Kekasih Tanpa Wajah

rhee
Chapter #16

Chapter#16 Ratu Mesum

Bab 16

 

Ketika engkau bertekad untuk menjadi orang yang lebih baik, maka Allah akan mendatangkan orang-orang baik di dalam hidupmu untuk menemani langkahmu.

Emha Ainun Nadjib -Cak Nun- (Budayawan)

 

Kios Rokok Mang Ojon nyaris rata dengan tanah. Semua isinya centang-perenang. Banyak orang berlarian, memunguti barang-barang yang masih bisa mereka manfaatkan. Beberapa pemulung mengais-ngais sisanya, berharap ada sesuatu yang bisa mereka jual.

Lima orang lelaki telah membumi-hanguskan tempat itu. Bahkan seorang lelaki diantara mereka, menyumpahi orang-orang yang mengaku tidak tahu keberadaan seorang Ojon. Supriana membara dadanya. Ia hendak lagi mengamuk disana, namun temannya mencoba menyadarkan.

"Kita akan mencari lelaki-lelaki biadab itu. Meski ke ujung neraka sekalipun!" ujarnya mencoba menahan dan meredakan amarah Supriana.

***

 

Sudah dua hari Mimi mangkir kerja dan tidak pernah pulang ke rumah. Malam sepi meradang di jiwa Tami. Lalu ia beranjak keluar rumah. Ia tak punya siapa-siapa lagi disana, kecuali ketiga lelaki baik itu. Ia merindukan mereka semua. Tami hanya menemui Barli disana. Lelaki itu sedang mendengarkan lagu-lagu sendu saat dirinya berdiri di muka pintu yang terbuka.

Barli menatap kedatangan Tami dengan mata sayu. Ia mematikan lagu dari radio tape yang ia bawa dari rumahnya. Disamping terlihat pedang panjang tergeletak begitu saja. Lelaki itu selalu berjaga dari segala kemungkinan. Ia tidak mau menjadi pesakitan lagi gara-gara mendapat serangan tiba-tiba.

Tami masuk dan duduk begitu saja di atas karpet. Tanpa kata apapun, Barli membuatkan kopi susu untuknya. Ia sendiri menenggak beberapa kali minuman keras langsung dari botol. Barli melihat muram di wajah Tami. Begitu sebaliknya, Tami melihat kusam pada air muka Barli.

"Kau tidak bisa menyembunyikan sakit hatimu," tebak Barli langsung. Tami tersenyum getir.

"Kurasa kau pun sama. Kutahu hatimu sedang terluka!" lirih suara Tami. Barli terbatuk beberapa kali. Ia menyumpahi dirinya sendiri. Kemudian tersenyum pahit. Tami lekat menatapnya.

"Jika kau mau sedikit melepaskan beban, aku bisa mendengarkan." Barli yang justru bicara. Tami tersenyum kecut. Kenapa kebanyakan laki-laki selalu menyimpan rapat semua perkara luka dalam hatinya, sungguh Tami tidak memahami. Ia menanyakan keberadaan Jaman dan Darma. Barli mengatakan kalau mereka sedang melakukan perbuatan bodoh. Tami mengerenyitkan kedua alisnya. Sebelum bertanya, kembali Barli berkata. Pergi ke tempat pegadaian untuk menebus barang mereka yang telah sekian lama disimpan disana. Beberapa kali mereka hanya bisa membayar bunganya, agar benda-benda itu tidak dijual ke pihak lain oleh pemilik pegadaian. Tami sampai tersenyum sesaat melupakan koyakan luka hatinya.

***

 Jaman dan Darma saling tatap. Tampak di kaca depan tertulis hurup besar dan jelas; "Tutup". Darma mengumpat. Jaman melaknat. Tidak mungkin rumah pegadaian tutup karena malam belum terlalu tinggi.

"Aku malas jika harus kembali kesini lain waktu." ujar Jaman. Darma mengangguk setuju. Ia mencoba mengetuk pintu, sepi tak ada sahutan, bahkan tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah pun tak ada. Jaman melenguh. Akhirnya mereka membalikan badan, hendak berlalu dan dua langkah mereka terhenti karena mendengar suara jeritan perempuan. Darma dan Jaman kembali berpandangan.

