Bab 10
Kehormatan tidak harus memang, namun ia tidak akan kalah.
Arthur Schopenhauer (Filsuf Jerman)
Pesan Wiya tersampaikan dari mulut Ibu Sumiyati. Saat satu malam Mimi memesan makanan padanya. Ibu Sumiyati menyampaikan pesan Wiya padanya yang ditanggapi Mimi dengan mengulum senyum. Mimi juga menjelaskan bahwa dirinya telah bekerja disalah satu perusahaan besar yang membuat Ibu pemilik warung tersebut berdecak takjub. Mimi juga menyebutkan nama dan letak perusahaan tersebut.
Tiga hari kemudian, Wiya datang ke toko pakaian dan warung nasi itu untuk menanyakan kabar. Dengan gembira Wiya bisa menerima pesan Teh Mimi dari Ibu Sumiyati.
Wiya dan teman-temannya gembira karena poster bruce Lee dan Muhammad Ali yang diberikan seorang Barli lebih unggul dari segi bahan dan kejelasan gambar. Sengaja Barli membeli poster tersebut di jalan Dewi Sartika dengan harga yang cukup mahal. Juga Barli menempelkan beberapa poster Muhammad Ali dan Bruce Lee di dinding rumah kontrakan mereka dengan gambar gaya bertarung dari sang legenda. Darma tersenyum saja melihatnya. Jaman sendiri selain lega juga kagum dengan ketelitian Wiya untuk bisa menemukan keberadaan Mimi.
Sepulang Wiya dan teman-temannya dengan membawa kegembiraaan yang hebat karena berhasil membawa banyak poster, Barli mengutuki dirinya sendiri. Betapa ia lupa jika Tami pernah mengatakan kalau dirinya telah bekerja di perusahaan Seorang Garda Abdi Negara, Yakni Ayahnya sendiri. Malah ternyata sekarang Mimi pun bekerja disana. Barli mendesis. Namun tak apa, setidaknya ia bisa memberikan Wiya tugas dan remaja itu berhasil menyelesaikannya dengan baik.
***
Setelah beberapa kali naik-turun angkutan kota, sampai juga Jaman di depan sebuah perusahaan besar, tempat dimana Mimi dan Tami bekerja. Jaman bertemu dengan Satpam paling depan. Namanya Rukmana. Ia mengatakan ingin bertemu dengan Mimi. Tapi hari itu menunjukan pukul 11 siang, sementara semua pekerja sedang sibuk. Termasuk juga Mimi dan Tami. Kedua perempuan itu ditempatkan sebagai pekerja bagian gudang, dengan tugas menuliskan keluar-masuk barang.
Pukul dua belas, ketika adzan dhuhur lepas berkumandang, Jaman meminta agar Satpam Rukmana mengizinkannya menemui Mimi. Kemudian Satpam itu menghubungi temannya dengan tugas yang serupa disudut bagian lain, menanyakan Apakah karyawati bernama Mimi bersedia menerima tamu bernama Jaman. Sebentar Jaman menunggu jawaban, namun setelahnya membuat wajahnya merah padam. Mimi menolak bertemu dengannya.
Pintu gerbang besi tertutup rapat. Satpam Rukmana berkata, mungkin Teh Mimi sedang makan di kantin dan tak mau di ganggu. Alasan macam apa itu? Jaman mengumpat. Mimi paling suka ketika makan ia yang menyuapi. Satpam Rukmana masuk ke dalam pos jaganya. Pintu gerbang saja tidak sedikit pun menyisakan celah.
Satpam Rukmana masih bisa melihat keluar melalui dinding kaca dari ruangan posnya saat Jaman mengetuk kaca itu. Satpam Rukmana yang sedang merokok, menggelengkan kepala.
