Kekasih Tanpa Wajah

rhee
Chapter #3

Chapter#3 Tante Rosma dan 'gara-gara' Bismillah.

Bab 3

 

Manusia biasanya lebih yakin dengan alasan yang mereka temukan sendiri daripada yang ditemukan orang lain.

(Blaise Pascal -Matematikawan-Filsuf asal Prancis -1623-1662-)

 Sesaat Jaman menghentikan kisahnya. Ia menelan ludah.

Melihatnya, Darma kembali menyulut rokok.

"Baik, simpan dulu ceritamu," Darma bangkit. Ia tahu dibagian mana yang membuat Jaman terlihat enggan untuk melanjutkan kisahnya. Sekeping tentang cerita Jaman, tanpa ia minta telah ia dengar dari beberapa kawannya yang mengetahui jika Jaman sering bersama Darma.

"Aku harus mandi. Selain tubuhku terasa lengket, setidaknya air bisa mendinginkan dada dan kepalaku." ujarnya sambil keluar menuju kamar mandi. Gambar tato di punggung Darma jelas menampakan dua macan hitam dengan kuku-kuku yang siap menerkam. 

"Kupikir kau akan lama di kamar mandi?" ujar Jaman. Darma terkekeh. Tentu saja ia akan jongkok dulu disana seraya menikmati hisapan rokok sebelum akhirnya menyiram seluruh tubuh dengan air dingin dari hasil menimba di sumur. Jaman terlentang. Menatap langit-langit yang menyisakan asap lembut dari rokok milik Darma. Jaman memejamkan kedua mata bagai terlelap hingga kemudian ia mengerang, saat ketukan di pintu terdengar.

"Kenapa kau ketuk-ketuk pintu itu, anjing!" suaranya serak. Tak memperdulikan gedoran pintu yang malah semakin keras. Ia mengumpat. Bangkit perlahan. Rasa kantuk dan malas membuat langkahnya terhuyung. Ia membuka pintu dan mendapati seorang ibu menatapnya galak. Ibu dengan wajah keriput, serta tubuh yang kurus kering telah berdiri dimuka pintu yang terbuka. Di luar gelap mulai merana. Jaman mengerenyitkan kening. Sejak kapan hari menjadi malam? Batinnya bertanya.

"Darma mana?!" pertanyaan ibu itu sengak. Dia Hajah Teti pemilik rumah petak kontrakan.

"Tadi di kamar mandi," jawab Jaman seraya memalingkan kepala ke arah kamar mandi. Bu Hajah Teti latah mengkuti arah pandang anak muda tersebut. Pintu kamar mandi tampak terbuka, menunjukan di dalam tak ada siapa-siapa. Apalagi tiga kamar kontrakan lain, semua pintunya tertutup. Para penghuninya pekerja pabrik. Mereka mungkin berkerja bagian malam, hingga kamar-kamar mereka kosong.

 Tak lama terlihat Darma datang menenteng kantong plastik bening berisi dua gelas kopi. Tampak masih panas kopi yang masih mengeluarkan uap di dalamnya. Darma mematung, berdiri tidak jauh dari Hajah Teti. Perempuan tua berusia 58 tahun itu menoleh, dan menatap bengis.

"Malam ini, kemasi seluruh barangmu. Dua bulan tunggakan kontrakan menjadi utang yang harus kau lunasi seminggu kedepan!" suara Hajah Teti nyalang dan tak lepas memandang sengit wajah Darma. Lelaki itu hanya mengangguk saja. Perempuan tua itu melangkahkan kaki dengan hentakan keras berlalu dari sana.

"Jika kau tidak melunasi utang dengan waktu yang ditentukan, aku akan mengirim preman buat mencari dan menghajarmu!" tambahnya sebelum hilang dari pandangan. Air muka Darma tak bereaksi apapun. Jaman duduk di ambang pintu setelah Darma melewatinya.

"Barli tadi kemari saat kau tertidur. Dua jam lagi kita akan menunggunya di kios rokok Mang Ojon." ujar Darma mengeluarkan dua gelas kopi panas dalam plastik. Jaman diam saja, merenung ternyata dia tadi telah tertidur cukup lama. Darma mencercap kopi panas kemudian menghisap rokok.

"Kopi dingin tidak elok buat diminum," ujarnya. Jaman memgambil gelas kopi dan menyeruput pelan. Sebatang rokok ia sulut juga. Asap tebal menghempas udara. Ruangan seketika mengabut.