"Kuharap kau mendengar suara tadi," pelan Jaman berkata.

"Seperti suara jeritan dalam film biru." Darma menjawab cepat. Jaman bersungut. Ia berjalan kearah pintu. Mengetuk beberapa kali dengan agak keras. Darma berdiri disampingnya. Jeritan itu kembali terdengar. Cukup jelas dan mereka yakin suara itu dari dalam rumah. Darma sekarang yang mengetuk pintu lebih keras. Beruntung rumah pegadaian memiliki pekarangan yang luas dan jauh dengan penduduk lain.

"Aku khawatir sedang ada tindakan kejahatan di dalam rumah!" desis Jaman. Sekonyong-konyong Darma merapatkan jari-jari tangannya membentuk kepalan.

"Kurasa kita harus mendobrak pintu ini!" ujar Darma. Jaman menghela napas berat. Ia kembali mengetuk pintu lebih keras lagi. Sejenak hening. Darma mulai pasang kuda-kuda. Jaman melihatnya.

"Kau harus pakai jurus ‘Banteng menduduki balsem’ buat meruntuhkan pintu ini!" ujar Jaman.

"Tak pernah kupelajari jurus yang kau sebutkan itu!” dengus Darma.

“Ini kuda-kuda pertahanan. Serangannya bernama ‘Banteng Edan’!" lanjut Darma.

“Ilmu ‘Banteng Edan’ kau pelajari?” Jaman mengajukan tanya seraya kembali mengetuk pintu dengan sangat keras. Darma menggeleng sambil memaki panjang-pendek. Tak berapa lama terdengar suara batuk-batuk dari dalam rumah. Jaman dan Darma, untuk kesekian kalinya bertatapan. Saling menyeringai. Mereka menunggu beberapa saat.

“Redakan dulu ilmu Bantengmu.” ujar Jaman. Darma tersenyum kecut lalu berdiri santai.

Terdengar suara orang menggerutu dan daun pintu bergerak. Tak berapa lama, pintu terkuak sedikit. Wajah Baban tampak disana. Goresan wajahnya yang basah, menyimpan kejengkelan yang hebat. Rambut dan badannya yang bertelanjang dada, juga kuyup. Bagian bawah laki-laki itu hanya memakai celana pendek.

"Ada apa dengan kalian, mengetuk pintu orang seenak perut sendiri, heh?!" umpatnya.

"Kami hanya mau mengambil barang gadaian yang pernah dititipkan disini." ujar Jaman sengak juga. Baban terkekeh. Pintu semakin ia buka lebar.

"Anjing, kalian sekolah dimana sampai tak bisa membaca? Kalian lihat tulisan disana? 'Tutup', goblok!" maki Baban. Memerah wajah Jaman dan Darma.

"Kami malas buat balik lagi kesini. Rumah kami jauh." Darma yang berkata.

"Persetan dengan jarak rumah kalian. Malam ini tutup!" keras dan berat suara Baban. Kemudian ia menatap wajah Darma lekat. Kedua alisnya hendak menaut. Seakan mengingat sesuatu. Darma membalas tatapannya tanpa gentar. Baban menyeringai.

"Bangsat, aku sepertinya pernah lihat wajahmu!" tunjuknya kepada Darma. Baban kembali mencoba mengingat.

"Anjing, ingatanku agak lemah sekarang," ia memaki sendiri. Jaman menyeringai.

"Mungkin aku Malaikat Maut!" kata Darma sambil mendengus. Baban bahak tertawa.

"Terkutuk, jangan main-main denganku. Enyah kalian dari sini sebelum aku bikin kalian merangkak pulang!" ujar Baban sambil mencoba menutup pintu. Urung sebab tangan Jaman menahannya. Baban menatap Jaman sengit.

"Kau belum tahu siapa aku?" ujar Baban sambil melotot memandang Jaman.

Lihat selengkapnya