Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #19

Keputusan

Merasa tak ada gunanya lagi terus meminta maaf pada seseorang yang jelas-jelas menutup pintu maaf tanpa sedikit pun harapan, aku akhirnya memutuskan kembali ke Bandung. Di sana, aku melanjutkan profesiku sebagai fotografer freelance. Banyak perusahaan membutuhkan jasa fotografer, dan meskipun semangatku tak lagi sama seperti dulu, aku tahu aku harus tetap menjalani semuanya sebagaimana mestinya.

Namun, keputusanku untuk kembali ke Bandung bukan semata-mata demi pekerjaan. Ada alasan lain, alasan yang jauh lebih personal—Lisa. Aku ingin berada di sampingnya, menemaninya melewati masa-masa sulit ini. Bagiku, ini bukan sekadar keinginan, melainkan sebuah janji yang sudah kuucapkan padanya.

Kondisinya memang membuatku sering cemas. Dari informasi yang kudapatkan melalui internet, penyakit TB sering kali membawa pengidapnya pada akhir yang tragis. Tapi aku menolak menyerah pada ketakutan itu. Aku percaya sepenuh hati bahwa Lisa akan mampu bertahan, bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan untuknya. Selama dia memiliki semangat hidup yang tinggi, keajaiban bisa datang kapan saja. Keyakinan itu terus kujaga, menjadi penghiburan sekaligus pendorong langkahku untuk tetap berada di sisinya.

Lisa bukan hanya seseorang yang membutuhkan dukungan; dia adalah seseorang yang pantas mendapatkannya. Dan aku di sini, berusaha memberikan apa yang kubisa—baik dalam bentuk waktu, perhatian, maupun harapan, agar dia tahu bahwa dia tidak sendirian.

 

Di luar ruangan tempat Lisa dirawat, aku berdiri terpaku, menatapnya dari balik kaca pintu berbentuk bundar. Kondisinya masih kritis, tanpa tanda-tanda kemajuan yang berarti. Ada keinginan besar dalam hatiku untuk menemaninya setiap hari, berada di sisinya saat dia menghadapi kesulitan ini. Namun, kenyataan berkata lain. Aku bukan siapa-siapa dalam hidupnya, setidaknya di mata orang-orang di sekitarnya. Tanpa izin dari kedua orang tuanya, aku tak mungkin masuk begitu saja ke ruang perawatan itu. Lagi pula, pihak rumah sakit tidak akan membiarkanku bertindak sesuka hati.

Saat aku masih berdiri di sana, meresapi kekhawatiran yang terus membebaniku, ayah dan ibu Lisa tiba-tiba muncul. Wajah mereka tampak lelah, seperti telah melalui malam-malam tanpa tidur. Mereka mendekat perlahan, dan pria paruh baya itu, ayah Lisa, menyapaku dengan suara yang ramah, tapi sarat dengan kelelahan.

"Andre. Kamu udah lama di sini?" tanyanya, menatapku sejenak sebelum duduk di bangku di dekat pintu.

"Eh, Om. Nggak terlalu lama, kok. Sekitar lima menit yang lalu," jawabku buru-buru, menyembunyikan kegugupanku.

"Oh," balasnya singkat, lalu menarik napas panjang. Setelah beberapa detik hening, ia melanjutkan, "Terima kasih karena kamu udah peduli sama anak om dan Tante." Suaranya terdengar tulus, penuh syukur.

Aku mengumpulkan semua keberanian yang tersisa di hatiku, lalu berkata dengan nada yang tegas, tapi tetap penuh rasa hormat, "Saya mencintai anak Om dan Tante."

Perkataanku menggema di dalam kepalaku sendiri. Untuk pertama kalinya, aku mengucapkan hal itu langsung kepada orang tuanya. Aku tahu, tidak ada yang perlu aku takutkan saat menyatakan perasaanku. Mereka adalah orang baik, dan aku datang ke sini bukan untuk tujuan buruk. Aku ingin mereka tahu betapa besar rasa cintaku pada Lisa, dan betapa aku ingin menjadi bagian dari perjuangannya melawan penyakit ini.

Namun, saat menit-menit berlalu tanpa respons dari keduanya, aku mulai merasakan suasana yang begitu berat. Mata mereka terlihat merah, menahan kesedihan yang sudah terlalu lama bersarang di hati. Ibu Lisa, yang berdiri di samping suaminya, akhirnya menyerah pada perasaannya. Dengan satu tangan, ia menutup mulutnya, seolah mencoba menghentikan tangis yang tak tertahankan. Tapi usaha itu sia-sia. Air matanya jatuh, mengalir deras, membawa beban yang tak mampu lagi disimpan di dalam hati.

Aku hanya bisa diam, menyaksikan kepedihan mereka yang kini terasa begitu nyata. Kata-kata yang barusan kuucapkan, meski datang dari lubuk hati, tampaknya tak mampu menenangkan badai emosi yang sedang melanda mereka.

"Kamu yakin sama apa yang kamu katakan, Andre?" tanya pria itu, suaranya berat, penuh pertimbangan.

"Sangat yakin, Om," jawabku tegas, tanpa keraguan sedikit pun.

Pria itu menatapku dalam, mencoba membaca ketulusan di balik kata-kataku. "Tapi kamu tahu, kan, sekarang keadaan Lisa seperti apa? Kamu nggak takut penyakitnya menular ke kamu? Lisa sedang dalam kondisi yang kritis. Dia sudah lama sekali mengidap penyakit ini. Kalau kamu nggak hati-hati, penyakit itu bisa menyerang kamu dan orang-orang di sekitarmu."

