Bab 2
Kebaikan dalam perkataan menciptakan keyakinan.
Kebaikan dalam pikiran membuahkan kedalaman
Kebaikan dalam memberi menciptakan kasih sayang
Lao Tzu (Filsuf China )
Sementara, Jaman dan Darma mulai mencipratkan air dingin pada wajah Barli. Lelaki dengan gambar tato senapan mesin di dada itu masih belum juga siuman. Jaman menyeringai. Ia menyulut rokok. Menatap awan yang dibuatnya sendiri. Berarak seakan hujan sesaat lagi akan turun. Tepat, suara guyuran segayung air deras menimpa wajah Barli. Darma terkekeh saat melihat Barli mengusap-usap wajah panik dan mengerjap-ngerjapkan mata. Tubuhnya menggeliat kuat seperti cacing ditaburi garam.
"Anjing, dimana ini? Alam kubur?!" Barli menepiskan air yang membasahi wajah juga tangannya. Kekehan Darma makin keras. Jaman hanya tergelak saja. Barli mendesis.
"Apa kau pikir Malaikat Munkar-Nakir setampan kita saat menghadapimu?" ejek Jaman. Barli bangkit terduduk. Menatap Jaman dan Darma bergantian.
"Lagi pula, apa kau mau segera mati?" ujar Darma dengan senyum getir.
"Kau mati akan dikenal sebagai pemabuk!" tukas Jaman dengan senyum pahit. Darma sendiri tersenyum kecut. Barli mendengus.
"Kupikir lebih baik dikenang sebagai seorang pemabuk. Daripada mati dinilai sebagai seorang munafik !" ujar Barli dengan seringai dingin. Darma dan Jaman bersitatap. Jaman mendesis.
"Kau tidak berterima kasih karena sudah ditolong oleh sahabatku ini?" sindir Jaman. Barli menatap. Jaman membalas tatapannya. Kedua mata Barli masih merah. Kulit wajahnya putih agak kuyup dan lebam dibeberapa bagian.
"Aku tidak meminta dia untuk menolongku." geram Barli. Jaman menahan diri untuk tidak menendang kepala pemabuk itu.
"Anjing, kau! Setidaknya, kau sudah ditolong dan tidak mati. Maka kau masih bisa melanjutkan mabuk-mabukanmu!" umpat Jaman. Barli terbahak.
"Aku tidak takut mati. Apalagi alam kubur yang hanya isapan jempol belaka!" rutuk Barli.
" Tetapi, kau benar. Hidup dimana pun tidak akan enak tanpa mabuk-mabukan." tambahnya seraya melirik Jaman yang menatapnya dengan pandangan aneh.
"Namun, ditolong seorang sahabat dan mengucapkan terima kasih, sepertinya tidak juga," tambah Barli.
"Maksudmu?" sengit Jaman. Darma sendiri masih saja santai menghisap rokok.
"Perkataan 'terima kasih' menandakan kesungkanan. Sahabat dengan sahabat tak ada sungkan." ujar Barli seraya mengambil sebatang rokok dari bungkus yang tergeletak begitu saja di lantai.
Mereka berada dipetak kontrakan Darma yang hanya memiliki satu ruangan saja. Barli menyalakan rokok dengan nikmat.
"Seorang sahabat, sudah seharusnya menolong sahabatnya. Tanpa diminta dan apalagi diminta." Barli menghembuskan rokok dengan nikmat.
"Kata 'Terima kasih' menurutku bukan sebuah keharusan. Kewajiban utama adalah saling tolong menolong." ujarnya sambil menatap Darma yang masih dengan tenang menyandarkan punggung pada dinding. Jaman menelan ludah. Ia mengambil sebatang rokok kemudian resah menyulutnya.
"Ada makanan disini? Perutku perih sekali!" Barli menyapukan pandang. Tak ada alat memasak. Bahkan sebuah piring sekalipun. Hanya beberapa kemeja tergantung di dinding. Poster Bruce Lee dan Muhammad Ali, terpasang juga disana.
"Tak ada makanan dan minuman apapun disini." ujar Darma sengak. Barli terbahak. Ia merogoh saku celana. Mengeluarkan beberapa lembar uang.
"Tubuhku masih remuk. Siapa saja bisa membeli apapun buat makan kita." ujarnya seraya meringis. Rupanya rasa sakit disekujur tubuhnya mulai terasa merajam. Jaman meraup lembaran uang itu. Ia beranjak keluar. Perutnya sendiri belum diisi sejak pagi. Hanya segelas kopi hitam dan berbatang-batang rokok sekedar untuk melupakan rasa laparnya. Sudah seminggu ia keluar dari rumah.
