Beberapa bulan telah berlalu sejak Nina dipulangkan ke Mataram. Sejak saat itu, aku mencoba meyakinkan diriku untuk melupakannya, meskipun hati ini terus memberontak. Aku ingin melepaskan semua kenangan, tapi kenyataannya tidak semudah itu. Meski aku ingin menjadikan setiap momen bersamanya abadi, takdir seolah berkata lain. Di tengah usaha itu, seseorang yang tak pernah kuduga—Lisa—perlahan memberikan warna baru dalam hidupku.
Mungkin ini jawaban Tuhan atas doa-doa yang selama ini kupanjatkan, pikirku. Namun, ironisnya, aku masih belum benar-benar memahami Lisa. Dia adalah teka-teki yang sulit dipecahkan. Apa yang sudah dia jalani dalam hidupnya? Masalah apa yang sebenarnya dia hadapi? Semua itu tetap menjadi misteri bagiku. Bahkan ketika dia tiba-tiba pergi ke toilet di taman waktu itu, aku bisa merasakan bahwa Lisa menyimpan sesuatu—sebuah rahasia besar yang dia sembunyikan dari semua orang.
Tentang Nina .... Aku masih sering mengingatnya, meskipun aku tahu itu tak seharusnya kulakukan. Dulu, aku terlalu sering mengabaikan kehadirannya. Sekarang, rasa abai itu berubah menjadi kepedulian yang terlampau dalam, begitu kuat hingga membebani pikiranku. Aku sadar, kesalahanku ada pada satu hal: aku tidak pernah benar-benar menghargai keberadaannya saat dia masih ada di sisiku. Ketika akhirnya aku mulai peduli, semuanya telah terlambat, dan aku malah menyalahkan takdir Tuhan atas apa yang terjadi.
Namun, di titik ini, aku berjanji untuk berubah. Aku ingin belajar dari masa lalu, agar siapa pun yang dekat denganku tidak lagi merasa diabaikan atau tersakiti. Aku ingin menghadirkan makna dalam hubungan yang kumiliki, sekecil apa pun itu.
“Ndre, gimana menurut kamu soal hidup?” Suara Lisa tiba-tiba memecah keheningan.
Aku, yang sedari tadi tenggelam dalam lamunan, tersentak kembali ke dunia nyata. Suaranya menarikku keluar dari pikiran-pikiran tentang Nina, memaksaku menyadari bahwa aku sedang berada di sini, bersama Lisa. Pertanyaannya mengusikku, membuatku bertanya-tanya kenapa dia tiba-tiba memikirkan hal seperti itu.
“Hidup, ya?” Aku mengangkat alisku, menatap Lisa dengan raut bingung. “Kenapa tiba-tiba tanya soal hidup?”
Lisa duduk bersandar di bangku taman, pandangannya lurus ke depan. Wajahnya tampak serius, sebuah ekspresi yang jarang kulihat darinya. Ini membuatku semakin penasaran.
“Mau tahu aja. Aku lagi kepikiran aja, sih,” jawabnya santai, meski nada suaranya mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu.
Aku terdiam sejenak, mencoba memahami maksudnya. Lisa yang selama ini kukenal sebagai sosok tangguh dan penuh teka-teki, kini duduk di hadapanku dengan pertanyaan yang begitu dalam, seolah dia sedang berusaha mencari jawaban untuk dirinya sendiri.
“Aku juga nggak tahu pasti,” kataku akhirnya, memecah keheningan di antara kami. “Tapi, kalau aku ditanya soal hidup, menurutku ... hidup itu tentang bagaimana kita membuat setiap momen berarti, meskipun kita nggak tahu kapan semuanya akan berakhir.”
Lisa menoleh, menatapku dengan mata yang penuh perhatian, sesuatu yang jarang kulihat darinya. Aku tidak tahu apakah jawabanku cukup memuaskannya, tapi melihat raut wajahnya yang tampak memikirkan kata-kataku, aku merasa ada sesuatu yang berubah.
Di antara keheningan itu, pikiranku kembali melayang, kali ini bukan hanya tentang Nina, tapi juga tentang Lisa. Mungkin benar apa yang mereka katakan, bahwa hidup adalah tentang bagaimana kita bertahan di tengah ketidakpastian dan terus belajar menghargai keberadaan orang-orang di sekitar kita, sebelum semuanya menjadi kenangan.
"Cuma pengin tahu aja pandangan kamu soal hidup. Menurut kamu, hidup yang berarti itu seperti apa, sih? Apa jadi yang paling bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kamu? Atau, hidup yang berarti itu harus mengenyampingkan kepentingan pribadi biar orang lain bahagia?" tanya Lisa, nada suaranya datar tapi penuh makna.
Aku terdiam, mencoba memproses pertanyaan yang tidak sederhana itu. Lisa tampak menantikan jawabanku dengan sabar, matanya yang menyipit diterpa sinar sore semakin menambah suasana hening di antara kami.
