Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #18

Penolakan

Aku berjalan masuk ke rumah kecilku di Jl. Anggrek No. 15, Selaparang, Kota Mataram. Betapa rindu aku dengan rumah peninggalan kedua orang tuaku tersebut. Tak pernah bisa kulupakan karena aku menghabiskan masa kecil di sini. Kini, beberapa barang, meja, dan kursi tampak berdebu. Lama sekali aku meninggalkannya. Bahkan sewaktu masih kuliah pun, aku jarang berkunjung.

Baik kenangan maupun aroma ketika berada di rumah itu selalu bisa memicu otak mengingat segalanya. Tak lama berdiri sambil memutar leher mengelilingi ruangan, pandangan mendadak terpaku pada potret yang berada di dalam bingkai. Ibu, Ayah, dan aku. Rasanya baru kemarin aku mengompol di celana. Dan sekarang aku sudah bisa merasakan sakitnya cinta yang tak bisa dimiliki.

Aku sudah nyaris letih. Untuk bisa berbaring di sofa, aku harus membersihkan seisi rumah tersebut dari debu. Untungnya, aku masih punya alat-alat pembersih seperti sapu, kemoceng, dan kain pel. Segera kuambil semua peralatan itu dan mulai bersih-bersih.

*

Usai mengatur dan membersihkan segalanya, aku membanting diri di sofa. Seperti yang kuduga, aku sangat lelah dan mengantuk. Berkali-kali aku mengucek mata, tetapi seperti ada yang memaksa kelopak mataku menutup. Tak dapat ditahan, aku memejam.

*

Sepertinya kali ini aku berada di tempat yang sama di saat aku bermimpi tentang Nina. Lautan menghampar dan padang rumput yang luas. Semua itu terlihat di mataku. Ini mimpi yang aneh. Kadang rasanya mustahil berada di alam mimpi karena sensasi nyata yang aku rasakan. Akan tetapi, seperti yang kuduga, semua tidak terasa sakit meskipun aku berusaha mencubit kulitku.

Baru saja aku akan berjalan, sepasang tangan menutup mataku dari belakang dan membuatku terkesiap. Namun, aku tahu itu bukan pertanda buruk. Tubuhku menggeming serta mulutku bungkam. Aku menebak di dalam hati siapa yang melakukan itu padaku.

"Coba tebak!" celetuknya. Tak salah lagi, suara itu tidak asing bagiku.

"Nina, kan?"

"Yeay! Betul, deh. Aku Nina, Andre," ujarnya, lalu melepaskan tangan dari mataku. Aku membalik badan. "Apa kabar, Ndre?" lanjutnya, tenang.

Tak langsung kujawab pertanyaan itu karena tiba-tiba saja hatiku seolah bergetar tak keruan. Kurasa, rindu-rindu yang menggumpal di angan perlahan-lahan menguap karena telah menemukan sosok yang selama ini diharapkan. Walau demikian, aku tahu itu tidak nyata. Tak apa-apa. Selagi aku masih bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri, lega bisa diraih. Ternyata kebahagiaan itu memang bisa diraih dengan cara yang tidak rumit. Hanya melalui mimpi, luka di hati bisa terangkat dalam waktu singkat.

Aku tentu saja tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberi Tuhan. Maka, kuangkat kedua lengan, menyambut pelukan yang datang untukku.

Ada satu hal yang kuyakini di saat rindu memenuhi hati. Kerinduan adalah manifestasi dari harapan-harapan yang berkumpul dalam satu wadah. Bilamana menggumpal, rindu tak akan tersalurkan. Rasa sakit pun menghampiri.

"Apa kabar, Ndre? Kamu udah makan dengan benar, kan? Tiga kali sehari? Selalu melaksanakan ibadah juga?"

Belum. Aku belum ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Rasanya seperti tidak ingin kehilangan satu detik pun agar bisa merasakan pelukan kerinduan itu.

Satu pertanyaan terlintas di kepalaku, apakah aku telah menjadi laki-laki munafik karena berkata ingin merelakan, tetapi urung karena cemas tak terelakkan?

Ratusan detik berlalu, kulepaskan perempuan itu dari pelukan. Kuhapus bulir-bulir air mata yang meleleh membanjiri wajah.

"Aku udah tahu rasanya diabaikan kayak gimana. Maafin aku, Nin," ucapku, lirih.

"Nggak, Ndre." Nina menggeleng. "Aku nggak bermaksud bikin kamu ngerti gimana rasanya diabaikan. Aku cuma nggak mau balik lagi. Bukannya ini yang terbaik untuk kita semua? Buat kamu, Aldi, dan aku yang ada di sana?" Nina membelakangiku, lalu berjalan sambil menyentuh ilalang-ilalang yang tumbuh lebat seluas mata memandang. Dia membentangkan kedua tangannya, beberapa detik kemudian berkata, "Aku mau kamu bahagia tanpa dibebani rasa bersalah sama siapa pun. Aku mau kamu tersenyum, Ndre. Lupa ingatan itu adalah cara terbaik, kan?"

"Pada akhirnya, aku harus milih antara kamu dan dia. Aku nggak sanggup, Nin. Pulanglah, dan kita kembaliin semuanya kayak semula," pungkasku, lirih.

"Nggak bisa, Ndre. Hidup itu nggak kayak permainan yang bisa kamu ulang dari mana pun kamu mau. Semua punya aturan. Kamu harus tegar, Ndre ...."

Lihat selengkapnya