"Pemilik kontrakan gembira saat Barli dan kita akan mengisi rumah angker itu," Darma mulai membereskan pakaian miliknya yang hanya beberapa helai dan memasukannya ke dalam tas. Mencabut poster Bruce Lee dan Muhammad Ali di dinding, menggulungnya kemudian menyelipkannya di kantong tas bagian samping.

"Sejak peristiwa bunuh diri mahasiswa, delapan kontrakan tak ada lagi yang mau mengisi, aneh juga." Darma menyeringai, memakai jaket hitam parasit. Jaket kulit kepunyaan Jaman dilemparkannya hingga jatuh tepat dipangkuan pemiliknya. Bagai tak mendengar, Jaman menghisap rokok dalam, mendorongnya dengan sedikit tegukan kopi.

"Sebaiknya kita pergi ke kios rokok Mang Ojon sehabis kopi ini." ujar Darma seraya meremas bungkus rokok yang telah kosong. Jaman beranjak kemudian mengenakan jaket kulitnya.

"Pegadaian Bu Rosma masih buka?" Jaman bertanya sambil merogoh tiap saku yang ada di jaket kulit. Seakan dia menyimpan sesuatu yang berharga disana. Darma melihat jam tangannya.

"Taksiran, diterima berapa jaket kulitmu di pegadaian itu?" tebakan Darma disahut Jaman dengan bahak tertawa.

“Bu Rosma menaksir barang seenaknya. Kadang lebih baik, seringnya malah buruk.” kekeh Jaman.

"Bukan Ibu Rosma, tapi Tante Rosma,” Darma megingatkan sambil meringis. Jaman menyeringai. Perempuan pemilik rumah gadai tersebut memang begitu cantik, tapi terkesan liar. Dia menolak dipanggil dengan sebutan ‘Ibu’. Melainkan harus ‘Tante’.

“Kupikir jaket kulit ini akan ia taksir dengan harga yang cukup buat kita bisa makan lima hari." dengusnya. Darma melepas jam tangan anti airnya.

"Sekalian saja dengan ini," ujarnya seraya menyodorkan arloji kepada Jaman. Mereka sepakat meninggalkan kontrakan saat itu juga. Darma menggendong tasnya sendiri. Setelah mengunci pintu kamar kontrakan, mereka membiarkan anak kuncinya tergantung begitu saja. Mereka berjalan berdampingan.

Rumah pegadaian Tente Rosma jaraknya satu kilo setengah dari tempat mereka. Itu tak mengapa, setidaknya jika mereka menempati kontrakan baru, tidak akan kesulitan karena bekal lima hari kedepan sudah cukup. Tante Rosma menerima gadaian barang apa saja yang menurutnya bisa berharga untuk dijual kembali jika orang yang menggadaikan barang tidak menebusnya pada kurun waktu yang sudah ditentukan. Namun, jika barang gadaian diambil kembali oleh pemiliknya, maka bunga lima persen perbulan harus ditambahi sebagai bentuk jasa.

Sekitar lima ratus lima puluh meter lagi mereka tiba pegadaian, namun napas Jaman sudah terengah. Dia menyandarkan punggung pada sebuah pohon besar. Di belakang mereka, Darma melihat Masjid megah berdiri. Ia meringis.

"Aku semakin percaya dan yakin jika Tuhan itu Maha Besar." ujarnya.

"Sejak dulu bukankah seperti itu?" balas Jaman. Darma mengangguk.

"Lihat saja rumah Tuhan dibelakangmu, besar serta megah dan orang-orang mendirikan dengan maksud agar Tuhan senang serta memberikan mereka pahala yang juga besar." ujar Darma datar. Jaman menelan ludah.

"Kau cemburu sosial kepada Tuhan karena Dia diperhatikan dengan baik oleh makhluknya? Sementara kau mengontrak dua bulan saja tak mampu bayar." ejek Jaman sambil menatap masjid. Pilar-pilarnya kokoh dan besar serta ukirannya terkesan mewah. Pintu, jendela penuh dengan kaligrafi arab. Lantai terasnya keramik pilihan. Kubah dan menara masjid berwarna kuning menyala bagai sepuhan emas. Keseluruhan bangunan sempurna sebagaimana yang biasa mereka sebut rumah Tuhan.

