Bab 18
Menjadi cinta pertama seseorang adalah sesuatu yang indah. Namun tak ada yang lebih sempurna jika kamu menjadi cinta terakhirnya.
Emha Ainun Nadjib (Budayawan)
Kebingungan mendera Barli dan Darma. Barli menatap Tante Rosma. Ujarnya sambil duduk di tepi ranjang.
"Tante harus segera mengambil keputusan,"
Tante Rosma memandangnya.
"Maksudnya, harus kemana kami mengantarkan Tante." tambah Barli.
"Mustahil Tante tetap disini. Bahaya buat keselamatan Tante sendiri." Darma menimpali. Rosma terdiam. Ia tertegun. Menggeleng lemah.
"Tak ada manusia di bumi ini yang bisa menerimaku," desah Rosma.
"Baiklah, semuanya harus cepat. Tante ikut kami saja dulu. Setelah itu, kita pikirkan lebih lanjut." kata Barli.
"Segera Tante berkemas, silahkan ambil apa saja di rumah ini yang diperlukan Tante." ujar Darma saat mendengar erangan Baban. Tante Rosma gegas menuju lemari. Barli membantu membuka lemari saat Tante Rosma mulai menarik pintu lemari satu persatu. Mengeluarkan sesuatu dari sana. Perempuan itu juga meminta Darma mengambilkan tas besar miliknya yang tersimpan di atas lemari.
Barli melihat Tante Rosma berpakaian. Perempuan itu meliriknya. Barli membuang muka malu.
Mereka memasukan pakaian Tante Rosma ke dalam tas besar.
"Harusnya, setelah semua ketegangan ini, aku bisa menenangkan diri dengan kenikmatan." gumam Tante Rosma. Semua pura-pura tak mendengar. Juga tak ada yang berkata. Terakhir Rosma memasukan sejumlah uang yang sangat banyak kedalam tas besarnya tersebut.
"Kalian bisa mengambil uang itu sesuka kalian." tawar Tante Rosma sambil memandang Barli dan Darma bergantian. Masih seperti tadi, tak ada yang bereaksi. Hanya kedua mata lelaki itu lekat menatap Tante Rosma. Perempuan matang yang cantik dan menggoda. Atasan tangan panjang berwarna abu juga rok bawahan hitam semata kaki, membuat Tante Rosma begitu terlihat anggun. Apalagi ketika perempuan tersebut keluar dari kamar mandi yang berada disudut kamar, selesai membasuh wajahnya, Barli dan Darma semakin terpesona.
Tante Rosma tersenyum menyadari itu.
"Kalian pasti terpikat dan mulai menyukaiku." tudingnya. Darma membuang muka. Barli memalingkan wajah. Perempuan itu menarik tiga helai baju milik suaminya dari dalam lemari. Menyimpannya di atas kasur.
"Itu pakaian suamiku. Kalian bisa memakainya daripada bertelanjang dada seperti sekarang." ujarnya. Namun tak seorang pun meraih pakaian itu. Barli malah menemukan bajunya sendiri meski dalam keadaan kusut. Ia tetap memakainya. Darma berhasil menemukan bajunya meski basah. Ia mengumpat dan melemparkan baju tersebut.
Tante Rosma kembali menarik beberapa helai pakaian miliknya. Menyebarkannya di atas kasur.
"Itu pakaianku. Siapa tahu ada yang sesuai dengan kalian." Darma memilih. Ia menemukan beberapa kaos polos, setelah merasa ada yang sesuai, ia segera mengenakannya. Barli latah, ia memilih pula. Selesai menemukan baju yang cocok buatnya, ia melepas baju kusut dan menggantinya. Tiba-tiba terdengar auman keras dan sumpah serapah.
"Anjing biadab, kubunuh kalian semua." suara Baban terdengar berat. Tante Rosma sampai memekik. Baban menggeliat. Mereka semakin gegas berbenah. Barli yang pertama keluar kamar melalui jendela. Sementara Darma menarik kursi, kemudian mempersilahkan Tante Rosma untuk naik keatas jendela setelah melempar tas besar milik perempuan itu keluar kamar. Barli menangkapnya.
Berdiri di atas kursi, Tante Rosma sejenak tertegun. Ia menyapukan pandang bersekeliling. Darma paham. Ia diam menunggu.
"Tak pernah kuduga, aku akan meninggalkan rumah ini. Kamar yang menyimpan berjuta kenangan." lirih suara Tante Rosma. Di luar, Barli menunggu dengan perasaan resah.
"Tak kusangka juga, jika aku akan kembali menjadi janda," lirih Tante Rosma. Darma mendesah gelisah karena terdengar lagi suara berat Baban. Laki-laki itu terlihat mencoba bangkit.
"Akan ada banyak lelaki di luaran sana yang terpikat oleh Tante." bisik Darma. Perempuan itu menyeringai.
"Sayangnya, aku mulai menyukai lelaki-lelaki gagah dan baik macam kalian." desah Tante Rosma.
"Kurasa, hanya sedikit lelaki seperti kalian!" lanjutnya.
"Kau tahu, sebelumnya aku menyukai lelaki buas. Gairahku bangkit karenanya. Kini semua sirna. Entah mengapa setiap melihat kalian, darahku selalu mendidih!" tambah Tante Rosma lagi. Barli yang masih menunggu di luar bawah jendela, mendengar semua. Ia meringis.
"Segera Tante. Suami Tante sudah siuman." kata Darma gundah. Tante Rosma bagai disadarkan. Dibantu Darma, dengan susah payah, ia naik ke atas jendela dan perlahan turun dan Barli menangkap tubuh Tante Rosma. Sepatu berhak rendahnya tidak licin, namun kepanikan membuat Tante Rosma sedikit oleng saat menginjak tanah. Tak lama Darma melompat dari jendela kamar.
"Kau bantu aku berjalan." ujar Tante Rosma kepada Barli. Satu kakinya terasa agak sakit. Darma sudah berjalan mendahului mereka dengan memikul tas besar dipundaknya. Barli merangkulkan lengan Tante Rosma ke bahunya. Tangan ia sendiri memeluk pinggang perempuan itu. Mereka berjalan menembus samar cahaya. Jalanan semakin lengang karena malam semakin luruh.
Sampai di halaman Masjid, Tami menghambur menyambut mereka. Ia mengerenyitkan kening karena Tante Rosma ikut bersama mereka. Perempuan itu tersenyum menatap Tami.
"Terserah kalian hendak bersembunyi dimana. Tunggu saja, aku akan mencari kendaraan." kata Barli. Ia berlalu. Jaman mengajak semua bersembunyi di samping halaman Masjid. Tempat yang tersembunyi dari pandangan orang.
Barli mulai mencoba mengingat alamat rumah Mandor Suadma, lelaki yang sekian lama menjadi pelanggan kedai araknya. Lelaki berusia 45 tahun itu sering mengeluh soal perangai istrinya yang selalu minta uang lebih dari yang ia mampu. Barli hanya mendengarkan dengan seksama. Mereka berbincang lama, sampai lelaki yang bekerja sebagai Mandor pembangunan rumah itu, meminta agar Barli bisa sesekali singgah ke rumahnya. Dan, kini saatnya semua terwujud. Batin Barli. Ia melihat beberapa nomor rumah, hampir seperempat jam, baru kemudian nomor dari alamat rumah yang dituju, berhasil ia temukan.