BAB 5
Sebuah hari tanpa tawa adalah hari yang sa-sia.
Charlie Chaplin (Komedian asal Inggris)
Barli yang pertama siuman, mungkin saja karena dorongan jiwanya berontak atas kesewenangan yang telah menimpa mereka. Ia kemudian meminta Wiya untuk mendatangi pamannya yang berprofesi sebagai Dokter. Wiya menuruti.
Kedatangan Dokter Arif, membuat Barli lega. Dokter Arif menggelengkan kepala saat Barli menceritakan semua. Sepertinya, lelaki berusia 45 tahun dengan kacamata minus 3 menghiasi wajah teduhnya itu telah hapal bagaimana kehidupan keponakannya tersebut. Saat itu Darma dan Jaman juga telah siuman. Dengan segala alat medis, berikut kemampuan dan ketelitiannya, Dokter Arif telaten mengobati mereka. Membersihkan serta membalut luka-luka mereka. Sebelum pulang, ia juga memberikan obat antiseptik dan obat tablet untuk membantu meredakan rasa sakit.
Mereka juga berkumur dengan air hangat campur garam untuk membuang sisa-sisa darah yang masih berada dalam mulut mereka. Air garam itu dibawa Wiya dari warung saat anak remaja itu membeli bubur ayam serta teh hangat untuk mengisi perut-perut mereka yang kosong.
Namun saat menghela napas, Darma merasa sakit disekitar tulang-tulang rusuknya. Sehingga ia meminta Wiya untuk memintakan obat kepada guru Silatnya. Ia tahu jika dalam latihan silat terjadi luka berdarah, lebam atau patah tulang, seorang Wira Lodra akan mengobati dan memijati bagian luka itu dengan minyak yang diramu sendiri olehnya, hasil warisan dari racikan guru sebelumnya. Sementara Barli memberikan kunci kamarnya. Ia meminta Wiya mengambil beberapa senjata tajam miliknya. Nanti Bi Ika yang akan membukakan pintu untuknya. Wiya menatap Jaman, menunggu pesanan laki-laki itu. Jaman menggeleng tak berkata apapun.
Setelah Barli dan Darma menyebutkan alamat yang harus didatangi Wiya, remaja itu pergi dengan mengendarai motornya. Mendatangi rumah Barli menjadi pilihan utama. Sebab alamat rumahnya tidak terlalu jauh untuk dijangkau. Wiya terbelalak didepan sebuah bangunan cukup megah. Bangunan tinggi bertingkat itu terlihat sepi. Lampu taman menerangi rumput-rumput hijau yang tertata rapih. Tidak harus berlama-lama untuk mengagumi bangunan megah tersebut, Wiya mengucap salam cukup keras seraya menggerak-gerakan besi pengunci gerbang. Suara itu berisik, sampai kemudian tampak seorang perempuan setengah baya membuka pintu rumah dan tergopoh melangkah menghampiri Wiya.
Wiya menjelaskan maksud kedatangannya kepada perempuan setengah baya tersebut, dan menunjukan kunci kamar milik Barli padanya. Bi Ika membukakan pintu gerbang untuknya. Melangkah diluasnya rumah Barli, tak henti membuat Wiya berdecak kagum. Hanya yang membuat ia bingung karena dalam rumah begitu kosong dari perabotan, dan ditambah ini pula yang justru keadaan didalam menjadi terlihat semakin luas. Bahkan, kursi-kursi saja Wiya nyaris tidak melihatnya. Dibeberapa sudut ruangan Wiya hanya melihat lemari kaca tinggi dan kecil tanpa ada kursi atau meja. Namun Wiya tak harus melihat setiap sudut dan ruangan rumah itu. Sebab ia harus segera masuk ke kamar Barli. Disana juga Wiya takjub. Betapa tidak, sebuah ruangan yang luas namun berantakan. Botol minuman, puntung rokok, buku-buku, seprai kasur, bantal, berserakan sedemikian rupa. Wiya sampai menggelengkan kepala. Di dinding kamar, poster-poster tertempel begitu saja tanpa aturan. Beberapa terpasang tegak lurus namun lebih banyak dalam posisi miring bahkan terbalik. Wiya meleletkan lidah melihat dan membaca dari poster yang tertera. 'Scorpions', 'Deep Purple', 'Beatles', dan susah payah membaca poster miring; 'Nirvana', 'Queen', 'Metallica', 'Guns N Roses', Dan yang membuat mata Wiya nyaris juling mendadak saat ia membaca beberapa poster terbalik; 'Sex Pistols', 'Red Hot Chili Peppers', 'Anthrax' dan Wiya berhenti disana sebelum ia merasakan kepalanya pusing sendiri. Beberapa poster juga tampak jatuh berserakan dilantai.