"Mana mungkin aku cemburu pada Tuhan. Dia layak diagungkan, dibesarkan namanya dengan segenap jiwa." sahut Darma tersenyum kecut. Jaman mendengus. Tentu saja dia tahu betul diluaran sana, banyak orang yang tidak memiliki rumah. Tidur dipinggiran rel kereta api, di kolong jembatan, kelaparan, terjerat banyak utang, anak-anak yang terancam putus sekolah dan sebagainya. Bukankah semua itu lebih penting buat diperhatikan dan ditolong? Jaman melenguh. Ia kembali menghisap rokok. Duduk begitu saja di atas tanah. Tatapannya kosong kedepan.

Dua orang anak kecil dengan pakaian dekil, melewati Jaman dan Darma. Mereka pengamen jalanan terlihat dari 'kecrekan' bekas tutup botol alumuniumnya. Kedua anak berusia delapan tahun memasuki halaman masjid. Terlihat mereka mematung di depan teras. Sesaat kemudian mereka kembali, mendatangi Darma.

"Apa kami bisa masuk kesana?" seorang anak dengan rambut cepak bertanya. Darma mengerenyitkan kening. Mengangguk.

"Tapi?" anak satu lagi dengan sandal jepit tipis dan berlainan warna menunjuk ke teras masjid.

"Ada apa disana?" ujar Darma menautkan alisnya. seorang anak menarik tangan Darma seraya diikuti temannya, mereka berjalan memasuki halaman masjid. Di depan teras Darma menyapukan pandang. Tak ada apapun yang aneh disana. Ia hanya menemui teras masjid yang bersih mengkilap dan dibalik kaca pintu serta jendela, terlihat lampu menyala temaram namun tetap bisa manampilkan ruangan dalam masjid yang luas dan serba putih dengan beberapa bagian dinding dihiasi kaligrafi.

"Kenapa dengan semuanya?" Darma bertanya. Seorang anak yang sandal jepit berlainan warna menunjuk sebuah papan kecil di teras. Papan itu sengaja disimpan disana, dengan kayu kecil sebagai sandarannya. Papan bercat putih bertuliskan cat hitam tersebut, membuat Darma menelan ludah. "Jagalah kebersihan. Batas Suci"

"Kalian mau apa kesini?" bertanya Darma.

"Mandi membersihkan badan." jawab si anak cepak. Kawannya mengangguk. Untuk memasuki kamar mandi beserta tempat wudhu, mereka harus menginjak dan melewati teras.

"Jika kalian saja yang kotor bagian luar merasa tak mungkin bisa melewati 'Batas Suci' apalagi aku yang penuh noda," desah Darma. Dua anak menatap bingung. Sebelum mereka berkata, Darma merogoh saku celananya dan memberikan recehan pada mereka.

"Kalian cari saja toilet umum dan bayar buat mandi kalian." ujar Darma sambil berlalu dari tempat itu. Di belakang, dua anak kecil mengekor dengan wajah bingung namun raut muka mereka seketika berubah begitu senang ketika menghitung recehannya. Mereka pamit pergi dan semakin menjauh. Darma menghela napas. Ia menepuk pundak Jaman, membuat sahabatnya tergagap.

"Lamunanmu telah sampai dimana?" ejek Darma.

“Sampai kepada kekalahanku oleh lelaki itu,” ujar Jaman. Darma mengerenyitkan alis.

“Ceritakan nanti saat semua sudah tenang.” pintanya.

“ Lupakan sesaat derita. Kita harus berpikir mencari kerja, agar bisa makan.” lanjut Darma tiba-tiba. Jaman sekonyong-konyong menatap wajah sahabatnya. Ia terkekeh.

“Sejak kapan pekerjaan menjadi acuan orang mendapatkan makan? Mulai kapan Tuhan memberikan rezekiNya hanya kepada mereka yang bekerja saja? Kau menodai Tuhan.” ujar Jaman sambil menatap Darma dimana wajahnya tampak agak memerah. Namun kemudian Darma berbalik tertawa. Jaman kini yang mengerenyitkan kening.

“Kenapa?” tanyanya.

“Kalimat yang kau ucapkan tadi terasa janggal di telinga.” ujar Darma.

“Tidak cocok keluar dari mulutmu…” tambahnya terkekeh.

Lihat selengkapnya