Bab 1
Islam bukanlah akidah saja. Islam sebagaimana telah kita katakan, adalah proklamasi pembebasan manusia dari perbudakan manusia
Sayyid Quthub
***
Aku menentang segala macam terorisme, Aku bersumpah kepada Tuhan.
Mohammad Ali (Marcellus Clay. Jr.) Petinju Legendaris.
Angin malam laksana sembilu mengiris kulit. Sudut mata Jaman melirik bus antar kota yang dua jam lebih tadi ia tumpangi, kembali menderu memasuki lambung Terminal Leuwipanjang. Bau solar menyengat terasa. Sengaja Jaman turun di mulut terminal, agar ia tak terlalu jauh untuk keluar dari area tersebut.
Jakarta, seperempat abad lebih ia rasakan. Kini ia kembali menginjakan kaki di kota Bandung. Seketika kenangan bengis meranggas benak, rakus merasuki hati yang sejak peristiwa itu terjadi, nurani menjadi bara yang menghitamkan batang kayu. Lebih dari itu, sekaligus ia adalah kayu itu sendiri, legam dan rapuh.
Memijakan kaki di tanah kelahiran yang sekian lama ia tinggalkan, selalu saja terasa duri penuh tertanam di telapak. Sebenarnya berkali ia menajiskan Bandung untuk ia jenguk, bahkan hanya sekedar melirik saja senyatanya enggan. Kadung sudah, persahabatan satu darah telah berlumur. Maka najis bisa ia hapuskan dengan mencuci tujuh kali oleh bilasan tanah, debu atau air suci. Bahak Barli serasa islami saat menelepon tiga hari lalu.
Darma pastinya akan datang. Jaman masih ingat bagaimana mereka pernah membeli novel berkertas buram berisi adegan birahi purba dan hendak dibungkus dengan buku berisikan surat Yasin.
Namun, ketika nestapa semakin merajalela, menerjang mereka tanpa ampun, membuat mereka terhenyak. Kegetiran yang gegap-gempita. Apalagi ketika Barli memaksa Jaman dan Darma untuk menjadi saksi dari sebuah kasus pembunuhan. Saksi palsu buat seseorang yang kelak menjadi tersangka. Tersangka yang tiada lain Barli itu sendiri!
Barli sahabat 'Satu darah' mereka.
Kemudian, peristiwa- peristiwa pahit terus bergulir, yang akhirnya mesti memisahkan mereka. Jaman nyata-nyata muak dengan kehidupannya yang telah berkeping. Dunia baginya sudah menjadi pekat. Darma sendiri terpuruk sebab tragedi cintanya, sehingga memutuskan pergi.
Seorang sopir taksi menyapa serta menawarkan jasa tumpangan. Jaman hanya menggeleng lemah. Beberapa Angkutan Kota yang "Ngalong", di dalamnya telah penuh sesak.
"Kopo... Soreang!"
"Cimahi... Cimahi...!"
"Cibiru... Cileunyi...!
Teriakan para calo angkot "Ngalong" membelah malam.
"Cicadas, Cicaheum, Batu Terang, Kang. Satu lagi kita berangkat," tawar seorang calo padanya. Jaman kembali menggeleng. Ia tersenyum kecut melihat sopir angkot dengan tenang masih menghisap rokok, sementara seluruh penumpang berharap agar kendaraan segera bergerak. Mereka berharap bisa sampai tujuan dengan sedikit lebih cepat.
Jaman paham betul dengan tradisi angkot "ngalong". Budaya ini sudah terjadi puluhan tahun. "Ngalong" dalam "peradaban" Sunda diambil dari kata "Kalong" yang artinya Kelelawar. Maka Ngalong adalah sesuatu yang mensifati pekerjaan kelelawar itu sendiri. Mencari nafkah pada malam hari.
“Ngalong” terjadi sebab bus kota Damri hanya dapat mengangkut penumpang kurang-lebih hingga jam delapan malam. Sementara kedatangan Bus antar kota masuk ke terminal Leuwipanjang, kurang lebih dua puluh empat jam memuntahkan penumpang. Maka kekosongan waktu dari malam hingga pagi, dimanfaatkan para sopir angkot serta calo-calo untuk mengais rezeki. Keberadaan mereka semua buat para penumpang, sebenarnya cukup menolong. Selain alternatif kendaraan malam hari, juga ongkosnya terbilang relatif murah jika dibandingkan dengan kendaraan umum lainnya.
Jaman meringis sendiri, mengingat banyak sopir angkot di Jakarta malah sudah mengalihkan pekerjaan mereka. Beberapa diantaranya, mereka lebih memilih menjadi pengemudi kendaraan online roda dua. Tidak sedikit pula, mereka yang berasal dari keluarga juragan angkot, menjual kendaraan mereka tersebut, untuk kemudian dibelikan mobil tertentu hingga akhirnya menjadi sopir mobil online
Langkah Jaman mulai jauh meninggalkan terminal. Rupanya ia lebih memilih tetap berjalan kaki, menyisir tiap meter aspal yang dipijaknya. Tas ransel di punggung tidak begitu berat, sehingga ia bisa menikmati lekukan jalan serta menghirup uap dari penjual masakan yang berjejer di sepanjang trotoar.
Lebih dari 500 meter selepas Terminal Leuwipanjang, Jaman masih tetap memilih berjalan kaki untuk menuju puncak kerinduan. Tempat dimana ketiga manusia “Satu darah” mengalami banyak peristiwa. Suatu kawasan yang letaknya berada disekitaran jalan Ahmad Yani, bernama Cicadas atau “Batu Terang”. Wilayah padat penduduk, penuh dengan puluhan jalan dan ratusan gang.
Barli yang anti Tuhan pernah berujar, disaat mulutnya berbau minuman haram dan telah merasuki aliran darah serta gelenjar pori-porinya;
"Jika neraka itu ada, maka kubangannya meleleh disini!"
Perjumpaan mereka kelak, seperti halnya perpisahan kala itu, menangkupkan sejumlah tawa berlapis luka.
'Persenyawaan darah sakral' mereka sementara harus tertunda.