya mendengar suara langkahnya saja sudah cukup membuat nyaliku menciut.

Namun, Lisa yang ada di sampingku sekarang terasa berbeda. Aura dingin yang dulu menyelimuti dirinya seakan telah mencair. Mungkin waktu telah mengubahnya, atau mungkin ada hal lain yang belum aku pahami. Bagaimanapun, aku tetap menjaga jarak, takut salah langkah yang bisa membuatnya kembali ke sifat lamanya.

 

Lihat selengkapnya