Tiba-tiba bayangnya singgah ke rumahnya sendiri. Rumahnya yang kecil dan selalu terlihat rapih karena ibu selalu rajin dan telaten membersihkan. Bahkan jika ada sampah bekas jajanan plastik kecil atau remah kue tercecer begitu saja diteras rumah, serta ibu melihatnya, maka ia akan selalu cekatan membuang ke tempat sampah.
Setelah sebentar mencari-cari, akhirnya Wiya mendapati barang yang dimaksud. Ia mengambil sebilah belati, clurit dan pedang panjang yang kemudian membungkusnya dengan kain sprai. Beberapa menit kemudian ia berpamitan. Hanya ia tak berkutik saat Bi Ika meminta kunci kamar padanya.
"Katakan saja, setelah membereskan kamar ini, bibi akan menguncinya kembali." ujar Bi Ika suaranya bagai tersedak, entah mengapa. Hanya mengangguk saja yang Wiya lakukan.
Bi Ika, perempuan yang ditinggal mati suami dua puluh lima tahun lalu. Selama pernikahannya ia tidak pernah memiliki seorang anak pun. Barli baginya sudah seperti anak sendiri. Untuk itulah Bi Ika tidak pernah mau pulang ke kampung halamannya. Ia berada disana, karena seorang Barli yang teramat ia sayangi.
Malam semakin larut ketika Wiya harus mendatangi satu tempat lagi. Angin menyergap beku badannya. Gilasan ban motor dikubangan membuat Wiya nyaris terjatuh. Gelap semakin meluap ketika Wiya tiba ditempat yang dituju. Seorang laki-laki dengan garis hitam bekas jahitan menutupi luka, melingkar disetengah lehernya, membuat Wiya tak bisa berkata-kata. Meski wajah lelaki itu begitu dingin, namun tak bisa menyembunyikan ketampanannya. Wiya tergagap dan kikuk serta baru bisa berucap saat lelaki itu mengusap wajah Wiya dengan telapak tangannya yang nyaris beku.
Wiya berkata terbata dengan napas turun-naik.
Sesekali disela ucapannya, Wiya memejamkan mata. Wajah Gegen, kakak kelasnya di sekolah, orang paling ditakuti oleh seluruh murid, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan raut muka seorang laki-laki yang kini berada dihadapan Wiya. Apalagi saat Wiya melihat lingkaran hitam disetengah lehernya, membuat suara Wiya semakin terbata dan serak. Bahkan tanpa bisa dikendalikan, bulu kuduk Wiya terasa meremang. Hingga tubuhnya bergidik. Ia juga tidak berani membantah saat laki-laki itu ikut dengannya setelah sebelumnya masuk kedalam rumah dan kembali dengan membawa tas kulit yang ia selendangkan dibahu. Kemudian mereka menderukan motornya masing-masing.
Darma terhenyak. Di luar terdengar dua suara deru mesin. Satu diantaranya ia hapal betul raungan sepeda motor berkopling. Belum ia mencoba berdiri, pintu rumah sudah terbuka. Muncul Wiya disusul dengan seorang laki-laki gagah dengan tubuhnya yang kekar berisi hanya berbalut kaos hitam belaka. Darma tercekat. Barli terkesiap. Jaman menatap kelu.
"Kang," serak suara Darma. Laki-laki itu masih berdiri, menatap Darma yang tertunduk. Beralih ke arah Jaman yang menyapa dengan senyum tipis, gugup. Pandangan Wira Lodra berpindah ke arah Barli, seketika Barli menundukan kepala. Ia menghembuskan napas pelan-pelan. Betapa dihadapannya sekarang berdiri seorang Jawara, jagoan, yang banyak orang segan padanya. Laki-laki yang sepanjang hidupnya lebih banyak dilalui dengan darah, serta malang melintang diseluruh sudut "Bronx" kota Bandung. Laki-laki yang ditakuti oleh banyak preman, bromocorah, berandal, bandit, dan sebangsanya.
