Kekasih Tanpa Wajah

rhee
Chapter #4

Chapter#4 Penyerangan

 

Bab 4

 

Mengedukasi pikiran tanpa mengedukasi hati sama dengan tak mengedukasi apa-apa.

Aristoteles. (Filsuf Yunani Kuno)


Jaman yang pengangguran setelah dua minggu dikeluarkan secara resmi dari pekerjaannya di sebuah kantor biro iklan, karena dua minggu mangkir kerja, tahu betul bagaimana membuat promosi yang baik. Ditemani Barli dan Darma, mereka mendatangi sebuah rental komputer dan membuat selebaran pada selembar kertas dengan kalimat yang singkat, jelas dan menarik. Iklan yang menawarkan rumah kontrakan nyaman dan murah. Tentu saja, harga sewa dipotong lima puluh persen dari yang seharusnya dibayarkan. Mereka menuliskan alamat rumah Bu Aning sebagai pemilik dan letak rumah kontrakan agar orang bisa melihat-lihat tempat tersebut.

"Di selebaran nanti, cantumkan alamat ibu dan letak rumah kontrakannya." kata Bu Aning saat pertama kali Barli menerima kunci rumah serta bagaimana syarat tinggal disana.

"Biar orang bisa melihat langsung rumah yang akan mereka sewa, sebelum akhirnya berminat dan datang ke rumah ibu." kata Bu Aning lagi. Barli mengiyakan saja.

Setelah selesai membuat brosur dan memperbanyaknya, akhirnya mereka berhasil menempelkan selebaran 'iklan' tersebut diberbagai tempat.

Jaman masih harus menempelkan satu brosur tersisa dibatang tiang listrik. Darma yang sama pengangguran, selesai menempelkan brosurnya di badan halte bus, kemudian berjalan menuju taman. Barli sendiri yang katanya mengaku sebagai seorang pemodal dari bisnis kedai arak, dan saat itu malah merasa menjadi "kuli", telah terlebih dahulu terkapar di hamparan taman tidak jauh dari Gedung Sate setelah membuang kaleng sisa lem kedalam tong sampah.

Jaman selesai dengan tugasnya dan menghampiri mereka.

"Gila, sampai sejauh ini kita melakukannya," keluh Darma sambil kedua matanya menatap benderang langit. Ia membaringkan badan dan tidak peduli dengan rumput yang agak basah meresap dipunggungnya. Jaman melakukan hal yang sama, rebah tak jauh dengan dirinya. Cuma Jaman menatap dedaunan dari rimbunnya pohon yang tumbuh puluhan tahun lalu. Barli sendiri duduk memeluk lutut, tatapannya jauh kedepan, menembus pagar kawat berduri, menangkap dari celahnya, arus lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki.

"Selesai ini, aku akan minum tiga botol arak." paraunya.

Jaman berpaling kearahnya. Ujarnya;

"Kurasa dua botol teh dingin bisa meredakan hausku."

"Aku ikut minum bir saja," berkata Darma tanpa mengubah pandangan. Jaman bangkit. Ia duduk menatap seorang wanita cantik yang lewat didepan mereka.

"Kenapa kau tidak suka minum arak?" Barli bertanya seraya memalingkan pandang ke arah Jaman. Jaman terdiam.

"Tanpa minum arak pun, kehidupanku sudah memabukan." Jawabnya kemudian. Terbahak Barli. Sementara Darma tahu betul, Jaman sudah diperingatkan oleh ibunya, jika sekali saja ia meminum jenis cairan beralkohol, maka pengakuannya sebagai anak, akan dihapus. Jaman tak mau menjadi anak durhaka.

"Ibunya akan mengutuk dia jadi kera kalau dia mencicipi setetes saja cairan haram itu," ujar Darma sambil bangkit dan duduk. Barli makin terbahak.

"Bukankah ibumu takan tahu jika kau minum dengan cara sembunyi?" bantah Barli menatap Jaman. Jaman mencibir.

"Kalian tahu, jika hidup kita ini dimata-matai oleh dua Malaikat?" desahnya.

"Malaikat Raqib serta Atid namanya. Dan, mereka akan melaporkan apa yang kulakukan pada ibuku." ujar Jaman serius. Barli dan Darma terdiam sejenak, kemudian tergelak.

"Kurasa usia kita sama, dua puluh satu tahunan, apa dengan usia itu kau tidak merasa menjadi anak kecil jika harus dihantui kata-kata ibumu?" Barli kembali berkata.

"Tak ada sesuatu yang bernilai yang bisa kuberikan kepada ibu. Lagi pula, permintaan ibuku tidak muluk." desah Jaman.

"Sebagai rasa hormat kepada ibu, aku hanya bisa melakukan itu saja!" serak suara Jaman. Kini Barli merasa susah menelan ludahnya.

"Dan kau, apa pesan ibumu padamu?" susah payah Barli bertanya hal itu sambil menatap Darma. Sesaat Darma merasakan lidahnya kelu.

