Bab 13
Ketika anda menyalahkan orang lain, anda menyia-nyiakan kekuatan anda untuk berubah.
Dr. Robert Anthony (Psikoterapis dan penulis Asal Amerika Serikat).
Hari minggu jam 11 siang, Tami rebahan sendiri di kamar kontrakannya. Mimi katanya akan mengunjungi Jaman. Tami ragu, namun ia tidak punya hak untuk memastikan. Tami sendiri sekarang sedang mabuk kepayang oleh seorang Duda. Oh, ini cinta ketiganya karena di desa ia pernah jatuh cinta dua kali. Pertama dengan teman sekolahnya dan kedua ketika Tami berusia 17 tahun, ia menjalin hubungan dengan lelaki bernama Anda, berusia 22 tahun, lelaki berbeda desa. Bahkan kegadisan Tami sendiri direnggut olehnya, lalu setelahnya Tami ditinggal pergi karena laki-laki itu harus bekerja keluar negeri. Setahun Tami menunggu kedatangan laki-laki itu, namun semua semu. Tak ada kabar darinya meski sekata. Sumpahnya untuk menikahi Tami hanya bualan belaka.
Tami terluka keluar dari desa dan kota Bandung adalah tujuannya. Berbekal uang seadanya yang diberi kedua orang tua, serta ijazah sekolah yang tak seberapa, Tami mengadu nasib. Di kota yang asing baginya, ia tinggal di rumah kontrakan murah, dipinggir sungai berbau sampah. Berminggu ia melamar kerja, semua hampa. Perbekalannya habis. Untuk makan saja ia kesulitan. Sampai akhirnya, ia bertemu dengan Dodeh di dekat rel kereta api, ketika asa Tami nyaris kandas. Dodeh bagai dewi penolong buat Tami karena menjanjikan sebuah pekerjaan dengan penghasilan besar. Dodeh ternyata seorang mucikari. Tami tak kuasa menolak meski ia harus menjadi lonte, di rumah pelacuran Ayah Goli.
Ini kali pertama kota Bandung memberinya cinta, yang membuat hatinya berbunga. Libur kerja, selain Tami bisa beristirahat dengan leluasa, juga mengenang hari-hari indahnya. Ia tersenyum sendiri menatap langit-langit kamar.
Delta, lelaki berusia 30 tahun dan duda tanpa anak. Ia mengejar Tami saat perempuan itu selesai berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari disebuah pasar swalayan. Ketika di pelataran parkir, lelaki dengan rambut tersisir rapih dan dibiarkan basah, menghampiri Tami yang cukup kerepotan dengan barang belanjaan.
"Mungkin bisa kubantu?" tawarnya. Suaranya berat menunjukan lelaki penuh wibawa. Tami tergagap. Ia agak terpana melihat ketampanan lelaki didepannya. Tuhan, jangan sampai aku menyukainya. Batin Tami. Namun ketika semua belanjaan Tami dibawa lalu kemudian dimasukan ke dalam sebuah mobil, perempuan itu terpaku. Lelaki itu pun telah membukakan pintu mobil untuknya.
"Silahkan. Hari masih terlalu siang jika aku harus menculikmu," lelaki itu tersenyum ramah. Tami menelan ludah. Dengan kikuk ia masuk dan duduk di kursi depan. Ia gugup saat dengan santai lelaki itu berkali-kali menoleh, disela ia mengemudikan kendaraannya. Perjalanan mereka tidak memakan waktu lama, karena mobil telah sampai di mulut jalan rumah kontrakan Tami.
Delta, lelaki berusia 40 tahun. Ia bekerja sebagai manager produksi sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pembuatan kain pembungkus terigu. Sejak peristiwa itu, Delta sering menjemput Tami sepulang kerja. Saat itu Mimi masih ikut serta, hingga hari ke sepuluh, sahabatnya tersebut memilih pulang dengan angkutan umum saja, katanya juga sekalian Mimi akan membeli satu keperluan.
Di rumah kontrakan, Tami dan Delta lahap menikmati Nasi Goreng yang mereka beli di sebuah kedai tak jauh dengan rumah kontrakan. Lelaki itu bukan seorang perokok, namun sesekali memakan permen. Ia juga tidak minum kopi, melainkan jus buah. Katanya itu baik buat kulit dan tubuhnya. Delta orang yang peduli dengan kesehatan. Ia juga gemar berolahraga dan memiliki kartu keanggotaan disalah satu pusat kebugaran.
Sampai jam 10 malam, Delta pamitan dan Mimi masih belum kembali. Menjelang pukul 12 malam Mimi baru tiba. Katanya, jalan-jalan melihat keindahan kota sekalian berbelanja pakaian, kemudian sehelai baju baru ia tunjukan. Tami mengangguk saja walau keraguan terselip disisi hatinya.
Delta lelaki yang baik buat Tami. Tidak jarang ia mengajak Tami untuk makan malam di tempat-tempat yang perempuan itu belum pernah merasakan berada disana sebelumnya.
***
Jaman menatap Mimi. Perempuan itu membalasnya. Kerinduan yang sama menyeruak di dada mereka. Kedua mata bening milik Mimi tampak sayu. Jaman menelan ludah. Lidahnya kelu.
"Aku lama menunggumu," desah Mimi serak. Jaman tertegun.
"Kau menghindariku, " ujar Jaman menyeringai. Mimi tersenyum pahit. Kemudian kedua telapak tangannya meraih kedua pipi Jaman.
"Sungguh, aku mencintaimu," desah Mimi. Wajah lelaki itu memanas. Mimi merasakan itu. Merah raut muka Jaman.
"Aku yakin, kau akan menjadi suami yang baik, kelak jika kau menikah dengan siapa pun perempuannya." lanjut Mimi lirih. Ada sayatan pisau menggores hatinya. Kedua mata mereka saling menatap, meratap dalam bisu.
"Entah kau sedang bicara apa," suara Jaman berat. Mimi tersenyum. Ada empedu dalam ulasan bibirnya.