SUDAH lebih dari lima kali Nina menghubungi nomor ponsel putrinya. Jangankan membalas pesan, dibaca pun tidak. Panggilan telepon juga tak diangkat. Kanaya memang punya kebiasaan buruk, menghubungi seperlunya saja. Namun, bukan itu yang membuat Nina gemas. Ia cemas karena ia ingin sekali tahu bagaimana hasil sidang Kanaya. Seharusnya hasilnya sudah keluar karena jadwal sidang Kanaya pagi tadi. Nina sangat menantikan hari kelulusan putrinya meski ia tidak pernah mendesak anaknya lulus dengan cepat. Melihat Kanaya tumbuh besar dengan sehat dan ceria saja sudah menjadi prestasi baginya. Perempuan paruh baya itu memandang keluar jendela. Kernyit dahinya ikut menarik garis yang memperjelas dekik pipinya.
Nina meletakkan ponsel dan menekuri kembali kertas-kertas yang bertebaran di meja kerja yang berdampingan dengan jendela teras. Gerak tangannya sangat hati-hati memegang tumpukan kertas. Ia mencoba mengelompokkan semua kertas itu. Sesekali ia mengisi beberapa lembar surat, mirip formulir tanya jawab. Kali lain, ia berusaha membaca dengan teliti seolah mengeja isi berkas yang sedang dipandangnya. Tak lama kemudian, ia kembali melirik ponsel yang diletakkan di samping tangan kanannya. Ia mulai dilanda resah lantaran tak bisa menghubungi Cindy dan Abi juga. Mereka berdua adalah sumber tepercaya untuk bertanya tentang Kanaya. Tampaknya ketiga anak muda itu sedang repot sekali, mengalahkan kesibukan Nina yang sebentar lagi harus terbang ke Eropa.
Pagi tadi, ia mendapat kabar yang membuat senyumnya mengembang. Ia harus segera menemui seorang lelaki sepuh yang sudah menanti untuk diwawancara: Soegeng Soejono. Dari ejaan namanya saja bisa ditebak, pada zaman kapan ia dilahirkan. Mata cokelat perempuan berkulit putih dadih ini berbinar. Perasaannya mengisyaratkan ada rahasia yang harus ia pecahkan tentang narasumber “mahal” dan “langka” ini. Sosok yang membuat gairah pemburu ceritanya memuncak. Demi lelaki tua itu, ia rela menunda segala kesibukan. Sekian banyak pertanyaan sudah berkecamuk di benaknya saat ia ditunjuk untuk menulis buku biografi dari seorang saksi sejarah Indonesia yang nyaris dibekap zaman.
Sebenarnya, rencana ini sudah lama dibicarakan dengan penerbit. Ia masih ingat ketika ditawari menulis kisah seorang eksil 1965 yang ingin mengabadikan perjalanan hidupnya ke dalam sebuah buku. Nina langsung menyambut dengan sukacita. Namun, dua tahun berlalu, rencana itu tidak terdengar ujung pangkalnya. Ia sendiri sudah lama menunggu kesempatan itu terlaksana, mengingat usia sang narasumber yang mulai beranjak senja.