Pada rindu yang tak dapat dimiliki, berjalan mencari ruang temu di hati. Kusampaikan kepada pemilik arti, meski tidak mampu memiliki. Kepada mata yang menangkap ada, sayangnya meniada pada rasa. Kepada jarak yang tak mengizinkan bersama, hapuslah luka pada jiwa. Teruntuk kamu yang memilih sirna dan menghilangkan rasa, jika bisa simpan cinta di balik tawa.
Pesan itu gagal terkirim ke kontak yang kusebut "Kekasih Pinjaman". Aku bahkan lupa sejak kapan aku mulai mengirim pesan itu. Mungkin saat aku tak bisa lagi menahan kerinduan pada Nina. Beberapa kenangan, yang dulu begitu jelas, perlahan mulai menguap, hilang tanpa jejak. Senyuman bahagia yang dulu sering kuingat kini terasa kabur. Semua itu digantikan kehadiran Lisa, yang telah beberapa bulan ini setia menemani saat-saat gundahku.
Pagi ini, hawa dingin menyusup, menusuk kulit dan membuatku semakin terjaga dari tidur. Namun, mentari yang perlahan muncul di balik langit memberikan sedikit kehangatan. Ini adalah hari Minggu, kesempatan yang langka untuk melegakan dada yang kian sesak dengan pikiran yang tak menentu.
Taman Balai Kota adalah tempat yang selalu membuatku merasa tenang. Walau ramai, tempat itu tetap memberikan ruang bagi kenangan indah yang terus berjalan. Keramaian tak pernah bisa menjauhkan rasa sepi yang sering menyelimutiku. Semua yang kulakukan, termasuk pekerjaan yang aku jalani dengan penuh gairah saat ini, hanyalah usaha untuk mengusir rasa sepi. Namun, meski ada banyak hal yang mengisi, kesendirian tetaplah hadir. Lisa memang sering menemaniku, tapi ada banyak hal yang masih menjadi misteri di balik senyumnya, ucapannya, dan tindakannya. Semuanya seolah memaksaku berpikir keras untuk mencari tahu apa sebenarnya yang kami miliki.
Jika pertemuan ini adalah hadiah dari Tuhan atas doaku, aku akan sangat bersyukur jika dia bisa tetap bersamaku. Meskipun aku tak bisa bersama Nina, aku hanya butuh seseorang yang mau membuka telinga dan tangan untuk mendengarkan dan menyambutku. Aku hanya butuh seseorang yang mau menarikku keluar dari kesepian yang begitu dalam.
Mungkin karena sudah terlalu lama hidup dalam kesendirian, aku mulai terbiasa. Aku mulai menganggap kesepian bukan lagi sesuatu yang harus ditakutkan, meskipun kadang terasa menyedihkan. Namun, dari kesepian itu aku mendapatkan banyak inspirasi. Sunyi dan sepi, seperti dua hal yang tak bisa dipisahkan. Mereka adalah teman setiaku yang selalu ada, meski terkadang berat. Aku akui, semenjak kehadiran Lisa, beban-beban yang menekan pundakku sedikit demi sedikit berkurang. Namun, saat dia mengucapkan kata-kata yang sulit kuartikan, aku merasa seolah beban itu kembali datang, menghampiri dengan lebih berat.
Semua yang pernah kami lalui tak bisa dianggap sebagai kebetulan. Aku bukan tipe pria yang mempercayai hal-hal yang tidak masuk akal. Aku lebih mengedepankan logika dalam segala hal, termasuk pertemuanku dengan Lisa. Mungkin ini adalah jalan yang Tuhan siapkan, jalan yang membawaku ke takdir yang berbeda.
Lisa kini berdiri di bawah terik matahari pagi, dan aku menghampirinya setelah menyelesaikan beberapa potret serangga dan tetesan embun di dedaunan. Dia masih mengenakan masker, seperti biasa. Dan aku, sampai sekarang, tak pernah bisa benar-benar memahami alasan di baliknya.
"Udah lama di sini? Maaf ya, bikin kamu nunggu," tanyaku sambil menekan tombol power pada kamera.
"Ya, sekitar 15 menit yang lalu, Ndre. Nggak apa-apa, kok. Santai aja, lagi," jawab Lisa, masih dengan sikap santainya.
Aku mengangguk, mencoba untuk tidak terlalu merasa bersalah. "Duduk di sana, yuk," ajakku sambil menunjuk ke bangku yang teduh di dekat pohon.
"Hmm, nanti aja, deh. Aku masih mau di sini," jawabnya, terdengar ragu. "Kamu duluan aja, nanti aku nyusul," imbuhnya dengan senyum yang kurasa sedikit dipaksakan.
"Kenapa?" tanyaku, merasa ada yang aneh. Hari ini Lisa sedikit berbeda. Tak biasanya dia menolak ajakanku. Matanya yang biasanya hidup kali ini tampak lebih suram, dan meskipun kadang senyuman itu muncul, aku merasa itu tidak sepenuhnya ikhlas.
"Cuma mau berjemur. Matahari pagi itu kan vitamin," jawabnya sambil memandang ke arah matahari yang mulai lebih terasa hangat.
"Nggak biasanya," sahutku, memperhatikan gerak-geriknya dengan cermat. "Kayaknya ada sesuatu yang harus kamu perjelas deh ke aku."
Lisa menoleh ke arah lain, menghindari tatapanku. Aku bisa merasakan ada yang tak beres. Sorot matanya hampa, dan dia menjaga jarak dariku, seolah ada dinding tak terlihat di antara kami. Berapa kali pun aku mencoba mendekat, dia akan terus menjauh.
"Ada apa, sih? Kamu aneh banget hari ini. Apa aku nggak boleh dekat-dekat sama kamu?" tanyaku, semakin merasa bingung.
"Iya, kamu nggak boleh dekat-dekat sama aku, Ndre," kata Lisa, lirih. Aku bisa mendengar ada kepedihan dalam suaranya.
"Loh, emangnya kenapa? Kok jadi aneh kayak gini? Apa aku berbuat salah sama kamu? Kalau aku ada salah, tolong kamu maafin," jawabku dengan hati yang mulai gelisah.
"Bukannya kamu yang meminta jawaban? Inilah jawaban kenapa aku selalu pakai masker. Ini juga jawaban kenapa kamu melihatku di rumah sakit waktu itu. Sekarang, semuanya udah jelas, kan? Aku nggak bisa dekat-dekat lagi sama kamu, Ndre," jelasnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Aku masih kebingungan, otakku seakan tertahan di titik itu. Kenapa dia tidak bisa menjelaskan dengan jelas? Semua yang dia katakan justru semakin membuatku bingung. Yang jelas, kesedihan di matanya semakin terlihat.