Bab 7
Pertempuran hidup tidak selalu dimenangkan oleh orang kuat. Tetapi, cepat atau lambat, yang menang adalah mereka yang berpikir mampu memenangkan pertempuran itu.
(Erry Riyana Hardjapamekas)
Semua terperanjat. Mereka mengira Mimi berdandan rapih dan cantik karena akan bekerja malam seperti biasanya. Namun ternyata mereka keliru. Perempuan itu mengatakan kalau ia akan pergi ke bioskop bersama Jaman. Binar, salah seorang teman Mimi menghampiri.
"Kemarin saja kami dicecar banyak pertanyaan oleh Ayah Goli, karena mengatakan kau sakit." ujar Binar. Mimi tak menjawab. Ia masih mematut di depan cermin.
"Kau jangan gila. Pengawal-pengawal itu akan mendatangi tempat ini untuk mencarimu!" Narni yang berkata dengan nada suaranya terdengar kesal.
"Kau tahu, sejak lama aku memang sudah gila!" ketus suara Mimi.
"Kami yang akan tertekan nantinya jika kau tidak masuk lagi kerja malam ini." Sasi yang berkata.
"Pikirkan kembali apa yang kau lakukan." desah Tami. Mimi tak peduli. Ia tinggal menyisir rambutnya. Ia bangkit. Sebelum berlalu, Ratih mendekatinya. Dengan jemarinya, perempuan berusia 32 tahun tersebut, merapihan anak rambut yang jatuh menghalangi wajah cantik Mimi. Ratih perempuan paling tua disana. Sementara yang lain berkisar 20 hingga 25 tahun. Mimi sendiri berumur 22 tahun.
"Kau berhak dengan kebahagianmu." ujar Ratih pelan. Mimi memeluknya. Kemudian berlari menuruni tangga. Di depan rumah, Jaman telah berdiri menunggu. Mimi terkagum melihat lelaki di depannya. Ia terpana lalu tersenyum senang. Jaman sendiri takjub dengan kecantikan Mimi. Ia mencoba menekan rasa itu. Mereka berjalan bergandengan, diiringi oleh tatapan Barli dan Darma yang berdiri di teras loteng.
"Kau percaya jika cinta membuat orang menjadi tidak waras?" bertanya Barli. Darma menatapnya.
"Aku merasakannya." ujarnya berat. Barli terbelalak, kemudian terbahak.
"Kapan kau ambil sepeda motormu?" bertanya Darma. Barli berlalu tanpa menjawab. Darma menatap langit hitam. Di bawah, ia memandang Barli berjalan cepat hingga hilang dari pandangan. Kemarin hari, dengan alasan untuk tambahan modal usaha, Barli berhasil menerima sejumlah uang dari Ayahnya. Uang tersebut sedianya akan ia belikan sepeda motor. Kendaraan itu masih tersimpan di garasi temannya yang tidak terlalu jauh letaknya dengan rumah kontrakan mereka. Barli hanya tinggal membayarnya dan motor bekas itu akan menjadi miliknya.
***
Jaman tak bosan menatap Mimi, membuat perempuan itu menjadi kikuk. Angkutan Kota cukup penuh dengan penumpang. Laki-laki disana memandang Mimi penuh kekaguman.
Tidak perlu menunggu lama untuk membeli tiket, karena ternyata loket sudah buka. Jaman juga membeli dua kaleng minuman ringan. Mereka juga tidak harus mengantri untuk memasuki gedungnya, karena penonton saat itu hanya sedikit.
Memasuki gedung, Jaman memilih tempat duduk bagian tengah, namun ia mengalah ketika Mimi menolak dengan kesal. Mereka duduk di deretan kursi belakang. Film belum ditayangkan, tampak lampu-lampu masih menerangi. Jaman menyeringai. Sudah lama juga ia tidak mendatangi tempat seperti itu. Biasanya jika ingin menonton film, ia sudah merasa cukup dengan gedung bioskop 'MisBar'. Gerimis langsung Bubar. Bioskop murah meriah.
Beruntung Barli meminjamkan uang padanya cukup banyak, hingga Jaman tidak ragu untuk mengajak Mimi menonton di bisokop. Sebelumnya Mimi hendak membayar semua, tetapi Jaman menolak. Uang dalam sakunya masih cukup untuk tiga kali berkunjung kesana lagi.
