Kekasih Tanpa Wajah

rhee
Chapter #12

Chapter#12 Stensil Dan Pacar Cina

Bab 12

 

Ada dua jenis manusia; Mereka yang mengukir sejarah dan mereka yang menjalaninya.

 Camilo jose Cela (Penulis Spanyol, peraih Nobel Sastra 1989)

 

Sudah lima kali malam, Darma bersembunyi dibalik sebuah pohon besar dan tinggi, tidak jauh dari lapak arak. Tiga kali pula ia melihat Baban keluar-masuk tempat itu. Nyaris tiap malam biadab itu mabuk disana. Padahal masih ada beberapa lapak arak yang tidak jauh dari sana. Jika tidak sedang menunggu perempuan itu, ingin rasanya Darma memghantamkan alas sepatunya untuk meluluh-lantakan Si hidung paruh burung tersebut.

Malam keenam, perempuan itu nyata datang. Ini benar-benar menakjubkan, membuat Darma terkessima sekian lama. Kali pertama rasanya ia baru mensyukuri karena telah dikaruniai sepasang mata oleh Tuhan. Penglihatannya sungguh benar-benar telah membuat darahnya mengalir tiada menentu.

Darma memandang lekat kepada Perempuan yang masuk ke dalam lapak arak. Jantung lelaki itu berdetak lebih keras dari biasanya. Ia masih menunggu. terkutuk, kenapa waktu bagai lambat bergerak? Semua begitu terasa lama. Apakah uang pembelian perempuan itu hilang karena kecopetan hingga ia gelagapan dan risau disana? Atau Mang Toban dan Bi Marnah kehabisan persediaan minuman karena si biadab Baban memborong semua? Atau Si Baban akhirnya menggoda Sari karena perempuan-perempuan langganannya tiada lagi berkutik melawan dia? Bukankah mereka suka juga main keroyokan buat memuaskan napsu birahi si jahanam itu? Tante Rosma harus melihat semua biar ia tidak lagi mempertahankan suami alas nerakanya. Gumam Darma sendirian.

Oh, Tuhan pencipta semesta dan segala isi, akhirnya perempuan itu keluar juga dari lapak arak. Desis Darma. Napas lelaki itu terengah. Kesiur angin dingin ia persetankan. Gegas ia melangkah mendekat. Angkot sudah berhenti di depan perempuan itu. Darma memaki. Bedebah, darimana munculnya kendaraan itu, hingga ia tak mengetahui sebelumnya. Bagai kendaraan hantu tiba-tiba muncul begitu saja.

Hampir saja angkutan kota kembali melesat jika Darma tidak melambaikan tangan. Dari kaca spion, sang pengemudi bisa melihatnya. Ia menunggu. Darma berlari dan melompat masuk kedalam. Hanya ada lima penumpang disana, termasuk perempuan yang raut wajahnya mengisi aliran darah Darma. Perempuan itu sekilas menatap Darma. Lelaki itu nyaris saja berhenti detak jantungnya. Darma mendesis. Tuhan, jika memang Engkau yang menciptakannya, berikan saja dirinya untukku. Akan kupelihara raga dan jiwanya. Kurawat hingga Kau tidak kecewa padaku. Bahkan bila perlu, akan kumandikan dia dengan arak termahal di muka bumi ini.

Beberapa kali angkutan kota berhenti untuk menurunkan dan menaikan penumpang. Perempuan itu duduk tepat dibelakang kursi sopir, sementara Darma duduk disudut kiri paling belakang. Ia menatap perempuan itu tak habis-habis, membuat getar nadinya laksana dawai gitar yang dibetot pemabuk gila, kuat dan menghentak serta nyaris putus.

Angkot berhenti. Perempuan itu bangkit, membungkuk keluar angkot. Darma sigap beranjak sebelum si sopir menggerutu seperti pengemudi yang dulu. Setelah membayar ongkos, Darma terpaku memandang perempuan yang melanglah didepannya. Kepada Tuhan yang di Agungkan oleh mereka yang mendirikan masjid-masjid besar, jadikan aku sebagai kekasih perempuan itu. Darma komat-kamit lalu kemudian mengejar Sari, perempuan yang menyiksa tidur dan terjaganya.

