Bab15
Kalau engkau ingin dekat dengan Tuhan. Dekatlah dengan orang-orang yang menderita, sengsara dan mereka yang nestapa.
Prof. Dr. K.H. Abdul Syakur Yasin MA.
( Buya Syakur, 04-02.1948 / 17-01-2024. )
Pendiri, Pengasuh, Pemimpin Pondok Pesantren CadangPinggan, Indramayu.)
Malam itu Barli telah berjanji untuk bertemu dengan perempuan yang sejak lama ia kenal. Perempuan yang menawan, dimana ketika pertama mereka bertemu di lapak arak, seketika saja Barli mencintainya. Ia mengejar, mengikuti dan membantunya membawakan jinjingan kantong plastik hitam berisi beberapa botol minuman keras.
Barli menatapnya kagum. Ranum Sari, tampak lebih cantik dari biasanya. Pekat malam tiba-tiba lenyap tertelan pesonanya. Barli sampai menatap lekat sebelum akhirnya mereka melaju dengan motor ke arah jembatan penyeberangan pacinko. Ranum Sari pernah pergi ke alun-alun, Braga, atau sekitaran Gedung Sate, ke Dago, kemana saja di kota Bandung yang kata kebanyakan orang tempatnya menarik serta indah. Namun, perempuan ini lebih suka ke Cicadas dan memilih jembatan penyebrangan untuk dirinya menatap berlama-lama arus lalu-lintas dibawahnya. Sungguh kenangan masa kecil ketika bersama ayahnya begitu melekat dan tak bisa lagi dienyahkan. Meski tidak dengan siapa-siapa, Ranum Sari memilih tempat itu saja buat melepaskan penat pikirannya.
Berdiri dekat birai, menatap ke bawah, memandang lurus ke depan, melihat lampu-lampu pertokoan, atau bangunan kota gemerlap. Lampu dari setiap kendaraan yang melintas dibawahnya menambahi terang jalanan.
"Aku melihatmu dengan laki-laki lain, juga disini," Barli tidak pandai basa-basi. Ia berdiri di samping perempuan itu. Tatapan mereka sama-sama melihat ke bawah. Ranum Sari menolehkan kepala, memandangi lelaki itu. Wajah Ranum Sari memerah, sebentar kemudian memucat. Ia menelan ludah.
"Dia lelaki yang baik," desah Ranum Sari cemas. Wajahnya tampak semakin pasi. Ia tak menyangka tiga kali kebersamaannya dengan Darma, ketempat yang sama, ternyata telah diiketahui oleh Barli, lelaki yang juga dicintainya.
Barli mengangguk tanpa ragu.
"Dia saudaraku." serak Barli seraya menatap perempuan disampingnya. Air muka Ranum Sari sekarang memerah. Ia tercekat. Barli mengerti jika perempuan itu hendak mengatakan sesuatu, terlihat dari bibirnya yang bergetar, namun tak sepatah kata terlontar dari mulutnya.
"Telah ada pernyataan cinta darinya?" bertanya Barli. Ranum Sari mengangguk.
"Aku menerimanya," desis Ranum Sari nyaris tak terdengar. Barli mengangguk pelan.
"Aku tak bisa menyakiti hati lelaki baik, sepertimu, juga padanya," serak suara Ranum Sari. Barli tertawa berat kemudian tersenyum pahit. Perubahan tawa yang aneh. Sejenak hening.
"Dengan kau menerimanya dan menerimaku, bukankah artinya kau telah menyakiti kami?" Barli berkata sambil melihat lampu dari salah satu papan reklame yang bertengger besar dengan tiang tinggi berdiri di atas trotoar, hingga gambar iklan rokok tersebut terlihat dekat dengan mereka. Barli menyalakan rokok, asap menggumpal di atas, tersapu angin, lenyap. Sejak tadi jantung Ranum Sari tak berhenti menghentak--hentak. Ia merasakan tubuhnya dingin dan semakin beku.
"Kau tidak perlu memilih diantara kami." ujar Barli nada suaranya ada getaran. Ranum Sari menatap Barli. Mereka berpandangan.
"Biarkan kami saja yang akan memilihmu, atau meninggalkanmu," berat dan serak suara Barli. Kelu lidah Ranum. Kedua matanya menyimpan genangan. Seluruh darah dalam tubuhnya kini bahkan terasa bagai tidak beraturan mengalir. Larut makin menyengat. Wajah Ranum Sari laksana rembulan pucat.
Selepas mengantarkan Ranum Sari pulang, Barli menemukan teman-teman berandalnya, tengah berkumpul sambil menenggak minuman keras. Diantara mereka sudah mulai meracau. Barli menggelengkan kepala. Ini salah satu kegilaan. Bagai tak ada tempat lain saja. Mereka berkumpul meminum arak, didepan ruang penyimpanan keranda, samping Masjid. Keadaan memang sudah malam dan sepi. Namun, padatnya penduduk, bisa terganggu juga oleh mereka.
“Kenapa kalian minum disini?” Barli bertanya seraya turun dari motornya, berjongkok dan mengambil satu botol lalu meneguknya. Dadung Peso terkekeh. Ujarnya dengan suara manusia teler;
“Bukannya bagus mabuk disini? Jika diantara kami kemudian ada yang mati, keranda bisa langsung dikeluarkan dari tempatnya.” disambut gelak tawa teman-temannya.
“Itu juga kalau orang masih peduli pada kami.” kekeh Arang berat dan terbata ketika bicara.
“Kurasa kita akan langsung dipendam begitu saja ketanah jika mati,” timpal Osep Bedog. Kembali kekeh kawan-kawannya teedengar.
“Kita hidup saja mereka tak peduli, kita mati mereka malah bersyukur.” tambah Botak Hulu.
“Lagi pula disini mudah kalau kita mau tobat. Kan tinggal ambil air wudhu lalu shalat.” Dogol bicara tak lama kemudian ia terjungkal tetapi masih bisa mengoceh. Kawan-kawannya menertawakannya. Barli bangkit, setelah mengambil beberapa biji kacang kulit, ia berkata;
“Sebaiknya kalian pindah tempat. Seseorang akan tidak suka jika kalian melakukan semua ini di dekat masjid.”
Arang menatap wajah Barli.
“Siapa orangnya, mau kita bacok atau atau bantai sekalian,” ujarnya dengan suara berat menantang.
“Orang itu bersahabat denganku.” ujar Barli ringan. Arang terdiam dan cuit nyali memandang wajah Barli yang mulai membesi. Kemudian Arang menyeringai seraya mengangguk. Ia menunduk mengambil sebotol minum lalu melangkah dengan sempoyongan. Teman-temannya yang masih menyisakan kesadaran, mengikuti. Sementara yang sudah terlanjur tersungkur, dibiarkan begitu saja. Barli berlalu kearah lain. Ia menatap langit yang semakin pekat. Malam semakin tua.