Rindu tak melulu tentang sulitnya bertemu. Juga tak selalu perihal jarak membentang yang memisahkan. Akan tetapi, rindu adalah persoalan "ingin" ketika kenangan mendatangi hati.
Apa yang pernah kita lalui, akan tiba saatnya merindui. Dan tepat sekali, kenangan hadir memenuhi ruang-ruang asa yang tak lagi terbendung oleh batas. Mungkin sudah saatnya aku terbang, mengepakkan sayap, melayang hingga sampai di cakrawala yang disebut kebebasan.
Dari yang kubaca melalui internet, Tuberkulosis merupakan penyakit mematikan yang paling banyak terjadi di Indonesia. Bakteri yang menyebabkan Tuberkulosis menginfeksi organ-organ penting di dalam tubuh, salah satunya adalah paru-paru.
Tuberkulosis menular melalui udara dan sentuhan kulit secara langsung dengan pengidapnya. Itulah sebab, Lisa semakin hari semakin menjauh dariku. Aku tahu hal yang dia lakukan tidak salah. Dia semakin jauh dan itu untuk kebaikanku semata. Akan tetapi, sungguh aku tak pernah bisa membayangkan kedekatan kami akhirnya dihadiahkan ujian seperti ini.
Aku sangat rindu dengan masakannya. Rindu antusiasnya saat melihatku lahap menghabiskan makanan yang telah dia masak hanya untukku. Cintalah yang kutemui di dalam masakannya. Namun, pula sebuah kesedihan yang dalam.
Di satu sisi aku rindu pada Nina. Kini aku tahu mengapa dia melupakanku, lantas masih mengingat Aldi seutuhnya. Amnesia Parsial, yaitu merupakan penyakit lupa ingatan pada beberapa orang tertentu dalam jangka waktu tiga tahun, bahkan selamanya. Dia berhasil menghapus kenangan tentangku sepenuhnya dari ingatannya. Mengetahui dirinya masih mengingat Aldi, hatiku merasa tercabik-cabik. Terus-menerus aku bertanya, kenapa hanya aku?
Setelah berpikir matang-matang, aku memutuskan berhenti bekerja dari Rain Photography dan memilih sebagai fotografer freelance. Bukan sebab terbawa suasana hati, tetapi itu merupakan keputusan yang kudapatkan setelah beberapa minggu melalukan salat malam untuk mendapatkan petunjuk dari Tuhan.
Aku tak tahu apakah keputusan itu adalah bentuk dari kelemahanku. Atau mungkin aku hanya ingin lari dari kenyataan. Yang jelas, aku ingin hidup bebas, memikirkan segala sesuatunya, memulai semuanya dari awal. Jika bisa, aku juga ingin membangun rumahku sendiri. Meski pada akhirnya tujuanku belum jelas hingga saat ini. Untuk apa aku ada di antara dua perempuan itu? Pertanyaan yang kerap kali berulang ditanyakan hati kecilku.
"Lo yakin nggak mau mikir-mikir lagi, Ndre? Sayang banget sih, kalau lo keluar gitu aja dari kerjaan," pungkas Kifli, simpati.
"Aku udah yakin banget. Gimanapun juga, meskipun aku tetap di sini, aku udah nggak bisa menghasilkan karya-karya bagus. Aku cuma mau nemuin jati diriku," jawabku sembari menaruh beberapa berkas dan barang-barang di ruang kerjaku ke dalam kardus.
"Tapi ... jangan nyerah untuk jadi seorang fotografer yang profesional, ya. Gue ngedukung lo, Ndre. Lo ini cerdas dan gampang ngerti. Kapan-kapan lo bisa tunjukin hasil karya hebat lo lagi ke gue. Kita tetap berhubungan lewat telepon."
"Tentu, Fli."
Selesai mengemas barang-barang, aku menatap lelaki kelahiran Bandung itu lamat-lamat. Banyak hal yang sudah dia lakukan untukku. Dan semua hal itu belum bisa aku balas dengan setimpal. Namun, aku berjanji akan membalas budi suatu saat nanti.
"Ini, siapa tahu lo beruntung." Diberikannya selembar brosur padaku.
"Ini apa?" tanyaku, lalu mengambil kertas tersebut.
"Kontes model dan fotografi," balasnya. "Gue mau lo ikut dan menang. Tunjukin ke gue kalau lo udah berkembang. Gue bakalan selalu nunggu karya lo, Andre."
Meskipun agak sedikit memalukan bagi laki-laki, tetapi kami berpelukan dan bersalaman sebagai tanda perpisahan.
"Aku bakal ikut sama model yang bakal bikin kamu geleng-geleng kepala. Aku janji."
Aku sudah cukup mendapatkan pengalaman semenjak bekerja di Rain Photography. Apalagi yang jadi mentorku adalah Kifli yang cukup terkenal di rana fotografi dan permodelan. Selanjutnya, aku akan lebih mengasah kemampuan dengan cara liar dan memotret apa saja yang terdefinisi sebagai keindahan.
Hanya saja, ada satu hal yang tidak bisa ditepis saat ini. Dulu aku sangat menomorsatukan hobiku ini, tetapi kini justru menjadi yang nomor sekian. Lisa dan Nina, mereka tak pernah kalah di hatiku dalam beberapa bulan ini dan selalu menjadi yang terbaik, asyik, dan membahagiakan. Tanpa mereka, potret-potret yang kulihat tidak menjadi hidup.
*
Lagi-lagi aku kehilangan orang yang berharga. Perihal yang sama sekian kali menikam dari titik yang tak dapat aku lihat. Lisa tak pernah muncul ataupun menghubungiku lagi. Bahkan setiap pesan dan teleponku selalu dialihkan, kadang ditolak dengan sengaja.
Aku tidak ingin menjadi lelaki yang tidak bisa berguna bagi siapa pun. Ingin sekali aku menolongnya, tetapi tak tahu bagaimana caranya. Hanya doa yang saat ini sanggup aku panjatkan. Aku harap dia baik-baik saja. Selama ini, aku tidak pernah tahu beban besar yang dia tanggung sendirian. Aku tidak tahu-menahu tentang hidupnya. Dan bahkan aku juga tidak tahu mengapa dia bisa sampai terjangkit penyakit TB.