"Oke. Satu, dua, tiga!"
Flash kamera menyala dan sensor pun menangkap tubuh ramping Lisa yang aku potret dari arah angka jarum jam lima. Senyumannya merekah menampilkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Tangan kanannya berkacak pinggang, sementara tangan kirinya memegang dagunya yang terlihat seolah terbelah itu. Rambutnya yang tergerai melewati bahu itu diatur sedemikian rupa.
Salah satu hal yang kusuka darinya adalah bahwa gigi taringnya yang alami. Bagian itu benar-benar membuatnya terlihat seperti vampir, tetapi memiliki daya tarik tersendiri dan menjadi ciri khasnya. Bahkan kadang aku merasa ia mirip sekali dengan penyanyi perempuan dari negara Barat bernama Avril Lavigne.
Beberapa kali kutekan tombol shutter demi mendapatkan postur dan sudut yang berbeda-beda. Atasan lengan panjang dengan warna biru muda serta perpaduan rok selutut bermotif bunga didominasi warna krem itu membuatnya begitu elegan bak model sungguhan. Kurasa, dia memang punya bakat tersembunyi untuk menjadi model majalah atau bahkan artis papan atas.
Lisa sangat pintar mengatur posturnya sendiri. Aku pun sampai tak repot-repot menyuruhnya melakukan hal itu. Sayangnya, dia memang tidak tertarik dengan dunia modeling. Katanya, dia hanya tertarik difoto olehku. Alasan yang sedikit mengada-ada, kurasa.
"Gimana, Ndre? Hasilnya bagus, nggak? Apa poseku kurang bagus?"
Setelah sesi pemotretan itu berakhir, dia menghampiri diriku untuk melihat hasil foto pada kamera. Lisa memberikan reaksi yang luar biasa di luar dugaanku. Dia terus-menerus memuji hasil potretanku yang memang mengandalkan fokus serta keseimbangan warna itu. Namun, itu tak seratus persen kerja kerasku. Sebab, aku menggunakan kamera Sony dengan sensor full frame yang baru-baru ini resmi diluncurkan.
Sebenarnya, kamera tersebut menjadi salah satu hadiah terbesarku dari kantor karena sudah menghasilkan banyak karya bagus. Tak hanya karya, tetapi aku juga mendatangkan klien dari berbagai kalangan. Tak dimungkiri, ada jasa Nina juga di sebagian perjuanganku tersebut. Itulah mengapa aku bisa mendapatkan kamera yang harganya puluhan juta tersebut.
"Wah! Ini bagus banget, Ndre! Aku jadi cantik di foto itu. Ternyata kamu emang udah jago, ya," pujinya, tersenyum senang.
Mendengar itu membuatku tertawa renyah, kemudian berkata, "Cantik? Kalau soal cantik, itu udah bawaan dari kamunya aja, kali. Aku pikir, kamu emang cocok jadi model, sih. Kenapa kamu nggak jadi model aja sekalian?"
Entah kenapa setelah aku mengucapkan itu, Lisa mengalihkan pandangannya ke kanan dan mulai menunduk. Kurasa aku tidak salah bicara karena mengatakan sesuatu sesuai yang aku pikirkan saat itu. Lagi pula, aku bukan tipe orang yang suka memuji orang secara berlebihan jika pada kenyataannya justru sebaliknya.
"Kenapa? Ada yang salah sama ucapanku, ya?"
"Nggak ada, kok," balasnya seraya berjalan ke bangku taman, lalu duduk. Aku pun mengikutinya.
Lisa masih bungkam, bahkan tidak menatapku seperti apa yang sering kali ia lakukan sebelum-sebelumnya sehingga membuatku tidak enak berada di dekatnya berlama-lama. Berada di dalam situasi canggung seperti ini memang adalah hal yang menyedihkan bagiku. Saat itu terjadi, aku pasti berpikir keras bagaimana caranya menghangatkan suasana.
"Maaf, ya. Aku nggak bermaksud apa-apa, Sa. Aku tadi cuma ngucapin apa yang aku pikirin."
Lisa menghela napas dalam. Wajahnya yang menunduk langsung mengangkat, menatapku sejenak dengan senyuman enggan, lalu menatap ke depan.
"Nggak apa-apa, kok, Ndre. Lagian, aku tahu kamu orang yang suka ngomong apa adanya. Tapi, aku nggak bisa jadi model."
Mimik wajahnya tiba-tiba saja berubah. Yang aku lihat adalah kesedihan yang bersarang di sorot matanya. Bukan bermaksud sok tahu, tetapi aku cukup ahli mengobservasi ekspresi orang lain. Apalagi orang itu sudah aku kenal.
Jelas saja, aku tidak langsung percaya ucapan Lisa. Setahuku, kalimat "nggak apa-apa" seorang perempuan itu justru sebaliknya. Ada sesuatu yang mungkin ragu untuk ia katakan. Atau justru dia tidak ingin mengatakannya pada siapa pun, termasuk aku.
"Oh, gitu," timpalku sambil manggut-manggut.
Saat itu, aku merasa sebaiknya tidak memperpanjang topik tersebut. Sebab, aku memang tidak pernah tahu kehidupan Lisa seperti apa. Jika aku bersikap seperti orang yang sok tahu, bisa-bisa aku melakukan kesalahan lagi.
Meskipun Lisa merupakan teman sekelasku sewaktu SMA dulu, tetapi sungguh aku selalu malas bertemu dengannya. Alasannya hanya satu, yaitu dia sering mem-bully-ku bersama dengan gengnya. Sebelumnya juga pernah kukatakan bahwa dulunya Lisa adalah cewek tomboi yang dingin. Hampir semua laki-laki di kelasku tidak berani menatap matanya, apalagi menyapanya. Bahkan dengan hanya berpapasan dengannya, itu bisa jadi mimpi buruk bagi siapa pun.
*
Entah bulan apa, tetapi yang kuingat, itu terjadi di tahun 2011 saat aku masih menjadi Andre yang berpenampilan cupu dan kutu buku. Aku memang tidak pandai mengatur diri. Rambutku acak-acakan dan tak pernah disisir. Tak hanya itu, tetapi baju seragam pun kadang tidak pernah aku cuci. Bayangkan saja, aku hanya punya satu seragam dan kadang malas mencucinya. Paling tidak, semestinya seragam itu perlu dicuci dua hari sekali. Namun, aku sering kali menggunakannya selama dua minggu berturut-turut, bahkan kadang bisa lebih.