"Nina, aku boleh suapin kamu?" tanyaku saat kami makan malam bersama di sebuah Rumah Makan Padang.
Perempuan itu menghentikan tangannya yang akan menyuap nasi. Tampak tersipu malu, lalu menjawab, "Bo-boleh, Ndre."
Aku tersenyum melihat wajahnya yang langsung berubah merah. Dia bahkan seolah tidak sanggup menatap mataku seperti sebelumnya.
Segera aku mengambil sendok yang dia letakkan di piringnya. Aku menyendok sedikit nasi bersama lauk, lalu perlahan mengulurkan tangan hingga sendok yang berisi makanan tiba di depan mulutnya. Nina mengunyahnya, pelan sambil menunduk.
Mungkin saat ini dia bertanya-tanya mengapa aku mendadak jadi sangat romantis. Walau dia menanyakannya, aku tidak akan bisa menjawab. Lagi pula, aku hanya ingin punya kenangan indah lain bersama perempuan itu. Sebelum sesuatu yang buruk terjadi, aku tidak ingin semua menjadi penyesalan.
"Sekali lagi."
Nina kembali membuka mulutnya. Kali ini, dia memberanikan diri menatapku. Senyuman paling lebar dan manis kuberi untuknya.
Ada remah nasi yang menempel di sudut bibir Nina. Aku menyingkirkannya segera. Bukan untuk kubuang, tetapi justru menelannya tanpa pertimbangan apa pun.
Perempuan itu terlonjak kaget. Dia menggigit bibir bawahnya. Pada saat dia akan mengalihkan pandangan, segera kuraih rahangnya dan berkata, "Jangan berpaling." Aku menatap Nina lamat-lamat. "Dulu, kamu selalu bikin aku malu karena kelakuanmu. Aku nggak habis pikir kenapa kamu selalu bertingkah sesuai keinginan kamu. Tapi kuakui, semua itu bikin aku senyum-senyum sendiri."
"Kamu sedikit aneh hari ini, Ndre. Ada apa, sih, sebenarnya?"
Sudah kuduga. Dia akan mulai menyadari sikapku. Sebab, Nina yang aku kenal memang cukup peka untuk ukuran seorang perempuan yang suara tertawanya sangat keras. Namun, seiring kami beranjak dewasa, ciri khas itu perlahan menghilang. Meskipun bukan seperti Nina sewaktu masa kuliah dulu, tetapi dialah Nina yang selalu menjadi dirinya sendiri. Manusia memang selalu berubah-ubah.
Nina mengenalku sebagai lelaki cuek yang selalu bersikap dingin. Akan tetapi, aku pernah bertanya tentangku menurut pemikirannya. Aku terkejut mendengar jawabannya waktu itu. Dia berkata, aku sama sekali tidak seperti yang aku pikirkan. Dia menerimaku apa adanya tanpa meminta perubahan apa pun pada diriku.
"Nggak ada apa-apa. Aku cuma mau aja, sih, ngelakuin itu. Emangnya nggak boleh? Lagian, katanya kamu sayang sama aku, kan?" godaku, tenang.
Nina tertawa keras.
"Bolehlah, Ndre. Emang siapa yang ngelarang. Aku 'kan cuma heran. Soalnya, tumben-tumbenan kamu bersikap kayak gitu."
"Aku pikir nggak boleh. Udah diputusin kalau gitu, aku bakalan sering-sering nyuapin makan buat kamu."
Suara tertawa Nina semakin bertambah keras. "Sumpah. Aku senang banget, sih. Aku pikir kamu nggak bisa ngelakuin hal romantis kayak gitu."
Aku menanggapi dengan senyuman. Nina justru semakin lamat menatapku.
"Kamu kenapa senyum-senyum gitu?"
"Nggak—nggak ada. Cuma mau senyum aja." Senyumanku semakin merekah.
Nina tiba-tiba saja menggapai kedua pipiku, lalu mencubitnya seraya berujar, "Ih, kamu kenapa senyum-senyum gitu? Bilang, nggak? Aku cubit lebih keras, nih. Hayo, ngaku."
"Aduh, aduh, aduh! Ini sakit, Nin. Aduh!" jeritku sambil berusaha melepaskan tangannya.
Kurasa, aku sudah berhasil menciptakan kenangan baru bersamanya. Momen yang tidak pernah aku alami bersamanya. Saling membalas candaan, berusaha menggoda satu sama lain, dan menerima lelucon masing-masing. Semua hal itu tidak pernah terjadi di masa lalu kami.
Saking senangnya bercanda, batuk yang kualami kembali menyerang. Kerongkonganku terasa sangat panas seperti dua minggu yang lalu.
Melihatku batuk tanpa henti, kening Nina mengerut. Dia bertanya, "Andre? Kamu nggak apa-apa, kan? Kamu lagi sakit, ya?"
"Iya—uhuk—nggak apa-apa. Aku nggak sakit, kok," jawabku sambil membekap mulut rapat-rapat. "Aku ke—uhuk—toilet dulu sebentar."