"Kau tidak perlu mengembalikan uang itu. Jika kurang, aku bisa menambahi lagi." kata Barli tulus saat Jaman mengatakan semuanya sore tadi. Jaman terharu. Uang yang diberikan Barli, jumlahnya lebih dari cukup.
Selama menyaksikan film baku-hantam dilayar, Jaman sama sekali tidak mempedulikan Mimi. Ia sungguh menikmati tayangannya. Perempuan itu mengumpat sendiri. Dengan jengkel, beberapa kali ia meneguk minuman kalengnya. Mimi berharap agar apa yang dilakukan, bisa mendinginkan panas darahnya.
"Peluk aku!" desah Mimi berbisik ke telinga Jaman. Sejenak lelaki itu menoleh ke arah wajah Mimi. Tidak terlalu kentara karena kegelapan. Kendati demikian, Jaman merengkuh bahu Mimi, mendekapnya. Mimi merasakan kehangatan yang mulai tumbuh.
Layar berganti dengan perbincangan para pemain. Suasana tidak terlalu hiruk-pikuk seperti sebelumnya.
"Lakukan yang lainnya!" desis Mimi kembali terdengar di kuping Jaman. Sebentar Jaman menghela napas berat. Mimi bisa merasakan itu. Ia tersenyum tipis. Tapi tak ada reaksi apapun. Muak, jemari lentik dan lembut milik Mimi nekad mulai menjalar ke dada Jaman. Jaman menghembuskan napas panas. Sebelum telapak tangan Mimi lebih liar, Jaman meraihnya, meremasnya lembut.
"Aku bisa jadi durjana nanti. Dan kau bisa menyesalinya," suara Jaman bergetar.
"Demi Tuhan, aku tidak akan menyesal jika kau lakukan itu padaku." jawab Mimi serak. Jaman memejamkan mata. Alur film sudah tidak lagi menjadi perhatiannya. Semua buyar. Adegan perkelahian dilayar, kini menjadi terasa hambar. Jaman mengelus rambut Mimi. Mimi masih menunggu. Perempuan itu tetap menunggu. Hingga habis penantiannya ketika lampu-lampu ruangan menjadi menyala. Benderang melingkupi. Mimi mendesah. Kejengkelan tergambar pada wajahnya yang memerah.
Hingga film usai, Jaman tidak melakukan apapun yang berarti bagi Mimi. Sesuatu yang membuat darah lebih cepat berdesir dan bergetarnya serat jantung. Sampai mereka keluar dari gedung bioskop dan berdiri di tepi jalan, dada Mimi masih dicekam amuk.
Mimi menatap lekat lelaki disampingnya. Jaman, tersenyum tipis tanpa dosa! Mimi cemberut namun ia melingkarkan tangannya pada lengan Jaman. Perasaan aneh membadai di jiwanya. Entah kenapa, semakin Jaman tidak menyenyuhnya, kian murka Mimi dibuatnya. Akan tetapi, sialnya, kenapa hatinya malah semakin menjadi-jadi mencintai Jaman! Keparat, bukankah seharusnya ia benci karena Jaman begitu pengecut untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat seorang laki-laki?!
Mereka menunggu kendaraan yang akan membawa mereka pulang.
Semua terlalu aneh buat Mimi. Ia bingung, apakah ia salah menilai laki-laki disampingnya? Apakah yang dilakukan Jaman sebenarnya sesuatu yang mengesankan atau memuakan? Atau ia terlalu gila saja?
Mereka masuk kedalam angkutan kota. Penumpang di dalam hanya empat orang saja. Hari telah semakin larut, ketika mereka sampai ditujuan. Setelah Jaman membayar ongkos kendaraan, mereka berjalan bergandengan, kemudian Mimi berkata;
"Antara dua kemungkinan, kau homo atau milikmu tidak bisa hidup?" ujar Mimi pelan namun bengis, suaranya dekat dengan telinga Jaman. Lelaki itu malah tergelak. Mimi memaki dalam hati. Tubuh Jaman lebih tinggi sedikit dari Mimi, sehingga apapun yang keluar dari bibir perempuan itu, bisa terdengar jelas di telinga Jaman.