Kekasih Tanpa Wajah

rhee
Chapter #6

Chapter#6 Teh Mimi

Bab 6

 

Senjata adalah faktor penting dalam pertempuran. Tetapi bukan yang menentukan. Sebab yang paling menentukan adalah manusia bukan material yang bisa dihitung.

Mao Tse-Tung (Pemimpin China)

 

Pagi hari, dua orang rekan Darma dalam satu perguruan pencak silat, datang membawa satu kilo telur rebus. Mereka berkata bahwa semua atas perintah dari Kang Wira Lodra. Darma menggelengkan-gelengkan kepala merasa takjub. Bahkan Rudi dan Andi juga diminta untuk sementara berjaga disana. Namun Darma merasa tidak enak hati. Ia tidak mau merepotkan rekan-rekannya yang lain. Ketika Darma menanyakan alasannya, Rudi menjawab sambil memainkan golok tajamnya.

"Orang-orang itu mungkin akan kembali kesini, karena ternyata di Masjid tak ada pengumuman untuk kematian kalian."

"Bisa saja mereka datang lebih banyak dan dengan rencana yang lebih matang." tambah Andi.

"Kau tahu siapa mereka?" bertanya Rudi. Darma menggeleng. Menunjuk Barli yang masih terlelap tidur.

"Mungkin seteru dia. Bisa saat keributan pertandingan bola atau hal lain." jawab Darma. Menjelang subuh tadi sesaat sebelum tidur, Barli mengira-ngira siapa para penyerang mereka. Semua tak mengenali wajah para penyerang itu. Mereka pasti orang-orang suruhan saja, dari seseorang yang pastinya memusuhi Barli. Jaman sendiri menyaksikan bahwa hanya nama Barli yang mereka sebut. Sementara Darma meminta Barli untuk mengingat lagi, dengan siapa dirinya bermusuhan atau bertikai. Barli tercenung. Beberapa orang mungkin pernah menjadi lawannya. Saat berkelahi ramai-ramai secara dadakan di jalanan, atau juga kericuhan masal ketika pertunjukan musik rock. Tak menutup kemungkinan juga, perkelahian masal ketika pertandingan sepak bola.

Ketika malam tiba, mendadak area kontrakan terdengar sedikit hingar. Darma membuka sedikit gorden jendela. Ia bisa memandangi perempuan-perempuan cantik keluar dari rumah kontrakan yang berseberangan dengan mereka.

Rumah kontrakan nomer lima, rupanya telah terisi. Enam orang perempuan usia berkisar 22 tahun. Salah satunya pasti bernama Mimi. Teh Mimi begitu Wiya menyebutnya. Mereka adalah kaum hawa yang bermental baja dan datang dari kota berbeda. Mereka adalah pekerja malam dan pulang saat hari menjelang pagi.

Disisi lain, Wiya mulai berlatih silat di lantai atas. Darma yang masih belum pulih benar, hanya bisa mengarahkan gerak saja. Wiya berniat juga untuk bisa berlatih langsung di padepokannya Kang Wira Lodra.

Membuat Darma takzim, ketika sesekali Kang Wira Lodra datang kesana melihat keadaan Darma serta Barli dan Jaman. Kang Wira Lodra juga membantu untuk pemulihan mereka. Keadaan Darma, Barli dan Jaman sudah lebih mendingan.

Bertemu kembali dengan Kang Wira Lodra, membuat Wiya akhirnya harus berlatih di perguruan silat Maung Hideung. Hari-hari di sekolah, Wiya dan dua temannya masih mendapat perlakuan buruk dari preman-preman kelas itu. Namun, kini mereka tidak terlalu merasa tertekan seperti sebelumnya. Karena Ujang dan Asep juga diajak Wiya untuk berlatih ditempat yang sama, memperkukuh mental, gerak ketangkasan, serta pertarungan untuk menjatuhkan lawan sesegera mungkin.

Wiya masih suka mengunjungi rumah kontrakan, karena motor bebeknya juga merupakan pinjaman dari Teh Mimi. Sepeda motor pertama dimana ia belajar mengendarainya. Hingga kemudian, kini Wiya telah cukup mahir menggunakannya.

Wiya pernah bertanya heran mengenai sepeda motor itu kepada pemiliknya. Mengapa Teh Mimi mempunyai motor bebek itu? Namun perempuan cantik tersebut hanya menjawab ketus, bahwa ia mendapatkannya dari pelanggan yang kehilangan dompet. Wiya saat itu malah semakin bingung, namun tidak mempunyai keberanian untuk kembali bertanya.

Teh Mimi termasuk perempuan judes. Bibirnya yang tipis kerap bicara menusuk jika orang lain mencoba sedikit saja mencampuri urusannya.

