Bab 9
Jika sesuatu bisa dibaca tanpa berusaha. Berarti usaha keras telah dilakukan saat menulisnya.
Enrique Jardiel Poncela (Penulis asal Spanyol.)
Selesai mandi, Mimi dan Tami, lebih memilih mengunjungu rumah tiga lelaki aneh. Bukan apa-apa, Mimi dan Tami perlu mengabarkan kebahagiaan mereka karena esok hari, sudah mulai bisa bekerja, sekaligus mereka juga akan berterima kasih kepada Barli khususnya. Namun, Mimi dan Tami tidak menemulan siapapun disana.
Hingga malam, rumah itu tetap kosong. Mimi sampai khawatir dengan keadaan mereka, terutama kepada Jaman. Tentu saja Mimi dan Tami tidak mengetahui jika Jaman, Darma dan Barli pergi sejak pagi. Mereka sedang mengusir penat dan pergi ke Desa Dataran Tinggi. Awalnya Jaman sendiri yang hendak pergi, namun Darma dan Barli tergoda untuk menikmati pula alam desa.
Disana pula, Barli dan Darma, mengenal seorang Jalu Arsy. Sang guru yang sederhana dan begitu lemah lembut. Mereka belajar banyak hal-hal yang baru kepadanya. Jaman juga bisa kembali bertemu dengan Dudu, sahabat kecilnya. Mereka berbincang banyak hal di rumah Kang Jalu Arsy. Sebuah bangunan sederhana jauh dari kesan berada, namun dipenuhi oleh kebahagiaan di dalamnya. Rumah yang masih dikelilingi perkebunan hijau. Letakmya di ujung desa, perbatasan dengan desa sebelah. Darma dan Barli kerasan tinggal disana. Selain lingkungan yang segar, juga kebaikan tuan rumahnya.
Tanah wakaf dari ayah Jaman, kabarnya sudah mulai dibangun. Mereka hendak mendirikan masjid atas biaya dari sumbangan para warga. Penduduk dengan sebutan 'haji', berbondong menyumbang material dan juga beberapa barang untuk keperluan masjid nantinya. Juga segelintir orang kaya disana, menobatkan diri sebagai penyandang dana besar. Jaman sendiri sudah mencoba melupakan Arini. Dan memang perempuan itu tak pernah terlihat lagi keberadaannya.
Mereka berbincang banyak hal, juga melakukan kegiatan yang menyenangkan. Memancing ikan di kolam kecil, menanam singkong atau memberi makan binatang ternak.
Ketika waktu shalat tiba, Kang Jalu tidak mengajak atau apalagi menyuruh orang yang saat itu berada di rumahnya, agar juga melakukan shalat. Hanya Dudu yang menjadi makmum. Mereka melakukan shalat di ruangan tengah yang sedikit agak lapang, dengan sajadah menutupi lantai bagian bawah yang dingin karena hanya merupakan acian semen tanpa ubin. Sebelumnya tadi, Jaman, Barli dan Darma hendak turut pula shalat, namun Kang Jalu mencegah. Katanya; "Kalau belum mau shalat, jangan dipaksakan. Nanti malah Malaikat merasa aneh." Barli sampai terbahak. Darma tertawa tergelak. Jaman tersenyum malu. Shalat Jaman memang cuma kadang-kadang saja.
"Aku bahkan sudah ragu dengan adanya Tuhan." Barli berkata serius. Kang Jalu tersenyum. ujarnya;
"Harus selalu ada keraguan, sebelum akhirnya kau yakin..."
Barli mengerenyitkan sepasang alisnya.
"Tolong jelaskan, Kang." pinta Barli. Kang Jalu mengangguk, namun ia harus segera mendirikan shalat terlebih dahulu sebelum waktu Magrib habis.
Barli mengangguk.
Selesai Kang Jalu melaksanakan shalat, Barli kembali meminta penjelasan itu, dengan rasa penasaran bahkan sebelum Kang Jalu duduk.
"Laa ilaha illallah..." ujar Kang Jalu. Jaman paham artinya, namun tidak mengerti maksud keseluruhannya. Darma dan Barli menunggu, karena Kang Jalu harus menyulut rokoknya.
"Tiadakan dulu semua Tuhan..." ujar Kang Jalu. Sejenak hening. Dudu sudah duduk bersama mereka setelah menyimpan dua piring ubi rebus dan singkong goreng yang disiapkan oleh Istri Kang Jalu di dapur.
"Tidak ada Tuhan...Lalu kemudian, Selain Allah..." Kang Jalu berkata lagi, lalu meminum sedikit kopi hitamnya, dilanjut dengan memakan potongan singkong goreng. Jaman dan Dudu melakukan hal yang sama. Kecuali Barli yang tercenung, dan Darma yang termenung.