Wiya terduduk, memperhatikan laki-laki yang telah membuat seluruh darah dalam tubuhnya berdesir, sedang memeriksa luka-luka ditubuh Darma. Dua botol cairan dikeluarkan dari dalam tasnya. Lalu membalurkannya diseluruh nyeri dibadan Darma. Gemeretak ngilu terdenger dibeberapa tulang sendi tangan, kaki dan rusuk Darma. Darma sendiri nyaris menjerit jika mulutnya tidak ia sumpal sendiri dengan celana jinsnya. Setelah dirasa cukup, beralih ke tubuh Jaman, dibagian tangan dan rahangnya. Jaman merasa wajahnya bagai dihantam gada. Ia mengeluh panjang. Sebelum akhirnya mengalami rasa nyaman. Kemudian kepada Barli yang masih tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Tulang bagian punggungnya beberapa kali bergemeretak, membuat Barli melepaskan napas begitu panjang seiring dengan air liurnya nyaris keluar jika mulutnya tidak ia bekap sendiri dengan bajunya. Ia merasakan betapa nyeri, ngilu dengan semua apa yang ia terima saat itu. Namun kemudian, ia merasakan tubuhnya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Menjelang dini hari, Wira Lodra baru selesai dengan semuanya.
Ia berdiri
"Jika terasa nyeri ditubuh kalian kembali terasa, oleskan merata minyak itu." Wira Lodra berkata dengan mengelilingkan pandangannya kepada mereka semua. Termasuk Wiya, yang mengangkat bahu.
Wira Lodra melihat dua poster yang tertempel di dinding.
"Laki-laki tidak pernah takut menghadapi maut!" ujar Wira Lodra. Jaman mengantarkan Wira lodra sampai di teras, sebelum kemudian ia berlalu. Suara raungan motornya, sebentar saja semakin menjauh. Darma dan Barli berpandangan. Tak sedikit pun Wira Lodra menanyakan sebab-sebab mereka semua seperti itu.
“Gurumu benar-benar orang yang tulus.” Barli berdecak. Jaman yang telah duduk bersandar ke tembok, setuju. Sementara Darma menganggukan kepala. Ujarnya;
"Seperti halnya juga Dokter Arif, pamanmu itu." Jaman kembali sepakat dengan mengacungkan ibu jarinya.
"Mereka menolong kita, benar-benar karena Tuhan semata" Jaman berkata.
"Aku bahkan mulai tidak percaya dengan adanya Tuhan!" tiba-tiba Barli berkata, membuat Darma beralih menatapnya. Rupanya sahabatnya ini memiliki pandangan yang 'edan'. Jaman tak bereaksi. Ia hanya menoleh sesaat kearah Barli, lalu kemudian menatap langit-langit ruangan. Jika mau jujur, bahkan ia sendiri sebenarnya sudah malas untuk percaya kepada Tuhan dan kepercayaan bernama 'agama'. Namun, seorang Jalu Arsy masih bisa memberikan pemahaman mengenai keyakinannya.
"Agama, Tuhan, semua hanya bualan belaka." Barli kembali berkata. Darma tercenung, pikirannya berkecamuk. Jaman termenung.
"Jika kita keliru dalam memahami Tuhan, artinya ada yang salah dalam cara kita beragama," desah Jaman.
Barli menatapnya. Apa iya Tuhan itu ada, setelah semua "Takdir" yang ia rasakan sebegitu tidak adilnya? Lalu apa guna agama yang selama ini hanya digunakan orang-orang untuk menghakimi yang lain? Ia mengumpat sendiri dengan semua luka yang dirasakannya selama ini.
"Sorga, Neraka, Agama, Tuhan, semua omong kosong." tegas Barli.
"Tentang sorga, neraka, semua ada di dunia ini. Apapun perbuatan seseorang, akan ia rasakan juga balasannya di dunia." lanjut Barli. Jaman menatapnya.
"Hati-hati saja, kau. Karena sebuah keyakinan bisa berawal dari ketidak-percayaan sebelumnya." ujar Jaman seraya terkekeh. Barli mengumpat, namun diam-diam ia merasakan getaran ancaman itu. Seketika bulu kuduknya merinding. Darma tersenyum kecut.
"Kau yang lebih paham soal agama dan Tuhan. Dan kau akan masuk sorga, namun kami masuk neraka." Darma tiba-tiba berkata seakan memancing, seraya menatap Jaman.
"Kupikir, bahkan aku masuk neraka, jika aku sudah merasa yakin akan masuk sorga." Jaman menyahut. Darma menelan ludah.
"Dan, bisa saja justru kalian yang akan masuk sorga sebagai hukuman kalian di dunia ini." tambah Jaman.
"Kenapa bisa begitu? Kupikir kami akan masuk neraka?" Darma bertanya dengan mengerenyitkan kedua alis. Barli sendiri menunggu dalam diam.