Hanya satu pertanyaan yang kini terus menghantui pikiranku setelah menerima kabar bahwa Aldi akan menikah dengan Nina: bagaimana caranya menggagalkan pernikahan mereka?
Aku tahu, pikiran ini membuatku terlihat munafik. Di satu sisi, aku sering mengucapkan bahwa aku ikhlas dan tulus. Namun, di sisi lain, hatiku terus mengutuk, tak mampu menerima kenyataan bahwa sahabatku sendiri mungkin akan hidup bahagia dengan perempuan yang pernah kucintai sepenuh hati. Apakah Tuhan akan mengampuni hati yang dipenuhi dosa seperti ini? Aku tidak tahu.
Namun, di balik semua amarah dan keegoisan, ada keraguan yang terus mengusik. Aku ragu Nina benar-benar bahagia dengan keputusan itu. Matanya yang suram, ekspresi wajahnya yang datar—semuanya mengisyaratkan sesuatu yang berbeda. Aku masih ingat bagaimana Aldi memaksanya masuk ke mobil waktu itu. Tidak ada kebahagiaan di wajah Nina, hanya ketakutan dan kebingungan. Membayangkan mereka menikah bukan hanya membuat dadaku sesak, tetapi juga menyadarkanku bahwa ini bukan sekadar tentang cemburu. Ini tentang Nina. Aku yakin, dia akan jauh lebih sengsara jika menikah dengan Aldi. Perasaan ini bukan sekadar harapan bahwa rumah tangga mereka tidak akan bahagia, melainkan sebuah keyakinan.
Bagaimanapun Nina berusaha melupakanku, aku tahu perasaannya tidak pernah benar-benar hilang. Aku bisa merasakannya setiap kali aku melihatnya, setiap kali dia mencuri pandang ke arahku. Cintanya masih ada—sama seperti milikku untuknya.
Namun, aku harus mengenyampingkan semua itu. Lisa. Keadaannya jauh lebih mendesak saat ini. Dokter sudah memvonis bahwa hidupnya tinggal menghitung hari. Mereka mengatakan bakteri telah menyebar ke seluruh tubuhnya, menggerogoti organ-organ vitalnya dengan ganas. Namun, aku menolak percaya sepenuhnya. Hidup dan mati bukan urusan manusia. Itu urusan Tuhan. Meski teknologi medis semakin maju, aku percaya keajaiban masih bisa terjadi. Aku harus percaya.
Di depan ruang ICU, aku melihat kedua orang tua Lisa menangis. Ayahnya memeluk erat sang ibu, menahan air mata agar tidak jatuh, meski jelas ia ingin sekali meluapkan kesedihannya. Mereka berusaha terlihat kuat, berpura-pura tegar, tetapi aku tahu itu hanya topeng. Tidak ada gunanya berpura-pura kuat di tengah kenyataan pahit seperti ini. Menangis adalah hal yang wajar. Tangisan menunjukkan bahwa kita manusia—rapuh dan penuh emosi. Tidak ada yang salah dengan air mata.
Dari balik kaca kecil di pintu ruang ICU, aku melihat Lisa. Tubuhnya terkulai lemah di ranjang, begitu jauh berbeda dari terakhir kali aku melihatnya. Tubuhnya yang dulu berisi kini tinggal tulang yang dibalut kulit. Lehernya, wajahnya, bahkan tulang belikatnya terlihat menonjol, seperti ingin keluar dari kulitnya yang dulu putih bersih. Dia sangat kurus, hampir tidak bisa dikenali.
Ketika rasa rindu akan senyumnya menyeruak, aku membuka kamera di ponselku. Foto-fotonya masih tersimpan rapi di sana, lengkap dengan video-video yang aku ambil saat kami bersama. Di video itu, dia tertawa lepas, tampak begitu ceria. Betapa menggemaskan caranya tertawa, betapa menyenangkan saat kami melewati hari-hari sulit bersama. Lisa selalu tahu cara meringankan beban di pundakku, membawa kebahagiaan ke hidupku dengan caranya yang sederhana. Dia mengajakku ke tempat-tempat indah, berbagi momen penuh kehangatan.
Kini, aku baru sadar bahwa Lisa mencintaiku lebih dari yang pernah aku bayangkan—bahkan mungkin lebih dari dia mencintai hidupnya sendiri.
