Kekasih Tanpa Wajah

rhee
Chapter #8

Chapter#8 Melamar Kerja

Bab 8

 Di Zaman yang mengagungkan kepintaran, kecerdasan, iptek dan sejenisnya, kesederhanaan sudah serupa dengan kebodohan. Padahal tanpa kesederhanaan, kedamaian akan sangat sulit berkunjung.

Gede Prama (Penutur Kejernihan)

 

Sejak peristiwa malam itu, sama sekali Mimi tidak lagi memiliki keinginan untuk bekerja di rumah pelacuran. Juga rasa cinta yang semakin dalam kepada Jaman, serta kerinduan kepada keluarga di kampung, kian hari makin menjadi, melengkapi tekad Mimi untuk memadamkan profesinya sebagai Lonte di sarang pelacuran.

Sementara Tami, tak berbeda. Ia enggan untuk kembali bekerja di rumah para Ublag tersebut. Ia takut dengan Ayah Goli dan para anak buahnya dengan ukuran tubuh tinggi, besar serta sangar, pasti akan melakukan penindasan habis-habisan. Kabarnya pula, dua orang raksasa yang terluka malam itu, telah dipecat oleh Ayah Goli karena sudah gagal menjalankan tugas.

Teman-teman Mimi dan Tami yang lain, masih tetap bekerja disana. Tidak mungkin juga buat Ayah Goli untuk tidak memperkerjakan mereka. Ia tidak mau kalau rumah pelacurannya kekurangan lonte yang berakibat pelanggan akan semakin sedikit. Hanya, kini Ayah Goli terlihat lebih mudah murka. Sumpah serapahnya tersembur dengan mudah. Telapak tangannya kerap menyambar kian kemari. Sasarannya, tentu saja belasan pelacur yang tinggal di gedung mewah dan megah miliknya. Letaknya berada diantara benteng tinggi dan kokoh, yang menjadi pembatas antara Kota Bandung dan Kabupaten. Sebuah bangunan terpencil, dan buntu setelahnya. Cukup jauh dari jalan raya dan apalagi pemukiman penduduk. Maka, para 'pelanggan' rumah pelacuran, selalu datang dengan kendaraan pribadinya masing-masing. Sementara, untuk para pekerja disana, pihak pengelola, telah menyediakan kendaraan khusus sebagai sarana penjemputan mereka di satu titik.

Sementara Ibu Aning, Juragan kontrakan, bisa kembali tersenyum. Pasalnya, rumah kontrakan miliknya, bertambah lagi penghuni. Mereka sepasang suami istri dan dua orang anak. Mereka menempati rumah samping kiri, bagian nomer satu, dekat dengan pintu gerbang, berseberangan tempat dengan rumah nomer delapan yang ditempati Yardi dan Yuni.

Penghuni baru itu bernama Karna, lelaki berusia 35 tahunan, bekerja sebagai karyawan sebuah pabrik. Istrinya Wina, sebagai ibu rumah tangga. Anak mereka, satu duduk di bangku SMP kelas satu, bernama Samina dan bungsu bernama Risna, kelas tiga SD.

Adalah Mimi yang senang bermain dengan kedua anak itu. Samina dan Risna kerap ia ajak jajan ke warung. Wina sebagai ibu, tentu saja senang dengan kebaikan Mimi kepada anak-anaknya. Tak heran ketika ia memasak cukup banyak, dikirimkan juga kepada Mimi. Sedangkan Tami, mulai melamar kerja ke beberapa tempat. Berkali-kali surat lamaran ia kirimkan ke kantor atau pun toko, namun sampai sejauh ini, tetap belum juga ada panggilan. Rupanya ia harus lebih melapangkan kesabarannya.

Malam pukul 19 lewat 21 menit, Barli baru saja selesai mandi ketika pintu diketuk seseorang. Masih memakai handuk yang melilit pinggang kebawah, ia membuka pintu. Badannya yang penuh tato, terutama bagian dadanya yang bergambar senapan mesin berikut peluru-pelurunya, membuat perempuan didepan terpaku. Sesaat Tami kelu.

"Ada apa?" bertanya Barli.

"Mimi demam. Sejak sore tubuhnya panas." terang Tami serak. Barli melihat Jaman yang tertidur di sudut ruangan.

"Hai, bangun. Mimi sakit!" seru Barli sambil menyipratkan sisa air ditelapak tangannya yang masih basah ke arah Jaman. Jaman bisa mendengar suara itu, juga tetesan air. Ia menggeliat kuat, mengumpat.

"Kau bicara saja dengannya," ujar Barli kemudian pergi naik ke lantai atas. Tami masuk. Melihat Jaman yang kini sudah terduduk.

"Mimi demam," suara Tami parau.

"Sudah diberi obat?" bertanya Jaman. Tami mengangguk.

"Tapi belum turun juga demamnya." katanya. Jaman berdiri, melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Tami sudah tak ada disana dengan pintu tertutup. Ia melihat gelas dan piring berjajar di meja kecil. Rupanya Barli telah membeli peralatan makan.

Jaman meneguk habis segelas air putih, kemudian keluar. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung saja masuk dan mendapati Mimi tengah terbaring di kasur lantai bawah. Wajah Mimi yang putih tampak memucat. Di samping tempat tidur, Tami duduk sambil mengelus-elus tangan Mimi. Melihat kedatangan Jaman, Mimi tersenyum.

"Kuantar ke dokter." ujar Jaman sambil meraba kening Mimi. Jaman beranjak, melangkah hendak keluar. Mimi dan Tami berpandangan.

