Rindu bukan sekadar perkara sulitnya bertemu, bukan pula tentang jarak yang membentang memisahkan dua hati. Rindu adalah persoalan “ingin” ketika kenangan datang mengetuk hati, menghidupkan kembali momen-momen yang pernah ada. Apa yang pernah kita lalui bersama, pada akhirnya akan terasa hangat sekaligus menyesakkan. Dan kini, aku tahu, kenangan itu telah memenuhi ruang-ruang asa, tak lagi terhalang batas. Mungkin memang sudah waktunya aku terbang, mengepakkan sayap, melayang hingga cakrawala kebebasan yang selama ini kucari.
Dari yang kubaca di internet, Tuberkulosis adalah salah satu penyakit mematikan yang banyak terjadi di Indonesia. Bakteri penyebabnya menyerang organ-organ penting, terutama paru-paru, dan menular melalui udara atau kontak langsung dengan pengidapnya. Kini aku mulai memahami alasan di balik sikap Lisa. Mengapa dia semakin menjauh dariku, bahkan ketika aku mencoba mendekat. Itu bukan karena dia tak peduli, justru sebaliknya—dia melakukannya demi kebaikanku. Namun, meskipun aku tahu alasan itu, hati tetap sulit menerima kenyataan bahwa kedekatan kami akhirnya diuji dengan cara seperti ini.
Aku rindu. Sangat rindu dengan masakannya. Rindu melihat antusiasnya saat aku lahap menghabiskan setiap hidangan yang ia buat khusus untukku. Ada cinta di dalam masakannya, cinta yang terselip dalam setiap bumbu, setiap aroma, dan setiap rasa yang menyentuh lidahku. Namun, bersama cinta itu, ada juga kesedihan yang dalam, seperti rahasia yang tak terucapkan.
Dan di sisi lain, ada Nina. Aku mulai memahami mengapa dia melupakanku sepenuhnya, tapi tetap mengingat Aldi. Amnesia parsial—penyakit yang membuat seseorang melupakan beberapa kenangan tertentu, kadang untuk beberapa tahun, bahkan selamanya. Dia berhasil menghapusku dari hidupnya, menghapus setiap jejakku, sementara Aldi tetap utuh dalam ingatannya. Aku tidak tahu mengapa harus aku yang terhapus. Kenapa hanya aku? Pertanyaan itu terus-menerus menggerogoti hati kecilku, membuatku merasa tercabik-cabik setiap kali mengingatnya.
Setelah merenung lama, aku memutuskan untuk berhenti bekerja di Rain Photography. Aku memilih menjadi fotografer freelance, bukan karena terbawa suasana hati, tapi karena ini keputusan yang kutemukan setelah bermalam-malam memohon petunjuk dalam salat malam. Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau hanya bentuk kelemahanku. Mungkin aku hanya ingin lari dari kenyataan, melepaskan diri dari rutinitas yang terasa semakin menyesakkan. Yang jelas, aku ingin memulai segalanya dari awal. Hidup bebas, memikirkan apa yang benar-benar ingin kulakukan, dan—jika mungkin—membangun rumahku sendiri, baik secara harfiah maupun metaforis.
Namun, di tengah perjalanan ini, aku terus bertanya pada diriku sendiri: untuk apa aku ada di antara dua perempuan ini? Lisa dan Nina. Kenapa jalan hidupku membawa aku berada di persimpangan ini? Pertanyaan itu terus menghantui, menggema di hati, meskipun jawaban masih tampak begitu jauh dari jangkauan.
"Lo yakin nggak mau pikir-pikir lagi, Ndre? Sayang banget sih kalau lo keluar gitu aja dari kerjaan," kata Kifli dengan nada simpati, matanya menatapku penuh kekhawatiran.
"Aku udah yakin banget, Fli. Gimanapun juga, meskipun aku tetap di sini, aku nggak akan bisa menghasilkan karya-karya bagus lagi. Aku cuma mau mencari jati diriku," jawabku sambil memasukkan beberapa berkas dan barang-barang di meja kerjaku ke dalam kardus.
"Tapi ... jangan pernah menyerah jadi fotografer profesional, ya. Gue tetap dukung lo, Ndre. Lo itu cerdas dan cepat belajar. Suatu hari nanti, gue yakin lo bakal tunjukin karya yang bikin kita semua kagum. Kita tetap kontak, ya."
Aku mengangguk, mencoba tersenyum meski ada rasa berat di dadaku. "Pasti, Fli."