Warung Nasi Bu Jamilah menjadi pilihan Jaman untuk membungkus nasi dan lauk pauknya. Tiga kantong plastik berisi air teh pahit dengan suhu hangat bisa didapatkan juga. Sejak Bu Jamilah mengemas makanan, Jaman berkali-kali menelan ludah. Ia juga membeli sebungkus rokok yang disediakan pemilik warung buat mereka yang sehabis makan tak lengkap tanpa hisapan penutup.
Kembali ke kamar kontrakan Darma, rupanya Barli sudah membersihkan diri. Ia mengenakan pakaian milik Darma. Terlihat lebih bersih. Jaman begitu saja menyimpan bungkusan besar plastik hitam di atas lantai. Sebelum ia duduk, Barli sudah mengambil sebungkus nasi dengan tergesa. Meminum teh hangat dengan hanya melubangi ujung plastiknya saja. Ia bagai singa kelaparan sekaligus kehausan. Sama sekali tak mempedulikan sekitar.
"Kalian tahu, sejak kemarin aku belum makan. Tapi laba dari menjual motorku cukup besar. Maka sebentar lagi akan kubeli arak juga," Barli berkata sambil mengunyah ayam gorengnya.
"Simpan sebotol disini." Darma mengambil bungkus nasi. Barli mengangguk-angguk seraya meminum lagi air teh. Jaman mengumpat. Ia tidak minum arak atau jenis tuak apapun. Secara pribadi ia juga tak masalah dengan semua orang yang meminum cairan beralkohol tersebut selama mereka tidak mengganggu yang lain. Hanya saja, Jaman tidak cukup tahan dengan bau dari mulut seorang pemabuk. Perut Jaman sering mau memuntahkan isinya jika mencium uap mulut mereka. Namun, kebersamaan selama dengan Darma, sedikit demi sedikit membuat ia menjadi agak tahan jika mencium aroma minuman haram tersebut.
Barli bersendawa. Ia terkekeh sendiri. Beranjak, bangkit melangkah, kemudian berdiri di muka pintu yang terbuka.
"Nanti malam sebotol arak kukirim kesini." ujar Barli. Jaman tersenyum pahit.
"Jika dia masih disini." ujarnya.
Barli mengerenyitkan kening.
"Dua bulan dia belum bayar kamar kontrakan." Jaman menjelaskan sambil menghisap air teh dalam plastik hingga menyisakan sedikit. Darma bangkit. Ia mengambil handuk dan membuka baju. Tato dua ekor harimau hitam dengan sepasang mata merah dan kuku-kuku meruncing, tampak di belakang punggungnya.
"Jika kalian mau, ada rumah kontrakan kosong milik Bu Aning. Katanya beliau menyediakan satu kontrakan secara cuma-cuma." Barli berkata dengan sepasang mata menatap Darma dan Jaman bergantian. Jaman melihat kedua mata Darma berbinar.
"Kenapa cuma-cuma?" bertanya Darma tanpa bisa menyembunyikan rasa penasaran.
"Ada delapan rumah kontrakan Bu Aning. Masing-masing bertingkat dan semua tanpa penghuni." berkata lagi Barli.
"Bajingan, bertele-tele ucapanmu!" umpat Jaman. Barli terbahak. Jika keadaan pertemanan semakin dekat, maka ucapan kasar bagi mereka hanyalah tanda keakraban belaka. Lain lagi masalahnya jika perkataan kasar terlontar dari teman yang tidak karib atau orang yang tidak dikenal, maka itu adalah "jalan perang."
"Satu rumah bagian paling ujung, sebelumnya dipakai seorang mahasiswa kaya-raya yang bunuh diri karena patah hati!" kekeh Barli.
"Rumah itu yang cuma-cumanya?" tebak Darma. Barli mengacungkan ibu jari.
"Biar disana jadi ramai lagi karena tidak terkesan angker?" Jaman menambahi. Barli mengacungkan lagi satu ibu jari ke arah Jaman.
"Mahasiswa itu meregang nyawa kira-kira tiga bulan lalu. Seketika kontrakan yang sebelumnya penuh jadi sepi. Para penghuni lain pindah ke tempat yang berbeda." jelas Barli. Darma mengangguk.
"Bilang ke Bu Aning, aku tinggali tempat itu." ujarnya. Jaman terbelalak.