Bab 11
Hal yag paling menyenangkan dalam hidup adalah melakuan sesuatu yang menurut orang, anda takan bisa melakukannya.
Walter Bagehot. (Analis politik, Ekonom, dan Jurnalis asal Inggris)
Minggu pagi, Mimi dan Tami berkunjung ke rumah kontrakan tiga lelaki aneh. Saat itu Darma tengah melakukan Push Up. Sementara Barli sedang melihat-lihat majalah motor. Ini kali pertama buat dua perempuan itu muncul disana, setelah peristiwa Barli di kantin. Ada yang berubah di rumah itu. Selain poster Muhammad Ali dan Bruce Lee yang tertempel di dinding menjadi sedikit lebih banyak, juga kalender tahun 1995 tergantung disana. Mimi dan Tami duduk diatas karpet.
Masih melakukan Push Up, Darma menjelaskan bahwa Jaman menghilang entah kemana.
"Kupikir kau sudah tidak peduli dengannya?" ujar Darma kemudian berdiri ketika Mimi masih memandangnya tak percaya. Darma sendiri tak bereaksi apapun. Mimi menatap Darma kesal. Lelaki itu meneguk air putih membuat tenggorokan terasa segar. Badannya basah oleh peluh. Tato dua macan hitam bersilangan dengan wajah bengis tampak mengkilap di punggung saat ia membalikan badan dan meneguk kembali air putihnya.
"Kalian tidak pernah tahu, jika setiap hari aku menantinya dengan cemas?" ketus Mimi. Barli yang menyeringai.
"Bukankah sudah ada penggantinya?" ujarnya sambil menutup majalah. Mimi menoleh ke arah Barli. Pandangannya galak. Lelaki itu memalingkan wajah.
"Untuk masalah lain, kalian memang baik. Tetapi persoalan cinta, kalian sepertinya lelaki bodoh." berkata Tami. Memerah wajah Darma dan Barli. Tak berapa lama, seseorang datang mengucap salam dan berdiri di teras. Seorang perempuan cantik membawa keranjang plastik dengan ukuran cukup besar. Di samping kanan dan kiri perempuan tersebut berdiri dua orang anak kecil. Mereka tampak lucu-lucu. Berusia sekitar 9 dan 7 tahuan. Anak agak besar berkulit coklat dengan rambut sebahu, sementara kulit adiknya putih dan memiliki rambut panjang sepinggang.
Perempuan itu menawarkan dagangan yang berada dalam keranjangnya, berisi belasan nasi kuning yang telah dibungkus rapih juga goreng-gorengan lainnya. Tami dan Mimi dengan ceria mencubiti pipi kedua anak itu sambil mengambil empat bungkus nasi kuning berikut sepuluh tempe goreng yang telah dibalut terigu dan daun bawang terlihat menggoda diatasnya.
Perempuan itu bernama Gisni, tinggal bersama suami dan anak mereka. Kasih kelas tiga SD serta Tirai kelas satu SD. Usia Gisni berkisar 30 tahunan. Ramah dan penuh senyum. Rupanya mereka penghuni kontrakan yang sama. Mereka mendiami rumah nomer dua baru tiga hari. Barli dan Jaman saja baru mengetahui hal itu karena mereka semua lebih banyak sibuk dengan urusan masing-masing. Kasih dan Tirai, bersembunyi di belakang tubuh ibunya ketika mereka melihat tubuh Darma yang bertato saat membelakangi mengambil minum. Tami dan Mimi sampai tertawa. Tami berkata kepada dua anak kecil itu, kalau Om itu baik meskipun wajahnya jelek dan bertato. Darma bersungut lalu tersenyum tipis.
Barli membayar semua jajanan mereka dengan tidak lupa memberikan pengembaliannya kepada dua anak lucu-lucu. Mereka sesaat ragu seraya menatap ibunya. Gisni mengangguk kecil, membuat mereka gembira menerima pemberian dari Barli. Kata mereka, buat bekal sekolah. Gisni sangat berterima kasih karena dagangannya telah dibeli juga atas pemberian kepada anaknya. Bersama kedua anaknya, ia kembali berkeliling menjajakan dagangan ke setiap orang yang mereka temui.