“Apakah seorang yang tidak melaksanakan shalat, tidak akan dinilai semua amal kebaikan lainnya oleh Tuhan?” bertanya Darma. Kang Jalu Arsy tersenyum kemudian mengusap wajah.
“Tuhan akan menilai semua amal baik dan amal buruk setiap hambaNya, terlepas ia shalat atau tidak.” jawabnya sambil menghembuskan rokok kretek.
"Tuhan itu siapa sebenarnya?" bertanya lagi Barli. Jaman dan Dudu malah asik menikmati ubi rebus yang masih panas.
"Setiap Nabi, bisa berbeda dalam menyebut nama "Tuhan" yang mereka sampaikan kepada umatnya. Meski 'identitas' itu tetap kepada Yang Maha Tunggal." ujar Kang Jalu.
"Lagi pula, bukankah sesungguhnya Tuhan itu tidak butuh nama?" lanjutnya. Darma dan Barli terbelalak.
"Karena Tuhan itu berbeda dengan semua ciptaanNya" tambah Kang Jalu lagi. Serentak Darma dan Barli berpandangan. Masing-masing merasa kepala mereka dibenturkan pada sebuah kenyataan tentang Tuhan. Pikiran mereka seketika berkecamuk.
"Apakah hanya agama tertentu saja yang umatnya masuk sorga?" Darma bertanya selagi kepalanya masih membadai dengan 'teori' tentang Tuhan.
"Perkara siapa yang masuk Sorga atau Neraka, pada akhirnya, mutlak semua atas Ketentuan Tuhan." jawaban Kang Jalu membuat kepala Darma dan Barli makin bergemuruh.
Darma hendak mengajukan pertanyaan lagi, namun Jaman gegas memotong;
"Apa tidak sebaiknya kita berbincang hal yang lebih umum saja?"
Serempak Darma dan Barli menatapnya.
"Kang Jalu akan menjawab setiap pertanyaan kalian, namun aku khawatir, kepala kalian pecah sebelum nanti kita tiba di Bandung." ujar Jaman sambil tersenyum memandang dua sahabatnya. Darma dan Barli terkekeh. Mereka membenarkan apa yang dikatakan Jaman.
Sebelum mereka berpamitan, keesokan harinya, Darma bertanya;
"Apa inti dari ajaran Agama?"
Sebelum menjawab, Kang Jalu memberikan buah tangan berupa sekarung singkong yang dipanen dari kebunnya sendiri, satu plastik ikan emas hasil dari kolam samping rumah dan dua tandan pisang yang telah masak.
"Jangan mengkultuskan siapapun." jawab Kang Jalu seraya menatap satu persatu pemuda di depannya. Dudu tidak terkena tatapannya karena ia berada di samping gurunya itu.
"Bahkan, wajah Nabi Muhammad SAW saja, tidak boleh digambarkan, karena salah satunya, khawatir terjadi pengkultusan umat kepadanya." lanjut Kang Jalu. Darma, Barli dan Jaman mengangguk takdzim.
Sebenarnya, Barli dan Darma masih ingin tinggal desa itu untuk beberapa hari ke depan. Namun, Jaman sudah memaksanya pulang. Bukan apa-apa, itu karena ia mendapat kabar dari Dudu, jika Arini telah menikah seminggu yang lalu. Luka itu begitu terasa di nurani Jaman. Sungguh, Jaman merasa hatinya tercabik tanpa ampun.
***
Mimi dan Tami bingung dengan keadaan. Dua hari sudah, ketiga lelaki itu tiada kunjung tiba. Mimi merasa dirinya gila karena terlalu lama menunggu. Gelisah mencekam hati. Tami sendiri dibuat bingung.
Disudut lain, sepulang dari tempat Kang Jalu Arsy, Barli mengajak Darma dan Jaman menginap di rumahnya. Bi Ika membuat pepes ikan mas hasil oleh-oleh dari Kang Jalu. Ditambah dengan sambal goreng dan kerupuk udang, membuat selera makan mereka naik beberapa kali lipat. Semua terasa sangat nikmat. Tidak keliru jika Barli mengatakan kalau Bi Ika adalah koki jempolan. pagi harinya, Bi Ika membuatkan mereka singkong rebus dan pisang goreng. Bersamaan dengan menghisap rokok serta menyeruput kopi hitam, membuat ketiga pemuda itu bagai dunia telah menjadi miliknya.
Sementara, sepulang kerja, Mimi bermain dengan kedua anak ibu Wina, namun pikirannya tidak lepas dari seorang Jaman. Mimi benar-benar diterkam gundah. Malam tadi saja ia nyaris tidak bisa tidur jika Tami tidak berusaha menenangkannya. Meski mata terpejam, namun gulana dalam dada Mimi tetap membahana, kentara dari tidurnya yang resah.