"Menurut aku sih nggak gitu juga," jawabku akhirnya, setelah merenung cukup lama. "Setiap orang punya cara masing-masing untuk membuat hidupnya berarti. Nggak harus selalu mengorbankan diri sendiri untuk kebahagiaan orang lain. Hidup itu punya arti yang luas, dan cara kita peduli juga nggak harus sama.” Aku menghela napas, lalu menambahkan dengan senyum getir, "Tapi ya ... meskipun begitu, aku sendiri nggak pernah merasa berarti di hidup siapa pun."
Lisa menatapku, raut wajahnya berubah serius. "Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Aku nggak setuju, Ndre. Kenapa bilang kamu nggak berarti di hidup orang lain?"
Aku hanya terdiam. Ucapanku barusan mungkin terdengar seperti keluhan, tapi sebenarnya itu berasal dari rasa penyesalan yang mengendap selama ini. Rasa bersalah karena merasa gagal menjadi seseorang yang berarti—untuk Nina, untuk Aldi, bahkan untuk diriku sendiri. Kehilangan mereka membuatku merasa seperti seseorang yang hanya lewat tanpa meninggalkan bekas.
Lisa bangkit dari duduknya. Dia berjalan pelan ke arah bunga kamboja yang tumbuh di sudut taman, tepat di samping kanan tempat kami berada. Dengan gerakan lembut, dia memetik salah satu bunga itu dan menyelipkannya di telinganya. Kemudian, dia berbalik, menatapku sambil tersenyum.
“Kamu berarti bagiku, Andre,” katanya pelan, tapi nadanya tegas.
Kata-katanya membuatku tertegun. Aku hanya bisa menatapnya tanpa tahu harus merespons bagaimana. Lisa masih berdiri di sana, senyumannya merekah dengan begitu alami. Dua lesung pipitnya terlihat jelas, membuat senyuman itu terasa lebih manis dari biasanya.
Tanpa berpikir panjang, aku meraih kamera yang ada di tas kecilku. Aku mengangkatnya, mencoba menangkap momen itu. Kutekan tombol beberapa kali, membiarkan lensa mengabadikan sosoknya yang berdiri dengan bunga kamboja terselip di telinganya, dikelilingi cahaya sore yang lembut.
Kata-kata Lisa seperti obat yang tak kusangka kubutuhkan. "Kamu berarti bagi aku." Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalaku. Namun, di sudut hatiku, aku tetap ragu. Aku merasa seolah dia hanya mengatakannya untuk menghiburku, untuk membuatku merasa lebih baik.
Benarkah aku berarti baginya? Apa yang sudah pernah kulakukan untuknya? Kami hanya dua orang teman sekelas di SMA yang kebetulan bertemu lagi setelah bertahun-tahun. Aku tidak merasa pernah melakukan apa pun yang bisa dianggap berharga untuknya.
Namun, saat kulihat Lisa berdiri di sana, dengan senyuman yang tulus, aku tahu satu hal. Meski aku tidak sepenuhnya memahami maksud ucapannya, setidaknya hari ini aku merasa sedikit lebih ringan—seolah beban yang selama ini kupikul perlahan mulai luruh.
"Emangnya aku pernah melakukan hal berarti apa buat kamu?" tanyaku sambil menurunkan kamera, menatap Lisa yang masih berdiri dengan senyuman kecilnya.
"Banyak hal yang nggak kamu sadari," jawabnya tenang. "Makanya, kita nggak pernah tahu hati dan niat orang lain. Contohnya aja kayak tadi, kan? Kamu bilang nggak berarti bagi orang lain, tapi kamu nggak pernah tahu apa yang orang lain pikirkan tentang kamu. Apa yang mereka rasakan saat bertemu kamu. Apa yang sudah kamu lakukan tanpa kamu sadari ternyata berarti buat mereka. Banyak hal seperti itu."
Dia kemudian mengambil bunga kamboja lain dan melemparkannya ke arahku. Aku menangkapnya dengan mudah, lalu mencium aroma lembutnya yang khas.
“Berarti bagi orang lain,” gumamku sambil mengangguk pelan, menatap bunga di tanganku.
Hari berikutnya, aku dan Lisa bertemu lagi seperti biasa. Sepertinya, pertemuan ini sudah menjadi semacam rutinitas tak tertulis untuk kami, cara sederhana melepaskan rasa penat setelah jam kerja berakhir. Aku selalu menemui Lisa selepas pulang kantor, tepat pukul lima sore.
Selama pertemuan-pertemuan itu, aku banyak bercerita tentang diriku sendiri—tentang pekerjaan, kehidupan sehari-hari, bahkan hal-hal kecil yang menurutku tak penting. Tapi ada satu hal yang selalu kupastikan tak akan pernah kubahas: Nina. Nama itu sudah kututup rapat dalam ingatan. Tidak ada orang yang perlu tahu, termasuk Lisa. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membicarakan Nina lagi, bahkan di dalam pikiranku sekalipun.