"Jam berapa bubaran kantor?" bertanya Jaman. Satpam itu menunjukan empat jari tangannya. Jaman mendesah. Ia diam disudut gerbang, dekat dengan pohon kersen. Lama menunggu dilanda rindu, karena Waktu bagai terpaku. Membisu Jaman dalam beku. Sampai dadanya nyaris pecah. Ia hampir saja tertidur dengan bersandar pada batang pohon, setelah menghabiskan berbatang-batang rokok. Suara gemuruh pintu gerbang panjang dan besar membuatnya kaget. Mobil juga motor keluar dari sana bersamaan. Jaman menajamkan mata. Perempuan setengah tua dan yang sudah tua, juga kaum lelaki ia abaikan. Mata elangnya masih belum juga menemukan Mimi atau biarlah jika harus bertemu dengan Tami. Sekian lama menanti, ketika mereka yang bubaran kerja sudah tidak lagi nampak, kedua perempuan itu tak jua ia temukan. Sumpah serapah dari mulut Jaman berlimpah memenuhi bumi. Ia mendatangi Satpam Rukmana. Menanyakan kenapa tak ada Mimi. Satpam itu menggeleng dan mengangkat bahu. Kemudian dedikit jawaban dari mulutnya, singkat saja; "tidak tahu." Jaman mengutuknya.
Hari kedua, Jaman sengaja datang menjelang bubatan kantor. Ia hanya menunggu setangah jam, karena akhirnya bubaran kantor tiba juga. Sejak orang pertama keluar gerbang, Jaman telah menyalangkan mata. Bubaran kantor para pekerja bercampur dengan mereka yang mengendarai mobil dan motor, membuat Jaman kelabakan dibuatnya. Saat orang-orang mulai berkerumun keluar gerbang. Kembali Jaman menajamkan mata dan pendengarannya. Bahkan ia sampai menajamkan indera penciuamnnya, karena ia hapal betul minyak wangi yang biasa digunakan Mimi. Berhasil! Ekor mata elangnya menangkap wajah Mimi. Perempuan itu duduk dibelakang jok motor seseorang, dibonceng oleh seorang lelaki. Mereka sudah berada di tepi jalan. Jaman mengejar. Mimi melihatnya kaget namun lesatan motor yang membelah jalanan, membuat perempuan itu lega. Sumpah serapah kembali keluar dari mulut Jaman.
Keesokan hari lagi, Jaman sengaja datang ke kantor itu, tepat saat Jam istirahat tiba. Lebih memuakan karena Satpam Rukmana mengatakan bahwa ia telah diberi pesan bahwa Teh Mimi tidak menerima tamu siapa pun. Jaman jemu harus menunggu bubaran lagi. Apalagi jika tetap tidak bertemu. Gerbang besar bergeser. Mata Jaman memincing. Belum mobil itu keluar, Jaman telah mendahului menerobos masuk dengan berlari. Sebentar ia kebingungan juga karena tidak tahu dimana letak kantin. Namun demi melihat sekumpulan orang-orang berjalan ke arah kanan pojok, akhirnya ia berlari menuju kesana.
Satpam Rukmana panik, ia gegas menghubungi rekan-rekan lainnya dengan alat komunikasi yang ada digenggaman. Agak gugup Satpam Rukmana karena harus sekalian memastikan mobil aman keluar hingga melintas di jalanan. Empat Satpam berlarian ke arah yang disebutkan Rukmana. Setelah beres menutup kembali pintu gerbang, Satpam Rukmana berlari ke arah dimana lelaki sialan menghilang.
Saat itu Mimi serta Tami sedang duduk berhadap-hadapan dengan dua orang lelaki dan meja mereka penuh oleh makanan serta minuman. Mendadak dua perempuan itu harus terperanjat saat dari kejauhan melihat Jaman berlari cepat menuju kearahnya. Kantin belum terlalu ramai karena orang-orang masih berangsur berdatangan. Mimi dan Tami beranjak cepat, saat mata Jaman tertuju menusuk memandang mereka. Kedua teman lelakinya bingung, namun sebentar saja karena kedatangan Jaman yang kasar menggugah semua yang ada disana.
"Kau...." Jaman menunjuk Mimi. Perempuan itu memeluk Tami erat, tidak berani menatap Jaman. Tami sendiri menunduk.
"Hai, siapa kau datang seenak perut, mengacaukan makan siang orang?!" salah seorang lelaki yang tadi bersama Mimi dan Tami, dengan dandanan perlente, berusia 30 tahunan, berpakaian kemeja coklat, mendorong dada Jaman. Jaman menoleh ke arahnya. Tatapannya buas. Anggara, lelaki itu sampai tercekat melihatnya.