Aku menarik napas panjang, lalu menjawab dengan suara yang mantap, "Saya sama sekali nggak takut, Om. Selama saya bisa bersama Lisa, waktu saya akan saya berikan sepenuhnya untuk dia. Lagian, Lisa juga udah bilang kalau dia mencintai saya. Saya mau dia bahagia, Om. Meskipun cuma sebentar, saya ingin membahagiakan dia. Saya udah berjanji sama diri saya sendiri. Saya mohon, restui hubungan saya sama Lisa. Saya akan melakukan yang terbaik buat dia."

Pria itu diam sejenak, kemudian tersenyum getir sambil mengangguk pelan. Tangannya terulur, menepuk bahuku dengan lembut. "Kamu laki-laki yang baik, Andre," katanya dengan nada yang sarat emosi.

Dia melirik istrinya yang masih terisak di sampingnya, lalu berkata, "Ma, ternyata Lisa nggak salah pilih laki-laki."

Wanita itu hanya mengangguk kecil, air matanya masih mengalir deras. Dengan penuh rasa haru, pria tersebut meraih bahunya dan memeluknya erat, seolah ingin membagikan sedikit kekuatan di tengah kesedihan yang mereka rasakan bersama.

Aku berdiri mematung, menahan air mata yang mulai memenuhi pelupuk mataku. Tapi aku tahu, Lisa pasti tidak ingin melihatku menangis. Aku berusaha keras menahan kesedihan itu, tetap berdiri tegak di depan mereka.

Wanita itu akhirnya membuka suara. "Nak Andre ...," katanya lirih, masih dengan nada yang berat karena tangis, "tolong, ya, kalau Lisa sadar nanti, berikan dia kebahagiaan. Jaga dia baik-baik untuk tante dan Om. Lisa adalah satu-satunya anak kami. Kami sangat menyayangi dia. Tolong ... jaga dia, ya."

Aku menatap wanita itu dengan penuh ketulusan. "Baik, Tante. Saya akan menemani Lisa kapan pun dia butuh saya. Saya akan berdoa untuk kesembuhannya. Semoga Tuhan mengangkat penyakit yang dideritanya. Aamiin."

Mendengar jawabanku, mereka tampak lebih tenang, meski kesedihan masih jelas terpancar di wajah mereka. Kurasa, inilah jawaban dari doa-doa dan harapan yang selama ini aku panjatkan. Mereka telah merestui hubungan kami. Meskipun jalannya penuh ketidakpastian, aku akan menjalani semuanya dengan hati yang teguh.

Jika Tuhan memberikan Lisa sebagai hadiah dalam hidupku, maka aku akan menjaga hadiah itu dengan sebaik-baiknya. Aku tahu, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi—bersama atau tidak. Tapi selama Lisa masih memiliki harapan, aku juga akan tetap menggenggam harapan itu.

Semoga saja, Lisa tidak menyerah pada kehidupannya. Aku akan berada di sisinya, apa pun yang terjadi.

 

Azan magrib menggema, menggugah setiap jiwa untuk bergegas. Orang-orang di musala mulai berbaris mengambil wudu, begitu pula aku. Air wudu yang menyentuh kulitku terasa dingin, seolah membersihkan bukan hanya debu di tubuh, tapi juga beban yang mengeram di hati. Selesai berwudu, aku duduk bersila di sudut musala. Kepalaku tertunduk, mulutku lirih melantunkan zikir, menunggu panggilan untuk salat berjamaah.

Di saat-saat seperti ini, aku menyadari satu hal: ketika segala usaha manusia telah mencapai batasnya, hanya Tuhan yang menjadi tempat terakhir untuk memohon. Terkesan egois, memang. Mengingat Tuhan hanya saat sedang dalam keputusasaan. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Aku memohon keajaiban. Aku memohon agar Lisa diberi kesempatan untuk kembali sehat.

Sambil terus berzikir, aku berusaha melatih hatiku. Aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan, seburuk apa pun itu. Belajar menerima, bahkan jika takdir paling menyakitkan menghampiri. Namun, aku tahu itu tidak mudah. Kenangan tentang bagaimana aku pernah mencoba berserah perihal Nina masih membekas di hati. Meski waktu berlalu, aku sadar saat itu aku bukan benar-benar menerima—aku hanya terpaksa menyerah. Aku takut hal yang sama terjadi lagi.

Usai salat magrib berjamaah, aku memutuskan untuk tetap tinggal di musala, menunggu waktu isya. Langit di luar mulai gelap sepenuhnya, dan suasana musala kian hening. Dalam kesunyian ini, aku terus melafalkan ayat-ayat pendek yang kuhafal, zikir yang kuucapkan dengan hati yang penuh harap.

“Ya Allah,” gumamku dalam doa, “Pemilik segala jagat raya, pemilik setiap jiwa, yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dengan segala kerendahan hati, hamba memohon kepada-Mu. Angkatlah penyakit yang diderita sang pujaan hati, Ya Allah. Berikan dia kesempatan sekali lagi. Berikan waktu agar dia bisa tersenyum kembali. Dengan segala ketulusan, jika memang itu kehendak-Mu, hamba rela penyakitnya dipindahkan kepada hamba. Hamba rela, Ya Allah.”

Air mata tak terasa mengalir di pipiku. Ada keraguan kecil yang mengintip di hatiku, mencoba menggoyahkan keyakinan. Namun, aku berusaha melawannya. Bagiku, keputusan terbaik adalah keputusan yang diambil dengan keikhlasan dan niat baik, meskipun kadang harus menyakitkan.

Aku terus berdoa, menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa. Karena pada akhirnya, tidak ada kekuatan yang lebih besar dari kehendak-Nya. Apa pun yang terjadi nanti, aku harus belajar menerima dengan hati yang tulus.

Lihat selengkapnya