Setelah selesai mengemas barang-barang, aku memandangnya dalam-dalam. Kifli, mentor sekaligus teman terbaik selama aku bekerja di Rain Photography, sudah banyak membantuku. Dia selalu ada di saat-saat aku butuh arahan dan motivasi. Belum ada satu pun kebaikannya yang bisa kubalas dengan setimpal. Namun, aku berjanji, suatu saat nanti, aku akan membalas semuanya.
Tiba-tiba, dia menyodorkan selembar brosur kepadaku. "Ini, siapa tahu lo beruntung," katanya.
"Ini apa?" tanyaku, mengambil kertas itu dengan rasa penasaran.
"Kontes model dan fotografi," jawabnya, matanya berbinar seakan penuh harapan. "Gue mau lo ikut ini, Ndre. Dan menang. Tunjukin ke gue kalau lo udah berkembang. Gue bakal nunggu hasil karya lo yang luar biasa."
Rasanya campur aduk. Aku mengangguk pelan, menyelipkan brosur itu ke dalam kardus. "Aku janji, Fli. Aku bakal ikut. Dan aku bakal datang sama model yang bikin kamu geleng-geleng kepala."
Kifli tersenyum lebar. Kami berpelukan singkat, sebuah pelukan perpisahan yang sarat makna. Meski terkesan sedikit canggung bagi dua lelaki, itu adalah caraku menghormati seorang mentor yang telah memberiku banyak ilmu dan inspirasi.
Setelah meninggalkan kantor, aku merasa seolah sebuah babak baru dalam hidupku baru saja dimulai. Semua pengalaman yang kudapat selama bekerja di Rain Photography menjadi bekal berharga. Kifli, seorang fotografer yang cukup punya nama di dunia fotografi dan modeling, telah membentuk cara pandangku dalam memotret keindahan. Kini, aku akan melangkah sendiri, mengasah kemampuan dengan caraku sendiri—dengan cara yang mungkin lebih bebas dan liar, memotret segala hal yang kuanggap sebagai definisi keindahan.
Namun, di balik semua semangat itu, ada hal yang tak bisa kupungkiri. Dulu, fotografi adalah segalanya bagiku. Hobiku ini selalu menjadi yang utama, menjadi tempat aku melabuhkan energi dan impian. Tapi kini, rasanya semua berbeda. Lisa dan Nina, dua nama yang mengisi hatiku dalam beberapa bulan terakhir, menjadi sesuatu yang lebih besar dari sekadar hobi atau karier. Tanpa mereka, dunia yang kulihat melalui lensa kamera terasa hambar. Potret-potret yang kuambil, meskipun indah, tak lagi terasa hidup.
Aku sadar, perjalananku ke depan bukan hanya tentang menemukan diriku sebagai fotografer, tapi juga tentang menjawab apa arti mereka dalam hidupku. Dan mungkin, itu akan menjadi proses yang lebih panjang dan penuh warna daripada sekadar memotret keindahan.
Lagi-lagi, aku kehilangan seseorang yang begitu berharga. Rasa yang sama kembali menikamku, dari sudut yang tak pernah bisa kulihat. Lisa menghilang tanpa jejak, tanpa kabar. Dia tak pernah lagi muncul di hadapanku atau menghubungiku. Setiap pesan yang kukirim hanya dibaca tanpa balasan. Telepon dariku selalu dialihkan, kadang bahkan ditolak dengan sengaja.
Aku tidak ingin menjadi lelaki yang tak berguna bagi siapa pun. Aku ingin sekali menolongnya, tapi aku bahkan tak tahu harus mulai dari mana. Doa adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang, harapan terakhir yang kupanjatkan untuk kebaikannya. Aku hanya berharap Lisa baik-baik saja. Selama ini, aku tak pernah tahu seberapa berat beban yang ia tanggung sendirian. Aku tak tahu banyak tentang kehidupannya, dan bahkan, aku tak tahu bagaimana dia bisa terjangkit penyakit TB.
Untuk Lisa, jika aku bisa, aku akan memakan setiap bakteri yang menggerogoti tubuhnya agar dia bisa sembuh. Untuk Nina, jika diizinkan, aku akan memberikan sepenuh hatiku untuk menghidupkan kembali kenangan yang ia lupakan. Dua perempuan itu menjadi potret nyata yang terus berputar dalam pikiranku, seakan tak pernah usai.