Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #21

Akad Nikah

Seminggu lebih sudah aku mengurung diri di kamar sambil meratapi segala yang telah terjadi. Apa pun yang kulakukan, waktu tidak akan kembali. Aku sadar usaha untuk memperbaiki masa depan tidak dilakukan dengan cara kembali ke masa lalu. Pikiran konyol macam apa yang merasuki kepalaku? Memangnya aku sedang berada di dalam film?

Lagi pula, aku sadar betul bahwa semua itu adalah ujian Tuhan. Mungkin Tuhan sedang mengajarkanku untuk menerima kenyataan.

Setiap hari, ada saja yang menghubungiku, menawarkan pekerjaan atau proyek pemotretan. Hanya saja, hati masih kacau tak keruan. Aku masih butuh waktu yang lebih lama untuk sembuh dari luka yang lalu. Belum lagi setiap detik bayangan masa lalu bersama Lisa terus menghantui.

Aku bangkit dari sofa dengan rasa malas. Setelah mengembuskan napas panjang, aku berjalan menuju dapur untuk menyeduh mi instan. Setidaknya, aku harus tetap hidup untuk memenuhi harapan Lisa.

*

Mencoba keluar rumah agar pikiran lebih tenang sambil memotret, aku baru mendapatkan tiga foto sejak pagi. Hari semakin sore dan matahari perlahan-lahan menjauh ke ufuk barat.

"Siklus kehidupan," gumamku.

Entah di mana aku pernah membaca kutipan barusan. Yang jelas, aku mengerti bahwa setiap yang datang pasti akan pergi. Setiap yang hidup, pula akan mati. Kehidupan memang seperti itu. Setiap hal punya pasangan.

Berhasil mendapatkan foto lebah yang menggerogoti kelopak bunga, aku mematikan kamera, lalu berjalan pergi dari taman yang penuh kenangan tersebut.

Segalanya tak lagi sama.

*

"Pernikahan. Mereka bakal nikah dan hidup bahagia. Apa iya?" cetusku, lirih.

Aku ingat pesan yang aku terima beberapa minggu yang lalu. Aldi dan Nina akan menikah. Sejujurnya, aku masih ragu untuk datang atau tidak ke acara pernikahan mereka. Jika memilih datang, maka aku akan jauh lebih terluka. Bohong jika aku berkata bahagia di atas bahagia mereka. Pemikiran yang sungguh tidak realistis. Aldi pasti sengaja mengirim pesan itu hanya untuk membuatku jauh lebih menderita.

Dalam beberapa hari ini, aku sudah bisa fokus melanjutkan profesiku. Aku berkeliling Kota Bandung, pergi ke desa-desa terpencil hanya untuk mengambil foto. Aku juga bertujuan mengikuti kompetisi fotografi yang sebentar lagi akan diadakan sesuai brosur yang Kifli berikan. Namun, syarat utama tidak mungkin bisa terpenuhi. Aku harus punya model. Sedangkan saat ini, aku tidak dekat dengan perempuan mana pun, selain Nina tentunya. Apakah aku harus mengubah karakterku, lalu mencoba berkenalan dengan perempuan lain?

Bagaimanapun juga, aku masih terpaku pada masa lalu. Usaha apa pun yang kulakukan agar hati ikhlas menerima semua yang telah terjadi, hanya kegagalan yang kudapat. Aku menggeleng-geleng untuk kesekian kalinya. Ikhlas sangat mudah diucapkan, tetapi menjalaninya begitu sulit karena harus melewati jalan terjal dan berkerikil.

Hari Sabtu yang cerah, hari terakhirku berada di Kota Bandung. Untuk sementara, aku akan pulang ke Mataram. Aku juga akan mempertimbangkan undangan pernikahan Aldi.

Dan untuk terakhir kalinya di bulan ini, aku mengunjungi peristirahatan terakhir Lisa. Dengan senyuman enggan, aku menabur bunga di atas tanah yang sudah kusirami air.

"Lisa, semoga kamu tenang dan mendapatkan tempat yang baik di sisi-Nya."

*

Apa definisi menjadi seorang lelaki sejati? Apakah dengan bertahan dari segala rasa sakit dan tidak melakukan apa-apa? Atau mungkin definisi lelaki sejati adalah turut bahagia ketika seorang sahabat bahagia? Dulu aku memberikan semuanya untuk Aldi. Aku bersembunyi di balik bayangan. Segala perasaan cinta pada Nina aku anggap perasaan sesaat yang dapat menyesatkan. Aku menghapus semua perasaan itu. Setiap bangun tidur, aku berusaha tidak memikirkannya. Sekarang aku sadar bahwa kalimat "bahagia di atas bahagia orang lain" adalah pemikiran yang sepenuhnya keliru.

Selain itu, siapa yang harus mengalah? Mengingat pengalaman yang aku punya, aku sudah mengalah selama bertahun-tahun. Namun, Aldi tidak pernah sadar dengan pengorbanan tersebut. Mungkin kami hanya sedang salah paham karena dia tidak pernah bisa membaca perasaanku. Sementara aku, justru sebaliknya.

Lihat selengkapnya