Hari yang berganti, memulihkan segala luka. Penghuni rumah kontrakan bertambah lagi. Mereka menempati rumah paling depan, yakni bernomor delapan, berhadap-hadapan dengan nomor satu yang masih kosong, paling dekat dengan pintu gerbang. Tentu saja letak penghuni baru sederet dengan rumah kontrakan Mimi dan teman-temannya.

Mereka sepasang suami-istri yang belum dikarunia anak. Kabarnya baru menikah setahun lalu. Jaman pernah bertegur sapa saat ia selesai membeli rokok. Namanya Yardi, lelaki berusia 27 tahun. Dari penampilannya yang rapih, bisa ditebak kalau ia seorang pekerja kantoran. Yardi bekerja sebagai Staf kantor disalah satu perusahaan yang bergerak dibidang penjualan alat-alat rumah tangga. Sedangkan istrinya, Yuni bekerja sebagai pelayan toko pakaian. Mereka tampaknya senang dengan keindahan, selain di teras terdapat dua kursi dan satu meja, juga beberapa pot dengan tanaman beragam warna, menghiasi bibir teras.

Kini, jika hari mulai menjelang malam, suasana disana tidak lagi sepi dan temaram. Beberapa lampu diatas diteras-teras mulai menerangi. Sedikit keramaian terjadi jika Mimi dan rekan-rekannya serempak keluar dari dalam rumah. Kadang beberapa orang dari mereka riuh cekikikan dan suara sepatu hak tinggi dari langkah kaki mereka bagai membelah kesunyian malam. Kemudian bergiliran mereka kembali, ketika hari menjelang pagi. Biasanya Wiya datang kesana siang hari sepulang dari sekolah untuk meminjam motor bebek. Wiya juga kerap disuruh oleh perempuan-perempuan itu untuk membelikan mereka makan atau jajanan apapun. Dan sesekali Wiya singgah ke kontrakan Darma sekedar untuk merokok!

Rupanya dia mulai belajar merokok. Sering terbatuk-batuk, sampai matanya berlinang. Perutnya mual, dan kepalanya terasa berat. Jika sudah begini, ia akan naik ke lantai atas dan berlatih silat sendirian disana. Barli menyarankan agar Wiya menyisir rambutnya ke belakang, tidak lagi dengan poninya. Tampaknya remaja itu menuruti meski sebentar kikuk juga dengan penampilan barunya. Tidak dengan sisir, melainkan jari-jarinya saja yang menyisir rambut itu kebelakang, dibantu sedikit air biar rambutnya lebih mudah diam dan mengkilap. Darma sampai memuji dengan mengatakan kalau tampilan Wiya yang baru bagai seorang mafia. Jaman mengatakan bagai bintang film action. Kali pertama Wiya bangga dengan dirinya sendiri.

Malam Jumat, selesai Adzan Isya, ketika Barli dan Darma pergi entah kemana, Jaman sunyi sendiri menghisap rokok diruangan bawah yang telah ia anggap sebagai kamarnya. Bersandar dingin ke dinding tembok dan pintu sengaja sedikit terkuak agar ia bisa merasakan angin membelainya lembut. Jaman membayangkan belai itu datang dari jemari Arini. Sedikit pun Jaman tak menyadari ketika seseorang menguakan pintu lebih lebar dan berdiri dimuka pintu. Perempuan itu terbatuk kecil dengan sengaja. Gilanya, Jaman masih saja dalam keheningannya.

"Hai," sapa perempuan itu. Jaman terusik. Menolehkan kepala. Sepasang mata bening dengan bulunya yang hitam lentik menatap, kemudian mengerling. Seketika bayang Arini sirna dalam benak Jaman.

"Mana dua temanmu yang lain?" bertanya Mimi. Jaman mengubah posisi duduk, berhadapan, ia mengangkat bahu. Bibir tipis dengan gincu merah milik Mimi bersungut. Selama ia menjadi pelacur, setiap laki-laki selalu berharap sapaannya. Meski Mimi malah sebaliknya, malas menyapa mereka. Bahkan lelaki yang berkantong tebal saja, tidak akan dipedulikan oleh Mimi jika ia memuakan. Disemua pelacur tempat kerjanya, hanya dia yang sering jual mahal dan termasuk perempuan yang pilih-pilih pelanggan.

"Kau sepertinya lelaki kesepian?" bertanya Mimi seraya mengulas senyum. Teman-temannya masih berdandan dan belum satu pun yang keluar.

"Aku memang selalu kesepian," sahut Jaman tersenyum pahit.