"Hai, katanya hendak mengantar Mimi?" cegah Tami sebelum laki-laki itu membuka pintu. Jaman membalikan badan, mengangguk.

"Lalu?" ujar Jaman bagai bingung. Tami mengerenyitkan alis.

“Kenapa kau malah mau pergi?” tukas Tami.

"Bukankah aku harus mencari taksi dulu?" ujar Jaman lagi. Ia membuka pintu dan keluar. Tami menyembunyikan tawa. Mimi mengulum senyum.

"Kurasa dia laki-laki aneh." ujarnya kepada Mimi. Mimi semakin mengembangkan senyum.

"Ketiga lelaki yang menempati rumah itu, aneh semua," desahnya. Tami mengangguk setuju.

Ditemani Tami juga, Mimi dibawa ke dokter klinik. Ibu Wina ikut mendoakan kesehatan Mimi. Selama dalam taksi, Jaman memeluk Mimi. Seluruh tubuhnya terasa panas. Sekembalinya mereka dari Dokter, Mimi memilih tinggal dan tiduran di karpet yang biasa menjadi tempat tidur Jaman. Tawaran kasur Barli di lantai atas pun, ditolak Mimi. Tami membawakan bantal buat Mimi. Setelah disuapi makan oleh Jaman dan meminum obat resep, Mimi tertidur. Kata dokter, sakitnya Mimi hanya kurang tidur dan kondisi badan yang sedang lemah saja.

Darma usai mandi, badannya basah, namun rupanya ia tidak mengeringkan tubuhnya dengan handuk, bahkan celana panjangnya saja sudah ia pakai selagi masih di kamar mandi. Tami melihat tubuh lelaki itu pun digambari tato dibagian punggung, bergambar dua ekor macan hitam dengan taring dan kuku meruncing. Setelah memakai kaos hitam dan sepatu, Darma berlalu ke luar rumah.

Tami mengerenyitkan alis. Semua serba kaku di rumah ini. Tak ada basa-basi. Tapi ia menyaksikan langsung nilai agung persahabatan mereka. Jaman asik membaca buku. Tak peduli sekitar. Tak lama Darma kembali. Membuka sepatu. Mimi mengerutkan dahi. Jaman masih tidak terusik. Darma duduk bersila lalu kemudian menyulut rokok dan membaca berita olahraga di koran. Tak lama Barli turun, tangan kanan memegang leher botol sementara tangan kiri memegang majalah bergambar motor. Tami diam memperhatikan. Barli mengambil dua gelas, menuangkan cairan dalam botol ke dalam masing-masing gelas. Menyimpan satu gelas didepan Darma. Ia sendiri duduk di mulut pintu, bersandar pada pintu yang terbuka. Ia meneguk minuman dalam gelas. Membuka-buka majalahnya. Posisi Barli berdekatan dengan Tami. Perempuan itu menghembuskan napas perlahan. Agak gugup ia. Sejenak sunyi. Menit berjalan masih senyap. Tami serba salah. Ia membelai rambut Mimi lembut. Sekedar untuk meredakan kikuknya juga. Tapi ia senang, kening Mimi tidak lagi panas. Mimi menggeliat. Ia membuka mata. Mengucap terima kasih karena Tami masih menemani. Tami tersenyum. Ia berbisik pelan ke telinga Mimi. Entah apa yang dikatakannya, yang pasti membuat Mimi tersenyum tipis.

"Kenapa tidak kau beri dia minuman yamg sama dengan kalian?" berkata Tami kepada Barli pelan seraya mengisyaratkan pandangan kearah Jaman. Itu kalimat untuk memecah kesunyian juga. Barli yang sedang menghisap rokok, menoleh ke arahnya. Tidak menjawab. Kembali lagi menghisap rokoknya. Tami melenguh. Ia memandang Mimi. Mereka Sama-sama tersenyum geli. Mimi melihat Darma seperti memikirkan sesuatu. Kemudian kembali membaca koran. Tami Memandang Barli yang tak peduli apapun. Sesekali melihat majalah, kali lain tatapannya tertuju ke luar rumah. Mimi melihat Jaman tengah membaca, juga tidak terpengaruh apapun. Benar seperti yang Tami bisikan tadi. Mereka seperti perempuan yang sedang marahan satu sama lain.

Mimi bangun untuk duduk, dibantu Tami. Punggungnya bersandar pada bantal yang dipindahkan Tami, merapat dengan dinding. Jaman menoleh ke arahnya.

"Aku haus." desah Mimi. Bibirnya memang terlihat kering. Jaman gegas mengambil gelas dan menuangkan air dari dalam teko keramik kepunyaan Barli. Ia membantu Mimi untuk minum.

"Terima kasih sudah baik padaku," ujar Mimi. Jaman hanya mengangguk kecil. Kembali meneruskan membaca.

"Maaf ya, aku selalu saja membuat kau jadi repot." ujar Mimi menatap Tami penuh sesal. Tami tersenyum, menggeleng.

"Oh iya, jadi besok kau melamar kerja lagi?" bertanya Mimi seraya menggengam jemari tangan Tami. Tami tersenyum.

"Iya, tapi surat lamarannya habis. Aku belum membuatnya lagi." desah Tami. Mimi mengangguk.

"Sudah berapa banyak kau kirimkan surat lamaran kerjanya?" bertanya Mimi. Tami tertawa getir.

"Tidak terhitung. Terlalu banyak." katanya.

Lihat selengkapnya