KANAYA keluar dari ruangan yang sudah mengurungnya selama tiga jam. Wajahnya berminyak dan rambutnya kusut masai. Mukanya yang tadi pagi terlihat cemerlang, kini tampak kuyu, selayu langkahnya yang tak menunjukkan semangat. Para dosen yang menguji Kanaya sudah keluar ruangan terlebih dahulu.
“Nay, bagaimana sidangnya? Tugas karya akhir lo diterima, kan?” Suara sopran Cindy mengejutkan Kanaya yang terhuyung-huyung meninggalkan ruang sidang. Ia mencoba menggapai tiang untuk menyeimbangkan tubuhnya dan terdiam dengan muka ditekuk.
Cindy dengan cekatan menyangga tubuh sahabat yang sudah dikenalnya sejak SMA itu. Ia tahu ada yang tidak beres dengan Kanaya dan ia berharap tidak mendengar hal buruk.
“Gue disuruh mengulang sidang semester depan. Ternyata penguji gue bilang datanya ada yang salah dan teorinya kurang lengkap. Jadi, gue disuruh revisi.”
“Lah, bukannya itu hasil diskusi dan pemeriksaan sama pembimbing? Memangnya dosbing lo nggak belain lo?”
“Lo tahu sendiri, kan, gimana pembimbing gue? Malah tadi dia iya-iya aja sama apa yang dibilang dosen penguji gue. Mungkin salah gue juga beberapa kali nggak ikut bimbingan karena waktunya tabrakan sama perjalanan ke Lombok kemarin. Salah paham begitu deh jadinya.”
Cindy menggumamkan serentetan umpatan sebagai tanda simpati. Ia tahu Kanaya sangat mengharapkan sidangnya berjalan lancar. Kelulusan Kanaya adalah gerbang baru masa depannya dan sebagai ajang pembuktian kepada ibunya kalau dia sudah dewasa. Kanaya sudah tidak sabar melepaskan diri dari ibunya yang penuh aturan.
“Ya sudah, Nay. Nggak usah sedih. Lo belum gagal, kok. Masih ada kesempatan mengulang dan mempersiapkan diri, kan?”
“Iya, tapi gue nggak bisa wisuda sesuai target. Gue merasa bodoh dan malu sama Ibu.”
Cindy tertegun. Ia tahu persis alasan itu akan keluar dari mulut Kanaya. Kegagalan adalah sebuah aib yang tidak pernah ada dalam kamus hidupnya.
“Nay, percaya deh, lo pasti bisa. Ini hanya soal waktu, kok. Bukan akhir impian lo....”
Kanaya menghela napas panjang. Ia merogoh tasnya dalam-dalam, mencari ponsel untuk menghubungi seseorang. Ia tahu kekasihnya akan bisa menenangkan perasaannya yang galau. Ia menemukan ponselnya di antara kertas-kertas yang membuat tas ransel Louis Vuitton Monogram seri terbarunya berat seperti dijejali batu.
“Duh, banyak banget miskol dari nyokap gue,” keluh Kanaya.
“Telepon balik gih atau tinggalkan pesan. Nanti nyokap khawatir, lho.”
“Nanti saja ah, gue masih syok.”