Beberapa bulan berlalu semenjak Nina dipulangkan ke Mataram. Sejak saat itu, aku sudah memutuskan akan melupakannya, tetapi sungguh hati tetap menolak. Meskipun aku ingin menjalani setiap kebersamaan dengannya, pada akhirnya perempuan lain juga memberikan arti hadirnya di dalam hidupku.
Hanya tebakan, mungkin ini adalah salah satu jawaban Tuhan pada doa-doa yang telah kupanjatkan. Ironisnya, aku masih tetap saja tidak bisa memahami Lisa. Apa yang sudah dia jalani di dalam hidupnya? Apa masalah yang sedang dia hadapi? Semua itu aku tidak pernah mengetahuinya. Bahkan ketika di taman waktu itu, dia seolah-olah menyimpan rahasia besar dari semua orang.
Tentang Nina yang tak habis kubahas pada lembaran ini. Jika diingat kembali, dulu aku selalu mengabaikan kehadirannya, kini kata abai sudah berubah menjadi peduli yang terus berkelanjutan. Aku sadar kesalahanku ada pada satu pemikiran itu, kemudian saat semua berbalik, aku menyalahkan takdir Tuhan yang sudah ditetapkan. Di titik ini, aku ingin mengubah ketidakpedulian itu menjadi lebih berarti sehingga siapa pun yang dekat denganku tak lagi ingin menjauh.
"Ndre, gimana menurut kamu soal hidup?" tanya Lisa yang seketika memecah keheningan di antara kami.
Aku yang sedari tadi termenung, seolah ditarik kembali dan sadar bahwa saat ini aku sedang ada di tengah-tengah obrolan bersama Lisa. Kebetulan sekali Lisa bertanya perihal hidup, sebab setiap waktu aku selalu memikirkannya. Hidup yang berarti itu seperti apa di mata orang-orang?
"Hidup, ya? Kenapa tiba-tiba nanya soal hidup?"
Aku menatap Lisa sambil menaikkan kedua alisku, mencoba mencari alasan sebenarnya mengapa seorang Lisa begitu peduli dengan arti kehidupan. Bahkan bagi diriku sendiri yang sudah lama kesepian, tak pernah terlintas pertanyaan seperti itu. Hanya saja, semuanya terasa sangat jelas setelah kepergian Nina.
"Cuma pengin tahu aja pandangan kamu soal hidup. Menurut kamu, hidup yang berarti itu kayak gimana, sih? Jadi yang paling bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kamu. Apa hidup yang berarti itu harus mengesampingkan kepentingan pribadi agar orang lain bahagia?"
Jeda sejenak karena aku butuh waktu memikirkan gagasanku tentang kehidupan ini. Kulihat Lisa menanti jawabanku dengan sabar.
"Menurut aku sih nggak juga. Setiap orang punya pandangan masing-masing tentang hidup yang berarti. Kita punya cara masing-masing untuk jadi yang peduli sama orang lain. Lagian, hidup itu 'kan punya arti yang luas," jawabku. "Meskipun sebenarnya aku nggak pernah berarti di dalam hidup siapa pun, sih," imbuhku, tersenyum getir.
"Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Aku nggak setuju sama pendapat kamu, deh. Kenapa bilang kamu nggak berarti di dalam hidup orang lain?"
Tak ada bantahan dariku. Ucapan itu mungkin hanya sekelumit dari rasa penyesalan yang aku alami saat ini. Menganggap diriku tidak berarti di dalam hidup orang lain hanya karena Nina dan Aldi sudah menjadikanku orang yang bukan siapa-siapa bagi mereka.
Lisa beranjak dari duduk, lalu berjalan menuju bunga kamboja yang tumbuh di beberapa sudut taman, salah satunya di samping kanan tempat kami sedang duduk. Dia memetik bunga tersebut dan menyumpingkannya. Perempuan itu tersenyum sebelum mulai angkat bicara. "Kamu berarti bagi aku, Andre."
Lisa berbalik, lalu merekahkan senyumannya. Kuakui senyuman itu salah satu yang aku suka darinya. Sebab saat dia tersenyum, matanya langsung menyipit dan dua lesung pipitnya terlihat manis.
Meski tak paham dengan arti dari ucapannya, itu tak menghentikan tanganku meraih kamera, lantas memotretnya beberapa kali.
Berkata aku punya arti baginya sungguh seperti obat pereda sakit kepala. Namun, aku masih tetap merasa seolah Lisa hanya mengucapkannya untuk menyenangkan hatiku saja. Mungkin dia punya alasan yang lebih spesifik mengenai itu. Yang jelas, aku tidak langsung sepenuhnya percaya. Mana mungkin aku berarti baginya. Memangnya apa yang pernah aku lakukan untuknya? Tak ada sama sekali. Kami hanya dua orang yang menjadi teman sekelas di SMA, lalu bertemu lagi secara tak sengaja.
"Emangnya aku pernah ngelakuin hal berarti apa sama kamu?" tanyaku setelah berhasil mengabadikan senyumannya.
"Banyak hal yang nggak kamu sadari. Makanya, kita nggak pernah tahu hati dan niat orang lain. Contohnya aja kayak tadi, kan? Kamu bilang nggak berarti bagi orang lain, tapi kamu nggak pernah tahu hati orang lain kayak gimana. Apa yang mereka pikirin tentang kamu. Apa yang mereka rasain saat ketemu sama kamu. Dan lain sebagainya," jelas Lisa.
Sedetik kemudian, dia melemparkan bunga kamboja ke arahku. Aku menangkapnya dengan lugas, lalu kuciumi semerbaknya.
"Berarti bagi orang lain," gumamku, mengangguk sambil menatap bunga di tanganku.
Hari berikutnya, kami bertemu lagi. Ini semacam pertemuan rutin untuk melepaskan rasa penat usai bekerja. Oleh karenanya, aku selalu bertemu Lisa di saat jam kerjaku telah berakhir pada pukul 5.00 sore hari.
Selama pertemuan itu, aku sudah banyak bercerita tentang diriku sendiri, kecuali tentang Nina yang tentu saja tidak akan pernah kuceritakan pada siapa pun. Demi untuk melupakannya, aku berjanji tidak akan membahasnya lagi. Baik dengan orang lain, maupun menyerukan namanya di dalam hati.
Ada yang berbeda dari penampilan Lisa kali ini: dia menggunakan masker. Awalnya aku beranggapan itu biasa saja karena mungkin dia sedang menghindari polusi. Dan itu benar karena saat berbincang denganku, dia sering kali batuk dan terlihat kelelahan.
Melihatnya tersiksa karena batuk, aku memberanikan diri bertanya. Selain itu, aku juga pernah melihatnya batuk-batuk beberapa bulan yang lalu. Apa mungkin dia tipe orang yang mudah terkena flu dan batuk karena polusi udara?
"Kamu nggak apa-apa?"