Kekasih Pinjaman

Marion D'rossi
Chapter #22

Merebut Kembali

"Apa yang kamu lakukan, Nina?!"

Suara menggelegar itu keluar dari mulut pria paruh baya yang juga adalah ayah Nina. Dia tampak sangat marah. Menatapku dengan penuh kebencian. Sementara itu, Aldi tak melakukan apa-apa. Dia mungkin sudah putus asa karena Nina lebih memilihku.

Sebab benar, cinta yang sejati tahu ke mana harus kembali. Bukan kepada Aldi, tetapi kepada hati yang sudah dikehendaki. Mungkin agak sedikit konyol berbicara tentang suara hati, tetapi setelah melihat Nina bersama Aldi, perempuan itu seolah menjerit meminta pertolonganku. Bayangkan saja, siapa yang tidak akan tersiksa jika harus melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki? Semua orang pasti seperti itu. Atas dorongan perasaan itulah aku mengubah rencanaku. Tidak apa-apa jika aku harus menanggung malu dan kebencian setiap orang. Yang jelas, aku hanya ingin hak Nina dikembalikan sepenuhnya.

Ayah Nina berjalan cepat ke arahku, lalu meraih tangan putrinya untuk memisahkan kami. Nina melawan, bersikeras tak mau melepaskan lengannya yang masih melingkar di tubuhku. Setelah kulihat wajahnya yang masih basah oleh air mata, tak salah lagi kalau dia sangat ketakutan.

"Nina! Jangan malu-maluin Papa kamu!" bentak pria paruh baya itu, melotot tajam.

Tak semestinya Nina mendapat perlakuan kasar seperti itu, bahkan meski pria itu adalah ayahnya. Aku tidak bisa tinggal diam. Di saat seperti ini, pasrah sama sekali tidak diperlukan. Sungguh aku merasakan Nina seolah memintaku melakukan sesuatu karena cengkeraman tangannya kurasakan semakin kuat.

"Saya nggak akan ngelepasin Nina, Om!" tandasku, tegas.

Aku sudah memberanikan diri mengambil risiko tersebut. Kedua orang tua Nina, atau bahkan semua tamu undangan akan mengecapku sebagai perebut calon istri orang. Aku tidak peduli lagi dengan semua itu. Jika tidak menutup mata dan telinga, aku di sini tidak bersalah. Mereka menyaksikan dengan mata dan kepala mereka sendiri bahwa Nina orang yang berlari dari panggung, lalu memelukku dengan bahagia. Semua orang pasti tahu itu adalah kemauannya sendiri. Lagi pula, mereka tidak tahu apa yang aku rasakan. Jadi, aku tidak perlu mengerti apa yang mereka rasakan.

"Kurang ajar kamu, ya! Berani-beraninya kamu mempengaruhi Nina!"

Jeda sejenak. Aku tidak ingin terpengaruh emosi. Jika aku menggunakan emosi, aku juga tidak akan ada bedanya dengan Aldi atau ayah Nina.

Jika boleh berkata jujur, aku cukup kecewa pada pria paruh baya itu. Dia sama sekali tidak mengerti keinginan putrinya sendiri. Bahkan dia tidak bisa melihat hati Nina yang tersiksa. Aku yakin tidak terlalu sulit melihatnya karena wajah perempuan itu menunjukkannya dengan jelas.

"Om yang kurang ajar. Kenapa Om cuma bisa tutup mata di saat Nina nggak menghendaki pernikahan ini? Lihat wajah putri Om. Dia sangat menderita. Lagian, kalau pernikahan ini terus dilanjutin, aku yakin itu nggak akan sah secara agama. Nina nggak ikhlas ngelakuin sesuatu yang nggak dia mau," dalihku, membalas sorot tajam pria tersebut.

Semua orang mungkin tidak menyangka aku akan berkata seperti itu. Kini, yang kudapatkan adalah cemooh yang dibisikkan ke berpasang-pasang telinga. Tekadku sudah bulat. Aku tidak bisa mundur karena sudah menentukan pilihan.

Tak lama kemudian, Aldi berjalan menghampiriku. Semua orang bergeming. Bahkan sang penghulu pun tidak bisa berbuat apa-apa. Aku yakin yang kukatakan sudah benar. Cinta tak bisa dipaksa. Meskipun kadang beberapa orang percaya bahwa cinta tidak diperlukan untuk menikah, itu sudah beda soal. Jika dua calon mempelai sama-sama setuju menikah, dengan alasan apa pun, itu tidak masalah.

Aldi berdiri menatapku. Air matanya belum habis meleleh.

"Aku ikhlas," katanya, pelan. "Bawa Nina pergi. Mungkin dengan kayak gitu, dia bisa bahagia sama kamu."

Tidak ada lagi yang mampu Aldi katakan. Dia pun berjalan pergi, masuk ke dalam rumahnya. Penuh penyesalan, itu yang aku lihat jelas terpatri di wajahnya.

"Tidak bisa! Nina! Kita harus lanjutkan pernikahan ini!" Ayah Nina tetap bersikeras.

"Nina, lepasin aku," pintaku akhirnya.

"Nggak! Aku cuma mau nikah sama kamu, Andre!" tolaknya, keras kepala.

"Iya, aku tahu. Tapi, lihat keadaan kita sekarang. Orang tuamu aja benci sama aku, Nin. Kita nggak akan direstui. Kalau kamu mau, jelasin ke mereka kalau bukan aku yang nyebabin kecelakaan itu."

Lihat selengkapnya