Hanya satu pertanyaan yang kini selalu terlintas di benakku setelah mengetahui Aldi ternyata akan menikah dengan Nina: bagaimana caranya menggagalkan pernikahan mereka?
Aku memang munafik. Berkata ikhlas dan tulus, sedangkan hati terus mengutuk seolah tidak terima jika sahabat sendiri bisa hidup bahagia dengan pilihan hatinya. Dengan begitu, akankah Tuhan mengampuni hati yang tengah berdosa ini? Entahlah.
Akan tetapi, dari semua alasan itu, aku ragu Nina bahagia menikah dengannya. Dia sama sekali tidak terlihat bahagia ketika Aldi memaksanya masuk ke mobil waktu itu. Apalagi membayangkan mereka menikah. Nina pasti akan jauh lebih sengsara. Bukan maksud hati berharap rumah tangga mereka tidak bahagia kelak. Itu kenyataan yang tidak bisa dimungkiri. Bagaimanapun perempuan tersebut melupakanku, perasaan cintanya masih tetap sama. Aku bisa merasakan itu darinya.
Mengenyampingkan hal itu, hari ini keadaan Lisa masih belum pulih, bahkan dia telah divonis tak bisa hidup lebih lama lagi. Di saat seperti ini, aku tidak ingin percaya dengan prediksi manusia. Pada kenyataannya, hidup dan mati adalah urusan Tuhan. Walaupun manusia sudah menemukan berbagai teknologi canggih dalam dunia medis, tetap saja aku menolak percaya seratus persen.
Kulihat kedua orang tua Lisa menumpahkan tangis di depan ruang ICU. Lelaki itu memeluk istrinya erat-erat sembari menahan air matanya untuk tidak tumpah. Mereka berusaha tegar. Atau mungkin lebih tepatnya berpura-pura tegar. Bagiku sendiri, tidak ada gunanya berpura-pura kuat dan tegar. Adalah wajar kita menangis karena kenyataan pahit yang kita alami. Tidak ada satu manusia pun yang tidak bisa menangis. Sebab menangis adalah pertanda bahwa kita adalah manusia. Rapuh.
Aku mengintip Lisa di sana yang terkulai lemah. Dia sangat kurus dari kali terakhir aku menemuinya bulan lalu. Mulai dari leher, wajah, kemudian juga tulang belikatnya yang bahkan tampak sangat jelas menyembul keluar dari kulitnya yang putih langsat. Dulu dia tidak terlihat seperti itu.
Ketika aku rindu dengan senyumannya, aku selalu melihat foto-fotonya yang ada di dalam kameraku. Ada beberapa video juga yang sempat kuambil. Dia tampak menggemaskan. Kami tertawa bersama melalui hari-hari yang sulit. Dia meringankan beban di pundakku dengan terus mengajakku ke berbagai tempat. Caranya sangat indah dan aku baru saja menyadari dia jauh lebih mencintaiku daripada nyawanya sendiri.
Aku terkejut ketika sebuah tangan menepuk bahuku. "Andre, pulanglah. Sepertinya kamu sangat kelelahan. Dari kemarin kamu belum tidur karena mengkhawatirkan Lisa. Terima kasih banyak buat kamu yang sudah peduli dan setia menemani anak kami," ucap lelaki paruh baya itu.
Benar yang dia katakan. Sejak kemarin aku memang belum tidur. Berpikir untuk tidur pun tidak. Semalam, aku ke sana kemari, berulang kali berlari ke ruangan dokter karena melihat Lisa seperti kehilangan napas terakhirnya. Aku sama sekali tidak peduli dengan kesehatanku sendiri. Makan pun tidak nafsu. Dan hari ini, aku tidak pernah makan apa pun seharian. Aku hanya menelan teh hangat yang kubeli di kantin rumah sakit. Meskipun orang tua Lisa menawarkan makanan dan roti, aku menolak karena tidak nafsu.
"Nggak apa-apa—"
"Pulanglah, Nak. Akan om kabarkan jika Lisa sudah kembali pulih. Yakinlah. Dia pasti bertahan. Lisa anak om dan tante yang sangat kuat. Dia tidak akan menyerah untuk hidup. Om yakin dia masih ingin menghabiskan waktu denganmu."
Matanya sangat teduh membuatku tidak lagi bisa membantah. Dia sangat mengerti dengan keadaanku. Kurasa, mata Lisa diambil darinya. Terlihat sama dan kadang berbinar. Namun, kesedihan masih terus berada di sana, menunggu waktu yang tepat agar bisa merasukinya.
Aku sangat yakin tidak akan bisa tidur setibanya di rumah. Mata memang mengantuk, tetapi hati tak mengizinkanku memejam walaupun sedetik.
Seperti seseorang menarik busur panah, setelah aku tertikam, anak panah membekas di dadaku dan sekarat. Nina dan Lisa. Keduanya sama-sama bidadari yang diturunkan Tuhan ke bumi, tetapi tak bisa kumiliki.
*
Sampai di rumah, aku bergeming sambil duduk di sofa. Sorotku menghampa, sedangkan pikiran melayang menembus langit ketujuh. Sel-sel otakku seolah terbang menembus dimensi waktu menuju masa depan. Memikirkan kemungkinan paling buruk yang bisa terjadi dalam beberapa hari ke depan. Hanya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, bukan? Baik dan buruk. Dan jika aku mendapati kemungkinan buruk, sudah dipastikan aku akan kehilangan satu semangatku lagi.
Rasanya benar-benar tidak nyaman dihantui pikiran seperti itu. Aku berjalan ke kamar mandi, lalu membasuh wajah. Kulihat diriku sendiri di dalam cermin dan aku baru menyadari sekian lama sudah diriku mengenyampingkan semua urusanku. Rambutku sudah terlihat panjang, bahkan sulit dirapikan. Mataku berkantung dan tampak hitam. Aku seperti mayat hidup. Hidup segan mati tak mau.
"Andaikan aku bisa ngelakuin sesuatu buat Lisa, semua orang pasti akan ngerasa kalau aku sangat berguna. Nyatanya aku cuma laki-laki egois yang terlalu takut sendiri. Kehilangan Lisa bakal jadi pertanda kalau aku kesepian."