Sudah lebih dari seminggu aku mengurung diri di kamar, tenggelam dalam penyesalan dan meratapi apa yang telah terjadi. Namun, sekeras apa pun aku meratap, aku tahu waktu tak akan pernah berputar kembali. Tak peduli seberapa dalam keinginanku memperbaiki semuanya, hidup tidak memberikan pilihan untuk kembali ke masa lalu. Apa yang sedang kupikirkan? Memangnya aku tokoh dalam sebuah film fiksi ilmiah?
Lagi pula, aku paham benar bahwa ini semua ujian dari Tuhan. Barangkali, melalui ini, Tuhan mengajarkanku untuk menerima kenyataan, sekeras apa pun itu. Mengajarkanku tentang kehilangan dan bagaimana melanjutkan hidup meski separuh hati terasa hilang.
Teleponku sering berbunyi—teman-teman atau kenalan menawarkan pekerjaan, proyek pemotretan, atau sekadar bertanya kabar. Tapi aku belum sanggup. Hati dan pikiranku masih terlalu kacau untuk kembali berfungsi seperti biasa. Rasanya seperti berjalan di lorong gelap tanpa tahu kapan cahaya akan muncul di ujung sana. Setiap detik yang berlalu hanya membawa bayangan masa lalu bersamanya, kenangan bersama Lisa yang terus menghantui. Aku bahkan merasa tak ada tempat untuk bersembunyi dari kenangan itu.
Dengan berat hati, aku memaksa diriku bangkit dari sofa. Rasa malas menggulung tubuhku seperti selimut tebal, tetapi aku tahu tak ada gunanya terus tenggelam dalam perasaan ini. Setelah mengembuskan napas panjang, aku menyeret langkah menuju dapur. Aku membuka lemari, mengambil sebungkus mi instan, dan mulai menyiapkan air panas.
Dalam kesederhanaan itu, aku merasa sedikit lebih baik. Setidaknya, aku harus tetap hidup, bukan? Jika bukan untuk diriku sendiri, maka untuk memenuhi harapan Lisa. Harapan yang pernah dia ucapkan—agar aku tidak menyerah, apa pun yang terjadi. Karena aku tahu, itulah yang dia inginkan.
Mencoba menenangkan pikiran, aku memutuskan keluar rumah hari ini, membawa kamera kesayangan. Berharap bisa menemukan kedamaian melalui lensa, aku menghabiskan waktu memotret apa pun yang menarik perhatian. Namun, hingga matahari mulai turun ke ufuk barat, aku hanya berhasil mendapatkan tiga foto. Rasanya, inspirasiku turut memudar bersama cahaya hari.
“Siklus kehidupan,” gumamku pelan, mengulang sebuah kutipan yang pernah kubaca entah di mana. Aku tidak ingat siapa yang menulisnya, tapi maknanya begitu lekat di benakku. Setiap yang datang, pasti akan pergi. Setiap yang hidup, pada akhirnya akan mati. Kehidupan memang seperti itu—segala sesuatu selalu memiliki pasangannya, terang dan gelap, awal dan akhir.
Langkahku terhenti di dekat sekumpulan bunga liar. Seekor lebah kecil tampak sibuk menggerogoti kelopak bunga, sibuk dengan tugasnya di dunia ini. Aku mengangkat kamera dan mengabadikan momen itu. Klik. Mungkin ini salah satu gambar terbaikku hari ini. Setelahnya, aku mematikan kamera dan menarik napas panjang, melangkah meninggalkan taman yang penuh kenangan.
Taman itu pernah menjadi tempat kebahagiaanku, tetapi kini segalanya tak lagi sama. Aku tak bisa mengusir bayangan masa lalu yang selalu menghantui setiap sudutnya. Langkahku terasa berat, tapi aku tahu, aku harus terus berjalan.
-II-
“Pernikahan. Mereka akan menikah dan hidup bahagia. Apa iya?” gumamku lirih, hampir seperti berbicara pada diriku sendiri.
Pesan dari Aldi yang datang beberapa minggu lalu masih terekam jelas di pikiranku. Dia dan Nina akan menikah. Tidak ada yang salah dengan itu, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Ada rasa yang mengganjal, campuran antara kecewa, marah, dan sakit yang entah datang dari mana. Haruskah aku datang ke acara mereka? Jika aku memilih hadir, mungkin itu hanya akan menjadi luka tambahan. Berpura-pura bahagia atas kebahagiaan mereka adalah hal yang tampaknya mustahil bagiku. Aldi pasti tahu itu, tapi entah mengapa dia tetap mengirimkan pesan itu. Apa tujuannya? Mungkin, hanya sekadar ingin mengingatkanku pada kekalahanku.
Dalam beberapa hari terakhir, aku mencoba mengalihkan pikiran dengan kembali fokus pada pekerjaanku. Kamera selalu menjadi pelarian. Aku pergi berkeliling Kota Bandung, menyusuri jalan-jalan kecil hingga desa-desa terpencil, mencari momen untuk diabadikan. Tidak hanya untuk diriku sendiri, tapi juga demi kompetisi fotografi yang sebentar lagi akan diadakan. Brosur yang Kifli berikan waktu itu membuatku cukup bersemangat. Tapi, ada satu masalah yang mengganjal. Kompetisi itu membutuhkan foto dengan model, dan aku tidak punya siapa pun saat ini.
Nina adalah satu-satunya perempuan yang cukup dekat denganku. Tapi memintanya untuk menjadi modelku? Rasanya mustahil. Hubungan kami yang rumit, ditambah dengan pernikahannya yang semakin dekat, membuatnya menjadi opsi terakhir yang tak ingin kugunakan. Haruskah aku mencoba mendekati orang lain? Mengubah diriku, mungkin, agar lebih mudah berinteraksi dengan orang baru? Pemikiran itu terdengar konyol, tapi aku tidak bisa mengabaikannya sepenuhnya.
Sejujurnya, aku masih terjebak di masa lalu. Segala usaha untuk mengikhlaskan yang telah terjadi selalu berujung pada kegagalan. Ikhlas itu mudah diucapkan, tapi menjalankannya? Itu seperti mendaki bukit terjal penuh kerikil, yang setiap langkah terasa berat dan menyakitkan.
Hari ini, Sabtu yang cerah, adalah hari terakhirku di Bandung sebelum kembali ke Mataram. Sebelum pergi, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tak bisa kulewatkan—mengunjungi peristirahatan terakhir Lisa. Dengan langkah pelan, aku tiba di sana, membawa bunga yang sudah kusiapkan sejak pagi.
Di depan pusaranya, aku menaburkan bunga di atas tanah yang sudah lembap karena siraman airku. Senyum yang muncul di wajahku terasa berat, lebih seperti memaksakan diri daripada benar-benar tulus.
“Lisa,” ucapku perlahan, nyaris berbisik. “Semoga kamu tenang di sana, dan mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.”
Angin sore berembus lembut, seakan membawa doa dan harapanku menuju langit. Untuk sesaat, aku memejamkan mata, membiarkan diriku larut dalam perasaan yang tak bisa kujelaskan. Aku tahu, ini mungkin terakhir kalinya aku mengunjungi tempat ini dalam waktu dekat. Namun, aku berharap doa dan kenanganku selalu menemani Lisa, di mana pun dia berada.