Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #18

Penolakan

Aku melangkah masuk ke rumah kecilku di Jl. Anggrek No. 15, Selaparang, Kota Mataram. Betapa rindu aku pada rumah ini, rumah yang penuh kenangan dari masa kecilku, rumah peninggalan kedua orang tuaku yang tak pernah bisa aku lupakan. Setiap sudutnya mengingatkanku pada segala hal yang telah berlalu. Namun, kali ini suasananya terasa berbeda. Beberapa barang, meja, dan kursi terlihat berdebu, tanda bahwa sudah lama sekali aku meninggalkannya. Bahkan, meskipun saat masih kuliah aku tinggal tak jauh dari sini, aku jarang sekali datang berkunjung.

Aroma rumah ini begitu familier, menguar dalam udara, menghidupkan kenangan-kenangan yang seolah baru kemarin terjadi. Aku berdiri sejenak, memutar leherku untuk melihat setiap sudut ruang yang penuh cerita. Namun, tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada sebuah potret yang terletak di atas meja di sudut ruang tamu. Potret itu, dengan bingkai kayu tua, menampilkan Ibu, Ayah, dan aku. Senyuman mereka seolah mengingatkan betapa sederhananya kebahagiaan masa kecilku. Rasanya, baru kemarin aku berlari-lari, ceria tanpa beban, bahkan sering kali mengompol di celana. Kini, aku berdiri di sini, merasakan betapa sakitnya cinta yang tak bisa dimiliki, betapa banyak yang telah berubah.

Kelelahan mulai terasa di tubuhku. Aku sudah nyaris tak punya tenaga, tapi aku tahu, untuk bisa beristirahat di sofa yang nyaman, aku harus membersihkan rumah ini dari debu yang menyelimutinya. Beruntung, alat pembersih seperti sapu, kemoceng, dan kain pel masih ada di pojok ruangan, tergeletak di tempat yang sama seperti dulu. Aku mengambilnya satu per satu dan segera mulai bekerja, mencoba mengembalikan kenyamanan yang lama hilang.

Setelah selesai mengatur dan membersihkan segala sesuatunya, aku akhirnya membanting tubuhku ke sofa. Seperti yang sudah aku duga, rasa lelah itu langsung menyergap, dan kantuk pun datang begitu cepat. Berkali-kali aku mengucek mata, berusaha menahan rasa kantuk yang semakin memaksaku untuk tidur. Namun, sepertinya kelopak mataku sudah tak bisa lagi menahan beban. Tanpa bisa kutahan, aku akhirnya memejamkan mata, membiarkan diri tenggelam dalam tidur yang sangat dibutuhkan.

 

Sepertinya kali ini aku berada di tempat yang sama seperti saat aku bermimpi tentang Nina. Lautan luas dan padang rumput yang tak berujung menghampar di hadapanku. Semua itu nyata di mataku, seakan aku benar-benar berada di tempat itu. Mimpi ini terasa aneh. Kadang rasanya mustahil untuk berada di alam mimpi, karena sensasi yang begitu nyata. Namun, seperti yang kuduga, semuanya tidak terasa sakit meskipun aku mencoba mencubit kulitku.

Baru saja aku hendak melangkah, sepasang tangan menutup mataku dari belakang, dan spontan aku terkesiap. Namun, aku tahu ini bukan pertanda buruk. Tubuhku kaku, mulutku terkunci. Aku mulai menebak-nebak siapa yang sedang bermain-main denganku.

"Coba tebak!" Suara itu terdengar familier. Tak mungkin salah, ini adalah suara yang sudah lama tidak aku dengar.

"Nina, kan?" tanyaku pelan, tapi pasti.

"Yeay! Betul banget, deh. Aku Nina, Andre," jawabnya dengan ceria, lalu perlahan melepaskan tangan dari mataku. Aku membalikkan tubuhku dan di sana, di hadapanku, berdiri Nina, dengan senyumnya yang menenangkan. "Apa kabar, Ndre?" tanyanya, suaranya tenang.