Darma yang paling lahap menyantap makan meski ia masih tidak terima saat Tami mengatakannya jelek didepan anak-anak tadi.
"Tapi kenapa masih belum punya pacar?" Mimi bertanya mengejek. Seketika Darma teringat Sari, karenanya ia nyaris tidak bisa menelan makanan jika tidak segera meneguk air putih. Tami mencibir. Barli makan sambil melihat lagi majalah.
"Kau sendiri belum punya pacar," balas Darma. Tami memberengut. Ia melihat Barli dengan pandangan kesal.
"Semua gara-gara dia." ujarnya. Mimi tertawa pelan. Darma mengerenyit.
"Kenapa dengan perempuan ini?" berkata Darma sambil memandang Barli. Barli mengangkat wajah, menoleh.
"Kenapa?" tanyanya tolol.
"Katanya, gara-gara kau sehingga dia tidak punya pacar." ujar Darma. Barli mengangkat alis. Menggeleng. Mimi sampai tertawa.
"Kau mengatakan kepada kepala gudang kalau kami calon istrimu!" kesal Tami. Barli seperti mengingat sesuatu. Kemudian menyeringai. Kejadian di kantin, semuanya. Ia mengekeh. Tami mengambil sebungkus rokok yang tergeletak di lantai, dan melemparkan kepada Barli. Semenjak kejadian di kantin itu, semua orang disana, menjadi segan pada Tami juga Mimi. Anggara dan Handri menjauhi mereka. Tami memupus harapannya kepada Handri. Rupanya lelaki itu telah mendengar kabar yang tertiup angin sampai menembus ke dalam gendang telinganya. Anggara sendiri sudah menyiapkan nyali cukup lama, untuk bisa mengungkapkan isi hatinya kepada Mimi, lebih memilih mundur dalam waktu sekejap.
"Memang kalian suka kepada laki-laki seperti mereka?" ujar Barli. Mimi cepat menggeleng. Tami terdiam. Kemudian menggeleng juga. Barli mengangguk, lalu kembali meneruskan makan dan melihat majalah.
Semenjak kejadian itu, Handri tidak perlu menunggu apalagi mengantarkan Tami jika bubaran kantor. Serupa dengan Anggara, Mimi dibiarkan begitu saja. Apalagi sebelumnya perempuan itu berkata kalau lelaki gembel yang ditangkap Satpam adalah kekasihnya. Namun Anggara masih tidak peduli dan meminta Mimi memutuskan berandalan itu demi kebaikannya. Tetapi, kabar yang mengatakan Mimi adalah calon istri seorang Barli, anak dari pemilik perusahaan dimana ia bekerja, maka Anggara segera menutup buku cintanya kepada Mimi. Ia masih harus mengejar karirnya sementara perkara perempuan masih banyak ditempat kerja atau bahkan diluaran sana.
Selesai makan, kedua perempuan itu menuju rumah kontrakan mereka. Hari itu Teh Ratih sedang libur. Katanya sedang tidak enak badan. Mereka berpelukan melepas rindu. Teh Ratih membantu mereka membereskan barang-barang kecil dan pakaian milik Tami dan Mimi. Sementara kasur mereka dibiarkan begitu saja disana. Di rumah kontrakan mereka yang baru, dengan sisa uang yang ada, mereka masih mampu membeli kasur baru dengan harga murah dan beberapa helai pakaian buat ganti. Sengaja mereka mengontrak rumah baru karena jaraknya dengan tempat kerja tidak terlalu jauh.