Mereka memasuki jalanan sepi. Ruas jalan yang cukup lebar dan luas untuk dilalui dua mobil sekaligus.

"Hai... " seru Darma memanggil bersamaan dengan seekor kelelawar hinggap di ranting pohon dan berhasil mencengkram sebuah jambu kelutuk yang telah menguning. Perempuan itu menoleh agak kaget. Ia mengedarkan pandang. Darma mengangguk, meyakinkan perempuan itu kalau dirinyalah yang dipanggil. Tentu saja, karena tak ada lagi orang disekitaran sana. Satu-dua motor serta mobil melintas. Gelap menghardik malam yang lindap oleh lampu jalan. Sesungguhnya mendung saat itu namun bentangan langit pekat membiaskan seluruhnya.

"Siapa namamu?" Darma mengajukan tanya, setelah lebih dekat dengan perempuan itu. Ranum Sari mengulum senyum. Ia merasa aneh, ada lelaki tanpa basa-basa langsung menanyakan nama. Ia pernah melihat Darma sebelumnya. Setelah melepas senyum, perempuan itu menjawab;

"Sari. Ranum Sari."

Giliran Darma menelan ludah. Siapa gerangan orang tua perempuan ini yang telah menyematkan nama indah kepada putri cantiknya? Apakah sejak dilahirkan Ranum Sari sudah menampakan kejelitaan hingga orangtuanya memantaskan nama untuknya?

Petir berkilat. Ranum Sari tersentak. Ia hendak undur diri karena hari sepertinya sebentar lagi hujan, namun Darma terlanjur menawarkan jasa untuk mengantar sampai rumah dengan pula membawakan jinjingan kantong plastik perempuan itu. Ranum Sari tak kuasa menolak. Ia hanya meringis saja ketika Darma berkata dengan suaranya yang bergetar;

"Mungkinkah kita bisa bertemu esok ditempat pemberhentian angkot tadi?"

Seharusnya senyap karena saling diam. Namun, suara sepatu kulit setinggi mata kaki warna kopi milik Darma telah membunuh sepi. Darma masih menunggu dengan hati terajam cemas.

"Atau aku mengunjungi rumahmu saja?" usul Darma. Jawaban ini cepat, bahkan terlampau singkat. Ranum Sari menggeleng sigap. Darma tercekat dengan dahi mengerut gundah.

"Tidak perlu ke rumah. Biar kutunggu saja ditempat tadi." suaranya mendadak agak serak. Darma yang melanglah disampingnya menatap sebentar, ketika perempuan itu mengambil jinjingan dari tangannya.

"Sampai sini saja." ujarnya lirih.

"Siang saja, aku menunggu disana." lanjutnya. Kemudian melangkah tergesa setelah menyebutkan jam untuk pertemuan mereka nanti. Darma terpaku. Menatap Ranum Sari yang tinggal beberapa langkah saja akan tiba di rumahnya.

Lelaki itu masih tertegun. Rinai mulai turun. Senyum bahagia terulas di bibirnya. Ia melompat bagai binatang pemburu menyergap mangsa. Teriakannya keras berbalas dengan geledek yang menggelegar. Darma membalikan badan, berlari mencari tumpangan yang bisa mengantarkannya keperaduan. Gerimis mulai ruah membasuh tubuhnya.

Semakin malam hujan kian deras. Kilatan petir menyambar-nyambar kemudian guntur menggelegar. Tempias membasahi beranda rumah meninggalkan kotor dan becek. Terus-menerus semakin kuyup dan penuh bercakan tanah pekarangan.

Basah melimpah di sekujur tubuh Darma. Tapi rasa dingin itu sirna dalam sejenak. Betapa tidak, membayangkan pertemuan esok saja membuat aliran darah dalam tubuhnya begitu memanas. Dari tungku api mana yang bisa dalam sekejap mengeringkan kuyup di seluruh badan? Lelaki itu terkekeh. Ia meneguk minumannya. Tubuhnya tidak saja semakin membara juga menggelora!

***

Entah siapa awalnya yang menyebut bahwa jembatan penyeberangan yang membelah jalan Ahmad Yani, wilayah Cicadas itu bernama Pacinko. Beberapa orangtua dulu menerjemahkannya dengan kalimat; Pasukan Cina Kota. Entah apa maksud dari semua.

Lihat selengkapnya