"Padahal aku benci kesepian." lanjutnya. Mimi dengan kemeja putih bersih, tertawa renyah. Ia masuk tanpa permisi. Duduk beralas karpet yang untungnya telah dibersihkan dari debu dan kotoran oleh Darma dan Jaman. Kedua kaki perempuan itu seluruhnya putih, dengan bawahan rok hitam sebatas lutut, membuat Jaman dapat melihat keindahan itu. Mimi mengenakan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Enak saja perempuan itu duduk meluruskan kedua kaki tanpa peduli kedua mata Jaman nanar dibuatnya.

"Malam ini aku enggan keluar, jika kau mau, aku bisa menemani kesepianmu." lirih suara Mimi. Jaman tersenyum getir. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun yang pasti, serat jantungnya bergetar.

“Kau tahu pekerjaan kami?” bertanya Mimi. Jaman mengangguk. Mimi membelalakan kedua mata seraya kemudian tersenyum.

"Kau pikir aku mampu membayarmu?" desah Jaman. Mimi terdiam.

"Kau pikir aku meminta bayaranmu?" desis Mimi kemudian. Sejak memasuki rumah kontrakan, pertama melihat Jaman, Mimi merasakan seluruh aliran darahnya mengalir lebih deras, dan jantungnya bertalu bagai dipalu. Ia selalu mengawasi gerak Jaman, memata-matai hingga menanyakan mengenai lelaki itu kepada Wiya.

Mujur, waktu yang dinanti tiba. Ia melihat Darma keluar menjelang magrib, sedangkan Barli sejak siang sudah tak terlihat keberadaannya. Karena itulah, maka Mimi sekarang bisa berada disana, menatap Jaman dengan menahan gelora jiwa yang makin meronta.

"Aku hina dimatamu?" serak suara Mimi. Jaman menggeleng.

"Mungkin lelaki-lelaki itu yang menghinakanmu." jawabnya. Mimi tersenyum kecut.

"Kau menginginkan tubuhku?" ujar Mimi tanpa basa-basi. Kedua matanya sendu menatap Jaman. Lelaki itu membalas tatapan Mimi. Mimi nyaris berhenti bernapas. Sepasang mata milik Jaman bagai sorot elang yang hendak memburu mangsa. Dada Mimi terasa sesak. Sepertinya ia mulai memerlukan napas buatan. Dan, ia akan bersyukur jika itu dilakukan oleh mulut Jaman.

"Siapa lelaki bodoh yang menolak ragamu?" balik bertanya Jaman. Mimi menelan ludah. Tak pernah ada lelaki semacam itu. Bahkan seorang Gardin sekalipun, selalu tergila-gila pada dirinya. Bajingan, Mimi jadi teringat lelaki itu. Gardin termasuk lelaki selera Mimi, kekasih yang dicintainya. Walau setelah lelaki itu merasakan puas, maka ia menganggap usai semuanya. Gardin berhasil memporak-porandakan seluruh tubuh Mimi, kemudian menjualnya pada seorang germo. Hebatnya Gardin, ia selalu berhasil menina-bobokan Mimi sampai tubuh perempuan itu lunglai bagai tak bertulang. Berkali-kali, dan tiada pernah bosan!

Pintu rumah seberang terbuka. Lima orang perempuan secara bersamaan keluar.

"Mimi... !" panggilan seorang dari mereka mencarinya.

"Dia ada disini." agak keras suara Jaman. Mimi mendelik. Tadinya ia berharap laki-laki itu akan menutupi keberadaanya. Tampak seorang perempuan berjalan ke arah mereka. Melongokan kepala ke arah samping dalam. Ia melihat Mimi yang sedang tersenyum kepadanya.

"Katakan saja aku sakit." berkata Mimi kepada temannya. Ia Tami, menoleh ke arah Jaman. Laki-laki yang menarik. Batinnya. Tami mengangguk. Tanpa sepatah kata berlalu meninggalkan mereka.

"Tadinya kuharap kau menyembunyikanku dari mereka." cetus Mimi sambil mengeluarkan rokok filter dari saku kemeja tangan panjangnya. Jaman mengerut dahi.

"Sebagai minatmu masih ingin aku disini." lanjut Mimi lalu menyulut rokok. Asap halus berhembus.

"Kau boleh ambil rokokku jika mau. Lebih dari itu pun, aku rela jika kau menginginkannya," serang Mimi dengan senyum dikulum. Perempuan itu tahu lelaki didepannya selain kesepian, juga telah kehabisan rokok. Didekatnya, terlihat bekas bungkus rokok hancur sisa remasan. Mimi berharap pula, Jaman bisa mendekapnya, seperti hal biasa yang dilakukan oleh pelanggannya. Lalu, setelah sekali merasakan, mereka akan kembali datang. Mimi seperti rokok, membuat mereka terserang candu.

Lihat selengkapnya