Aku tak langsung menjawab. Hatiku bergetar hebat, seperti ada gumpalan rindu yang perlahan meledak dan menyebar. Perasaan yang sudah lama terkubur, akhirnya bisa menguap begitu saja. Aku tahu ini tidak nyata, ini hanya mimpi. Tak apa, setidaknya aku bisa melihatnya lagi, mendengar suaranya lagi. Mungkin kebahagiaan itu memang bisa ditemukan dalam cara yang tak rumit. Lewat mimpi, luka di hati bisa terasa sedikit lebih ringan.

Aku tak ingin membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Kuangkat kedua tangan, dan menyambut pelukan yang datang untukku. Ada satu hal yang kuyakini ketika rindu memenuhi hati—kerinduan adalah kumpulan harapan yang terkunci dalam satu wadah. Ketika ia terlalu lama terpendam, rasa sakit pun datang menyusul.

"Apa kabar, Ndre? Kamu udah makan dengan benar, kan? Tiga kali sehari? Selalu ibadah juga?" tanya Nina, seolah khawatir padaku.

Aku tak langsung menjawab. Rasanya, aku tak ingin melewatkan sedetik pun untuk merasakan pelukan itu lebih lama. Satu pertanyaan mengusik pikiranku: apakah aku sudah menjadi laki-laki munafik karena berkata ingin merelakan, tapi hatiku masih penuh kecemasan yang tak terelakkan?

Waktu berlalu, tak terasa. Dengan perlahan, aku melepaskan Nina dari pelukanku. Aku menghapus bulir-bulir air mata yang mengalir di wajahku, membiarkan perasaan itu tersampaikan, meski dalam mimpi.

"Aku udah tahu rasanya diabaikan. Maafin aku, Nin," ucapku pelan, hampir tak terdengar.

"Nggak, Ndre." Nina meneleng, wajahnya menunjukkan ketulusan. "Aku nggak bermaksud membuat kamu mengerti bagaimana rasanya diabaikan. Aku cuma nggak mau balik lagi. Bukannya ini yang terbaik untuk kita semua? Buat kamu, Aldi, dan aku yang ada di sana?" Kata-kata Nina bagaikan angin yang membawa kehampaan. Dia berbalik, langkahnya pelan dan tenang, menyusuri padang rumput yang luas. Tangannya menyentuh ilalang yang tumbuh lebat, sementara pandangannya terpaku pada horizon yang tak terhingga.

Dia membentangkan kedua tangannya, seakan memeluk angin, sebelum berkata, "Aku mau kamu bahagia tanpa dibebani rasa bersalah sama siapa pun. Aku mau kamu tersenyum, Ndre. Lupa ingatan itu adalah cara terbaik, kan?"

Hatiku serasa tercekik mendengar kata-katanya. Aku membuka mulut, tapi tak ada yang keluar selain embusan napas berat. "Pada akhirnya, aku harus milih antara kamu dan dia. Aku nggak sanggup, Nin. Pulanglah, dan kita kembalikan semuanya seperti semula," pungkasku, suaraku hampir hampa.

"Nggak bisa, Ndre. Hidup itu nggak seperti permainan yang bisa kamu ulang dari mana pun kamu mau. Semua punya aturan. Kamu harus tegar, Ndre ...." Suaranya semakin lembut, tapi matanya tetap tegas, seakan memberi perintah tanpa mengucapkan kata-kata keras.

"Tapi, Nin—" Aku ingin berkata lebih, ingin menjelaskan bahwa aku masih bingung, masih terjerat di antara dua perasaan. Tapi dia menyela, menatapku dengan tatapan yang begitu penuh arti.

"Temani dia, Ndre. Temani dia yang udah jadi orang berarti bagi kamu," kata Nina, lembut dan jelas.

Lihat selengkapnya