Aku tersentak ketika sebuah tangan lembut menyentuh bahuku. "Andre, pulanglah. Kamu pasti sangat kelelahan. Sejak kemarin kamu belum istirahat karena terus mengkhawatirkan Lisa. Terima kasih banyak, Nak, karena kamu sudah begitu peduli dan setia menemani anak kami," ucap lelaki paruh baya itu dengan suara yang hangat, tapi berat.
Dia benar. Aku memang belum tidur sejak kemarin. Bukan hanya tidur, bahkan berpikir untuk tidur pun tidak sempat. Semalam aku sibuk mondar-mandir, berlari ke ruangan dokter setiap kali melihat Lisa tampak seperti kehilangan napas terakhirnya. Aku sama sekali tidak peduli pada tubuhku sendiri. Makan? Jangan ditanya. Nafsu makan sudah lama lenyap. Hari ini pun, aku hanya menelan beberapa teguk teh hangat yang kubeli di kantin rumah sakit. Meski orang tua Lisa berkali-kali menawarkan makanan, aku selalu menolak dengan sopan. Roti atau apa pun yang mereka tawarkan tidak sanggup kuminum, apalagi kumakan.
"Terima kasih, Om, tapi saya nggak apa-apa," jawabku, mencoba terdengar tegar meski suaraku melemah.
Lelaki itu tersenyum tipis, lalu berkata lagi, kali ini dengan nada lebih meyakinkan, "Andre, pulanglah. Istirahat dulu. Om akan segera kabari kalau Lisa sudah membaik. Percayalah, Lisa anak yang kuat. Dia tidak akan menyerah. Om yakin dia masih ingin bertahan, masih ingin menghabiskan waktu bersama kamu."
Tatapan matanya begitu teduh dan penuh ketulusan, membuatku tak mampu membantah. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang mengingatkanku pada Lisa—matanya yang kadang berbinar di balik kesedihan yang tertahan. Mungkin inilah asal dari mata Lisa. Mereka berbagi kesamaan yang menghangatkan sekaligus memilukan.
Namun, meskipun aku mengangguk dan berjanji akan pulang, aku tahu tubuhku hanya akan kembali ke rumah. Pikiranku tidak akan ikut. Aku yakin setibanya di sana, aku tetap tidak akan bisa tidur. Mataku mungkin mengantuk, tetapi hatiku tidak akan mengizinkannya terpejam, bahkan untuk sedetik.
Perasaanku kacau. Hati ini seperti busur yang terus-menerus ditarik hingga anak panah melesat, menusuk dada tanpa ampun. Luka itu tidak sembuh, hanya membekas semakin dalam. Antara Lisa dan Nina, keduanya bagiku adalah bidadari yang diturunkan Tuhan ke dunia. Tapi anehnya, keduanya juga adalah bidadari yang tak bisa kumiliki.
Aku berjalan keluar rumah sakit dengan langkah gontai, merasa kosong. Dalam keheningan malam, aku hanya bisa bertanya-tanya kepada Tuhan, apa yang sebenarnya ingin Dia ajarkan kepadaku melalui semua ini.
Setibanya di rumah, aku hanya duduk terpaku di sofa. Tubuhku diam, tetapi pikiranku melayang jauh. Sorot mataku kosong, menatap entah ke mana, sementara pikiranku bergerak liar, menembus batas waktu seolah mencoba mencari jawaban di masa depan. Kemungkinan buruk terus menghantui benakku, seakan membisikkan kenyataan yang tak ingin kudengar. Apa yang akan terjadi dalam beberapa hari ke depan? Hanya ada dua jalan—baik atau buruk. Namun, pikiran buruk lebih sering mendominasi, membuatku yakin bahwa jika hal itu terjadi, aku akan kehilangan satu-satunya semangat hidup yang tersisa.
Pikiran seperti itu membuat dadaku terasa sesak. Aku bangkit, berjalan ke kamar mandi, mencoba menyegarkan diri. Kubiarkan air dingin menyentuh wajahku, membasuh sisa-sisa kepenatan yang seolah menempel di kulitku. Namun, ketika kutatap diriku di cermin, aku terkejut dengan bayangan yang kulihat. Wajah yang kusam, dengan kantung mata hitam pekat, rambut yang berantakan seperti tak pernah tersentuh sisir. Aku tampak seperti manusia yang telah lama kehilangan hidupnya. Seperti mayat hidup yang terus berjalan tanpa arah.