Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #19

Keputusan

Sebab merasa tidak ada artinya lagi untuk terus meminta maaf sedangkan yang dimohon tak lagi memberikan harapan pasti, bahkan menolak tanpa pertimbangan, aku kembali terbang ke Bandung untuk meneruskan profesi sebagai fotografer freelance. Ada banyak perusahaan membutuhkan jasa fotografer. Meskipun rasanya tidak terlalu bersemangat seperti dulu, aku akan menjalani semuanya sebagaimana mestinya. Tentu saja, alasanku kembali bukan hanya itu, aku juga ingin menemani Lisa. Kurasa, masih ada hal yang bisa kulakukan untuknya. Lagi pula, aku sudah berjanji padanya.

Orang-orang yang mengidap TB kebanyakan meninggal dunia, setidaknya informasi itu aku dapatkan dari internet. Namun, aku sangat yakin Lisa mampu bertahan dan sembuh dari penyakitnya atas pertolongan Tuhan. Jika dia punya semangat hidup yang tinggi, keajaiban akan datang untuknya. Itulah yang aku yakini.

*

Di luar ruangan tempat Lisa dirawat, aku terpaku sambil menatapnya dari balik kaca pintu berbentuk bundar. Kondisinya masih kritis karena belum ada kemajuan. Sebenarnya sangat ingin setiap hari menemaninya. Sayangnya, aku bukan siapa-siapa. Jika tidak ada izin dari orang tua Lisa, aku tidak bisa semena-mena masuk ke ruangan tersebut. Selain itu, aku juga bisa kena marah oleh pihak rumah sakit jika melakukannya.

Tak lama kemudian, ayah dan ibu Lisa kebetulan datang saat aku masih berada di luar ruangan. Melihatku yang tengah berdiri sambil meratapi, pria paruh baya itu menyapa, "Andre. Kamu udah lama di sini?"

"Eh, Om. Nggak terlalu lama, kok, Om. Sekitar lima menit yang lalu," jawabku, langsung.

"Oh," singkatnya, lalu duduk di bangku. "Terima kasih karena kamu udah peduli sama anak om dan tante," imbuhnya, penuh syukur.

"Saya mencintai anak Om dan Tante," tandasku dengan seluruh keberanian yang telah kukumpulkan sejak berada di Mataram.

Kurasa, tidak ada yang perlu aku takutkan saat mengungkapkan perasaan itu. Lagi pula, aku sangat yakin mereka berdua orang yang baik. Aku datang pada Lisa bukan untuk tujuan yang buruk.

Walau demikian, menit demi menit berlalu, tetapi keduanya tidak merespons. Dari yang aku saksikan, kedua mata mereka terlihat merah. Itu adalah usaha menahan kesedihan yang kembali hadir di hati mereka. Terutama ibu Lisa yang tak kuasa menahan perasaan, lalu membekap mulutnya rapat-rapat. Air matanya tumpah sedetik kemudian.

"Kamu yakin sama apa yang kamu katakan, Andre?" tanya pria itu.

"Sangat yakin, Om."

"Tapi, kamu tahu sekarang keadaan Lisa seperti apa, kan? Kamu tidak takut penyakitnya menular ke kamu? Lisa sedang dalam kondisi yang kritis. Dia udah lama sekali mengidap penyakit TB. Kalau kamu tidak hati-hati, penyakit itu juga bisa menyerang kamu dan orang-orang terdekatmu."

"Saya sama sekali nggak takut, Om. Selama saya bisa bersama Lisa, waktu saya akan saya berikan sepenuhnya. Lagian, Lisa juga udah bilang kalau dia mencintai saya. Saya mau dia bahagia, Om. Meskipun cuma sebentar, saya ingin membahagiakan dia. Saya udah berjanji sama diri saya sendiri. Saya mohon, restui hubungan saya sama Lisa. Saya akan melakukan yang terbaik buat dia."

Pria itu tersenyum getir sambil manggut-manggut. Kemudian dia menepuk bahuku dan berkata, "Kamu laki-laki yang baik."

Dia menatap istrinya dan berkata, "Ma, ternyata Lisa nggak salah pilih laki-laki."

Dengan dipenuhi kesedihan yang dalam, pria tersebut memeluk istrinya yang masih menangis tersedu-sedu.

Sementara itu, aku hanya bisa diam menahan air mata yang sudah di ambang pintu. Aku berusaha menahan kesedihan itu, sebab aku yakin Lisa pasti tidak ingin aku menangisinya.

Wanita itu membuka mulut. "Nak Andre ... tolong, ya, kalau Lisa sadar nanti, berikan dia kebahagiaan. Jaga dia buat tante dan om. Lisa adalah putri kami satu-satunya. Kami sangat menyayangi dia. Tolong, ya."

"Baik, Tante. Saya akan menemani Lisa kapan pun. Saya akan berdoa untuk kesembuhannya. Semoga Tuhan mengangkat penyakit yang dideritanya. Aamiin."

Kurasa, itu jawaban dari permintaan egoisku. Mereka merestui hubungan kami. Jika Tuhan memberikan Lisa sebagai hadiah, berarti itu adalah jalan yang akan aku tempuh selanjutnya. Memang ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu bisa bersama dan tidak.

Semoga saja Lisa tak menanggalkan semua harapannya.

*

Azan berkumandang, orang-orang bergegas mengambil wudu. Begitu pula denganku. Setelah selesai berwudu, aku bersila di dalam musala seraya menunduk, melantunkan zikir sebelum salat berjamaah dimulai. Hanya itu satu-satunya harapan yang tersisa. Di saat manusia sudah tidak bisa melakukan apa-apa, aku yakin Tuhan menjadi satu-satunya tempat untuk meminta. Terkesan sangat egois dan tidak tahu diri. Akan tetapi, hanya itu yang bisa kulakukan. Keajaiban pasti datang untuk Lisa.

Mungkin aku juga semestinya melatih hatiku sendiri agar tidak terpuruk pada kenyataan. Bahkan jika kenyataan yang lebih menyedihkan datang menghampiri, aku harus siap menerimanya. Jika sudah berserah, berarti apa pun yang Tuhan tentukan, harus aku terima dengan tulus. Sayangnya, semua hal masih membekas. Seperti bagaimana aku pernah berserah pada Tuhan perihal Nina. Aku sama sekali tidak menerimanya. Atau bisa dikatakan bahwa aku terpaksa menerimanya.

Usai salat magrib berjamaah, aku memutuskan tinggal di musala untuk melanjutkan waktu isya yang akan datang. Sembari menunggu, mulutku tidak pernah berhenti berzikir, membaca segala macam ayat pendek yang kuhafal.

Ya Allah. Pemilik segala jagat, pemilik segala yang bernyawa, yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Hamba meminta dengan sangat keridoanmu. Hamba meminta kepada-Mu untuk mengangkat penyakit sang pujaan hati. Berikan kesempatan sekali lagi. Berikan waktu agar dia bisa tersenyum kembali. Dengan segala kerendahan hati, hamba rela jika penyakitnya dipindahkan kepada hamba. Hamba rela, Ya Allah.

Keraguan mungkin masih ada di dalam diriku, tetapi mau tak mau harus kukalahkan agar bisa mengambil keputusan terbaik. Bagiku keputusan terbaik adalah sesuatu yang diputuskan dengan keikhlasan dan niat baik.

*

Lihat selengkapnya