"Ibuku berpesan agar aku bisa memuliakan seluruh perempuan," parau suara Darma. Barli merasa dadanya digada oleh sebuah martil yang tidak terlihat. Sesak, nyaris membuat ia tak kuasa lagi meski sedikit menelan ludahnya padahal tenggorokannya mulai terasa semakin kering. Dan parahnya, seluruh aliran darah dalam tubuh Barli seakan berhenti saat Jaman bertanya;

"Lalu bagaimana denganmu?" Jaman seketika tampak menyesal, saat melihat airmuka Barli berubah muram. Darma bisa melihat juga hal tersebut.

"Ibuku meninggal ketika beliau melahirkanku," desisnya. Jaman mendesah. Ia bangkit perlahan seraya menepuk bahu Barli dengan lembut. Sementara Darma masih terdiam. Hening memagut diantara mereka. Darma beringsut duduk, ia menyulut rokok resah. Kerongkongannya kering dan semakin kerontang saat asap rokok menyergapnya.

Bibir Barli bergetar. Kulit wajahnya yang putih dan masih menyisakan lebam serta goresan luka, tampak lebih memucat.

"Ayahku lelaki yang sangat sibuk. Setra, kakakku, mungkin aku terlalu berlebihan jika berharap dia bisa membimbingku." berat suara Barli.

"Ia bahkan tak ubah bagai binatang!" suara Barli menyerak. Dadanya tampak mulai terengah. Darma melihat murka diraut muka Barli. Ia gegas berdiri.

"Kurasa, kita harus segera mandi," ujarnya dengan terbatuk-batuk kering.

"Badanku terasa lengket, keringat ini bagai merekat tubuhku." lanjutnya. Jaman mengangguk setuju.

"Semoga brosur yang telah kita pasang dan tempel diseluruh dinding, tiang listrik, serta pepohonan sekota Bandung ini, bisa membawa orang-orang menjadi penghuni rumah kontrakan." doanya. Darma terkekeh.

"Rasa haus membuatmu jadi gila. Bagaimana mungkin kontrakan Bu Aning bisa menampung orang Bandung semuanya?" ucapnya. Jaman mengumpat. Lalu mengambil bungkus rokok dari genggaman tangan Darma. Sebatang disulutnya, diberikan kepada Barli. Lelaki itu menerima dan langsung menghisapnya. Perlahan racun dalam rokok membunuh resahnya, menawar gelisah yang menyelimuti pori-pori hatinya.

"Kita ke kedai arak buat mengambil minuman," kata Barli setelah menghembuskan asap rokoknya keras. Darma berseru nyaring.

Mereka berjalan menyusuri trotoar. Kala itu lalu-lintas cukup lenggang. Mengambil jalan Cihapit yang masih penuh dengan penjual barang-barang bekas. Memasuki jalan Supratman, Barli membeli tiga botol air minum kemasan di kios rokok. Masing-masing menegak air bening hingga tandas setengahnya. Keringat mereka mulai membanjir saat tiba di jalan Cikaso. Mereka masih harus berjalan sampai Jaman merasakan kedua kakinya pegal bukan main. Hingga langkah Barli berhenti di depan sebuah kedai jamu.

Darma terhenyak. Ia tahu tempat itu, namun tidak pernah sekali pun membeli minuman keras disana. Ia hanya pernah meneguk segelas minuman yang diberi oleh temannya 'sepemabukan', Samsir. Kata Samsir, ia membelinya di kedai borjuis, dimana sekarang Darma berada di luarnya. Sebotol minuman keras kelasnya para bangsawan. Begitu Samsir dan kawan-kawan menjuluki minuman mahal itu. Selain wangi, juga rasa melayang bisa diciptakan hanya dengan meneguk seperempat gelas saja.

Kedai yang bangunannya cukup besar itu masih tutup. Diam-diam Darma merasa khawatir kalau minum araknya gagal. Namun urung ketika Barli mengetuk pintu kedai.

Seseorang membukakan pintu. Arju, Laki-laki berusia 30 tahuanan dengan wajah masih menahan kantuk dan rambut kusut masai, menatap Barli kemudian menolehkan kepala kearah Jaman dan Darma.

"Mereka temanku." ujar Barli. Arju mengangguk-angguk ketika Barli menyebutkan beberapa merek air api. Lelaki yang masih menyimpan kantuk itu kembali masuk kedalam. Darma tersenyum senang. Ia hapal betul dengan merek minuman kelas rendahan sampai kelas ningrat. Beberapa minuman yang disebutkan Barli termasuk minuman dengan kasta "Darah Biru".

Tak berapa lama, Arju yang masih ingin segera melanjutkan nyenyaknya, muncul di muka pintu seraya memberikan dua kantong plastik hitam kepada Barli. Terdengar suara botol beradu pelan di dalamnya. Darma meleletkan lidah. Setelah mereka berpamitan kepada Arju, Barli berujar kepada Darma dan Jaman;

"Kujual satu motor, uangnya dijadikan tambahan modal kedai itu," kekehnya. Darma menyeringai. Ia menjinjing satu plastik berisi tiga botol minuman. Barli menenteng plastik lainnya.

"Mereka membagi keuntungan usaha, sebulan sekali. Dan aku selalu mendapat lebih kecil." ucap Barli lagi.

Lihat selengkapnya