“Nina, aku boleh suapin kamu?” tanyaku pelan, saat kami sedang menikmati makan malam di sebuah Rumah Makan Padang yang hangat dan nyaman.
Tangan Nina yang hendak menyuap nasi terhenti. Wajahnya tampak sedikit terkejut, kemudian berubah merah, seolah malu. Dengan suara pelan, ia menjawab, "Bo-boleh, Ndre."
Aku tersenyum melihat reaksinya yang manis. Wajahnya yang kemerahan membuat hatiku berdebar. Dia tampak menghindari pandanganku, seolah tak sanggup menatapku seperti biasanya. Aku pun mengambil sendok yang ia letakkan di piringnya, menyendok sedikit nasi dan lauk. Perlahan, aku mengulurkan sendok itu hingga berada di depan mulutnya.
Nina mengunyahnya pelan, wajahnya menunduk. Aku bisa merasakan ketegangan yang ada di antara kami, tapi juga ada sesuatu yang indah dan hangat di momen itu. Mungkin saat ini dia bertanya-tanya, kenapa aku jadi sangat romantis seperti ini. Tapi jika dia bertanya, aku tidak bisa menjawabnya dengan kata-kata. Aku hanya ingin menciptakan kenangan indah bersamanya, sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Aku tidak ingin merasa menyesal nantinya.
“Sekali lagi,” kataku lembut.
Nina membuka mulutnya lagi, kali ini dengan sedikit keberanian. Dia menatapku dengan pandangan yang berbeda dari sebelumnya. Senyum terlebar dan termanis yang bisa kuberikan hanya untuknya, kutujukan padanya.
Saat itu, aku melihat ada remah nasi yang menempel di sudut bibirnya. Tanpa berpikir panjang, aku mengusapnya dengan jariku dan bukan untuk aku buang, melainkan justru aku telan begitu saja.
Nina terkejut. Ekspresinya menunjukkan bahwa dia belum siap dengan tindakanku yang tak terduga itu. Dia menggigit bibir bawahnya, ragu-ragu. Ketika dia mencoba mengalihkan pandangannya, aku segera meraih rahangnya dengan lembut dan berkata, “Jangan berpaling.”
Aku menatapnya dalam-dalam. "Dulu, kamu selalu bikin aku malu karena kelakuanmu. Aku nggak habis pikir kenapa kamu selalu bertingkah sesuai dengan keinginanmu. Tapi kuakui, semua itu malah bikin aku senyum-senyum sendiri."
Nina terdiam sejenak, tatapannya penuh pertanyaan. "Kamu sedikit aneh hari ini, Ndre. Ada apa, sih, sebenarnya?"
Seperti yang sudah kuduga, Nina mulai menyadari perubahan sikapku. Perempuan itu memang selalu peka, meskipun terkadang suaranya yang keras saat tertawa bisa menutupi ketajaman instingnya. Tetapi seiring berjalannya waktu, perubahan itu tidak hanya terjadi pada dirinya. Aku pun berubah, meskipun mungkin tak sebanyak yang dia alami.
Nina mengenalku sebagai lelaki cuek, yang selalu bersikap dingin. Namun, aku pernah bertanya padanya tentang bagaimana dia memandangku. Jawabannya waktu itu membuatku terkejut. Dia mengatakan bahwa aku tidak seperti yang aku kira, dan dia menerima aku apa adanya, tanpa meminta perubahan sedikit pun dariku. Itu adalah salah satu hal yang membuatku semakin yakin bahwa perasaanku padanya adalah hal yang benar.
"Nggak ada apa-apa. Aku cuma mau aja, sih, ngelakuin itu. Emangnya nggak boleh? Lagian, katanya kamu sayang sama aku, kan?" godaku dengan nada tenang, berusaha terlihat santai.
Nina tertawa keras, suaranya meluncur bebas, membuat aku tersenyum kecil. "Bolehlah, Ndre. Emang siapa yang ngelarang. Aku cuma heran. Soalnya, tumben-tumbenan kamu bersikap kayak gitu."
Aku meliriknya dengan nakal. "Aku pikir nggak boleh. Udah diputusin kalau gitu, aku akan sering-sering menyuapi makan buat kamu."
Suara tawa Nina semakin keras, hingga membuatku merasa sedikit bangga. "Sumpah, aku senang banget, sih. Aku pikir kamu nggak bisa ngelakuin hal romantis kayak gitu."
Aku hanya tersenyum, menikmati reaksinya. Namun, dia malah semakin lamat menatapku, seolah ada yang aneh.
"Kamu kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Nina curiga.
"Nggak—nggak ada. Cuma mau senyum aja." Senyumanku semakin lebar.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Nina menggapai kedua pipiku, lalu mencubitnya dengan kekuatan yang tak terduga. "Ih, kamu kenapa senyum-senyum gitu? Bilang, nggak? Aku cubit lebih keras, nih. Hayo, ngaku."
"Aduh, aduh, aduh! Ini sakit, Nin. Aduh!" jeritku, berusaha melepaskan tangannya yang kini semakin erat.
Lelucon dan canda tawa ini seolah menciptakan kenangan baru yang belum pernah kami alami sebelumnya. Kami saling menggoda, membalas canda, dan menikmati kebersamaan ini—sebuah hubungan yang penuh tawa yang tak pernah ada di masa lalu kami.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, batuk yang sudah lama aku pendam kembali menyerang. Kerongkonganku terasa panas, seperti dua minggu lalu. Tanpa bisa kutahan, batukku semakin parah.
Melihatku batuk tanpa henti, Nina langsung khawatir. Keningnya berkerut, dan dia bertanya, "Andre? Kamu nggak apa-apa, kan? Kamu lagi sakit, ya?"
"Iya—uhuk—nggak apa-apa. Aku nggak sakit, kok," jawabku sambil membekap mulut rapat-rapat. "Aku ke—uhuk—toilet dulu sebentar."