Jaman tetap tidak bisa ditemukan, meski Darma dan Barli mencari ke rumahnya, bertemu dengan kedua orang tua dan adiknya, dimana mereka juga tidak mengetahui keberadaan Jaman. Sebelumnya Barli dan Darma pun ragu jika Jaman akan berada disana, tetapi rasa penasaran telah menggiring mereka sampai ke tempat itu. Banyak pula dari teman-teman Jaman telah mereka datangi, namun lelaki tersebut tetap tidak diketahui rimbanya. Bahkan mereka sampai ke desa Dataran Tinggi dan bertemu dengan Dudu serta Kang Jalu Arsy, namun Jaman bagai ditelan bumi.
***
Mimi sampai menyesali sikapnya sendiri dan lelah menunggu lelaki itu karenanya. Seminggu sekali jika tidak Barli maka Darma melaporkan kegagalan mereka padanya. Di tempat kerja, di kamar kontrakan, perempuan itu lebih sering melamun dan berniat untuk keluar kerja lalu pulang ke desa, tinggal disana, melupakan semua hal yang bersangkutan dengan kota, jika Tami tidak segera mengingatkan sekaligus memberinya semangat. Tinggal di desa belum tentu semua akan baik-baik saja, apalagi bila ingatan masih dipenuhi kenangan. Belum lagi apa yang akan dipersembahkan kepada keluarga di desa jika uang saja tak punya. Kita malah akan melihat kesedihan mereka karena menganggap kita hancur serta cibiran tetangga yang nista.
Akhirnya Mimi kembali memaksakan diri meneruskan hidupnya. Ia menyibukan diri dengan pekerjaan sampai dirinya lelah, hingga ketika selesai bekerja, ia akan lebih cepat tertidur. Sialnya semakin hari, rasa kantuk itu ada, namun nyenyak tidak bisa ia dapatkan. Lelaki bernama Jaman kembali lagi mengusik pikirannya. Mimi sendiri sampai muak dibuatnya. Tami malah takut sahabatnya itu bunuh diri. Tetapi Mimi meyakinkan, ia tidak akan pernah melakukan itu, lebih baik ia gila saja karena terlalu berat menahan rindu.
"Sikapnya telah merubah semua pandanganku kepada laki-laki. Aku seperti menemukan cintaku yang hilang sejak lama." desah Mimi. Tentu saja cinta perempuan itu berkobar kepada seorang Gardin hingga Mimi menyerahkan segalanya. Lalu cinta itu hilang ketika lelaki itu menjerumuskannya ke sarang pelacuran, hingga lama Mimi terpenjara disana. Sebaliknya, kehadiran Jaman membuat Mimi akhirnya memilih meninggalkan semua dunia hitamnya. Lelaki itu memperlakukan Mimi, sungguh, bagai perempuan agung. Mimi sampai tidak percaya dengan semuanya.
"Kelak kau akan kembali menemukannya. Jika pun tidak, akan ada lelaki seperti dia untukmu." ujar Tami mencoba memberikan obat penawar. Mimi menggeleng cepat.
"Aku hanya ingin menginginkannya. Tidak dengan yang lainnya. Atau aku gila saja karenanya!" lirih Mimi. Tami mendesah, memeluknya.
***
Lanjutan Babak terakhir pertandingan sepak bola antara Jabersa melawan Persera, sampai juga ke telinga Darma dan Barli. Mereka akan menontonnya siang nanti. Katanya pertandingan hanya memakan waktu 15 menit saja, waktu yang tersisa saat akhirnya terjadi kericuhan. Ketika waktu telah tiba, ternyata pertandingan berakhir dimenangkan persera dengan skor 3-2. Gegap gempita terjadi karena perserikatan tersebut berhasil merebut piala dan mendapatkan domba sebagai hadiah yang menakjubkan. Belum lagi bonus dari Pak RW diperoleh oleh para pemain bola tersebut.
Dari semua keriuhan, Darma menemukan Jaman yang hendak melangkah pergi.
"Dunia terlalu kecil untukmu. Untuk kita." Darma berseru sambil terkekeh. Jaman membalikan badan. Menyeringai. Darma mengajaknya dengan isyarat kepala, mengajaknya pergi ke suatu tempat.