"Bajingan, siapa dirimu? Mau kuhajar kau!" bentak seorang lelaki lain, berusia sama dengan Anggara. Ia berkemeja putih, Handri namanya. Jaman menoleh kearahnya dengan tatapan yang masih ganas. Sebelum pukulan Jaman tiba menghajar Handri, urung karena kedua tangan lelaki itu mendadak kuat dipegangi oleh dua orang lelaki berbadan kokoh. Jaman mencoba berontak, namun kedua tangan Satpam itu begitu kuat, erat mengunci kedua tangannya. Dua Satpam lain mendorong dada Jaman hingga terhuyung ke belakang. Jaman mengamuk disana. Satpam Rukmana datang. Ia menghela napas lega. Jaman diseret oleh keempat Satpam. Pak Rukmana meminta maaf kepada banyak orang yang ada disana.
"Kerja yang benar, pak. Aneh, gembel bisa masuk seperti itu!" maki Anggara.
"Sudah bosan kerja disini, pak?!" umpat Handri. Satpam Rukmana membungkuk dalam kemudian membalikan badan menyusul rekan-rekannya.
Mimi dan Tami bermuka pucat saling berpandangan.
***
Di rumah, Jaman murka. Saat Barli dan Darma sedang minum arak. Berkali-kali kepalan tangan Jaman memukul dinding. Suaranya berdebam-debam. Darma dan Barli menyeringai melihat cat dinding kecil-kecil mengelupas, meninggalkan tetesan darah. Barli berdiri, menyodorkan sebotol minuman. Jaman menoleh.
"Kau tidak akan minum ini. Tapi kau bisa menghancurkannya." ujar Barli perlahan. Jaman menerima botol ditangan Barli. Leher botol dalam genggamannya. Barli agak menjauh. Darma memalingkan muka. Beberapa detik kemudian, terdengar keras benturan botol kaca menghantam dinding. Pecahan beling berhamburan, begitu juga dengan cairannya. Serpihannya terlempar kian kemari. Beberapa bagian kulit tangan Jaman tergores dan menyisakan luka berdarah. Darma melirik potongan beling yang tadi mengenai pergelangan kakinya. Ada sedikit goresan disana yang meneteskan Darah. Badan Barli sendiri hanya tersentuh serpihan kecil yang tidak berarti.
Jaman duduk memeluk lutut disudut dekat jendela. Cairan dan kaca beling berserakan di atas lantai, basah dan kilatannya bagai berlian. Darma melemparkan sebungkus rokok kearah Jaman. Dingin mata Jaman melihat bungkus rokok dekat dengan kakinya. Ia menatap Darma dengan pandangan muak.
"Keparat, apa kau ingin membuatku lebih tersiksa tanpa menyertakan korek apinya?" ujarnya parau. Darma terkekeh. Giliran Barli melemparkan korek gasnya. Jaman menyulut rokok. Menghisapnya dalam dan hembusan asap rokok membumbung membentuk awan di bawah langit-langit. Barli dan Darma kembali menikmati minumannya. Beberapa saat, hening itu lenyap.
"Perempuan itu.... " dengan suara parau, Jaman singkat menceritakan semuanya. Darma melirik ke arah Barli. Karibmya itu melaknat.
"Kutunggu besok siang ditempat yang sama." ujar Barli. Ia keluar, menderukan motornya hingga raungannya sebentar saja hilang dari pendengaran. Jaman dan Darma berpandangan.
***
Memucat wajah kedua perempuan itu ketika Rukmana menyampaikan pesan agar Tami dan Mimi datang segera ke ruangan pimpinan. Rukmana menerima pesan itu sendiri dari seorang Katalina. Rukmana cepat tanggap. Ia tidak ingin gara-gara pekerjaan yang lambat, menurunkan prestasinya sebagai karyawan di perusahaan.
Mimi dan Tami berpegangan tangan menaiki lantai lima. Sekretaris Katalina menyambutnya hangat. Ia meminta Mimi dan Tami gegas masuk ke ruangan yang tidak asing bagi mereka. Katanya, sudah ada yang menunggu kedatangan mereka.