KANAYA pulang sekolah dengan hati riang. Langkahnya terayun, membuat kepang rambutnya ikut bergoyang-goyang. Ia merentangkan tangan, mengayun-ngayunkannya seperti kupu-kupu sedang terbang. Pipinya kembali memerah saat mengenang peristiwa di sekolah tadi. Seniornya menyatakan cinta. Kanaya tidak yakin apa yang membuat cowok itu melirik gadis yang masih kelas sepuluh sepertinya karena kakak kelasnya itu bukan hanya ganteng, tetapi juga ketua OSIS yang sering menempati peringkat pertama di kelas. Kesibukannya di OSIS tidak menyurutkan juga hobinya bermain gitar dalam sebuah band yang sering muncul di acara musik di televisi.
Senyumannya belum punah ketika memasuki pagar rumahnya dan melepaskan sepatu. Ia melambat-lambatkan gerakannya, seolah dengan begitu kenangannya tidak cepat-cepat menghilang.
“Nay, kenapa kok senyum-senyum sendiri?” Suara ibunya membuat Kanaya tersentak, menyadarkannya bahwa ia sedang duduk di kursi kayu yang mulai lapuk dimakan rayap. Angannya yang tadi mengawang di angkasa, mendadak terbang dan jatuh ke bumi.
“Lagi buka tali sepatu, Bu,” sahut Kanaya tergeragap. Ibunya muncul tiba-tiba seperti ninja. Atau, jangan-jangan sebenarnya Ibu sudah sejak tadi berdiri di situ, tetapi ia tidak sadar.
“Buka tali sepatu kok selama itu. Ngelamunin apa, sih?” selidik ibunya sambil mengelus kepala bayi mungilnya yang telah menjelma jadi gadis remaja yang jelita. Ia selalu suka membelai rambut ikal Kanaya yang setiap hari selalu dikepang. Putri semata wayangnya itu baru saja duduk di kelas sepuluh SMA.
“Kakak kelasku, Bu.” Tanpa ragu, Kanaya menceritakan asal muasal wajah cerianya kepada Ibu.