Bab 19
Dibutuhkan darah dan otak untuk memenangkan perang.
George Smith Patton Jr. (Jendral Angkatan Darat Amerika Serikat, Pada Perang dunia II.)
Pukul 20 lewat 11 menit. Darma masih menunggu perempuan itu di tepi jalan, sambil memperhatikan arus lalu lintas yang ramai. Ini laku rutin, sekali seminggu untuk perempuan itu. Ia berharap agar malam ini, Ranum Sari tidak mengajaknya ke jembatan penyeberangan lagi. Seperti yang dilakukannya kala siang atau malam-malam kemarin. Ia ingin peristiwa yang berbeda. Seperti makan malam, hal umum yang biasa dilakukan sepasang kekasih. Atau mungkin menonton film koboy di bioskop. Bisa pula pergi ke alun-alun kota meski sekedar duduk di tamannya, sambil berbincang mengenai masa depan.
Setengah jam berlalu, Ranum Sari belum juga tiba. Darma sampai mondar-mandir tak menentu di pinggir jalan. Benak Darma mulai dipenuhi banyak tanda-tanya. Ada yang tidak beres, karena tak mungkin Ranum Sari lupa dengan janjinya. Setelah menimbang serius, ia harus menjumpai Ranum Sari. Dimana pun keberadaannya. Tentu ia akan mendatangi rumahnya. Tidak jauh sebenarnya tempat tinggal Ranum Sari dari jalan. Namun entah mengapa, pertemuan terakhir saat Darma menyatakan diri akan menjemput perempuan itu ke rumahnya, dengan tidak lagi menunggunya di tepi jalan, ditolak mentah-mentah oleh Ranum Sari. Darma mengalah. Namun kini, ia harus kesana, agar tahu kenapa perempuan itu tidak kunjung sampai, sementara Darma sudah menunggu jemu.
Mendekati kediaman Ranum Sari, jantung Darma mulai berdetak lebih kencang. Perasaannya mulai tidak enak. Pekarangan rumah telah tampak, Darma mengerenyitkan kening. Di garasi samping rumah terlihat beberapa sepeda motor terparkir, juga sebuah mobil sedan berwarna hitam. Darma semakin mendekati keberadaan rumahnya. Di teras, lima orang sedang duduk dan berbincang dengan sesekali terdengar tawa mereka. Darma menunduk. disebuah tembok tinggi ujung pintu gerbang. Ternyata rumah Ranum Sari sedang kedatangan banyak tamu. Seseorang keluar dari dalam rumah. Pandangan Darma menyipit, lebih menajamkan kedua matanya. Sepertinya, penglihatannya tidak asing dengan orang-orang disana. Darma membungkuk. Rasa penasaran menggugah hatinya. Ia mulai mencari celah agar dirinya bisa lebih dekat dengan mereka.
Pintu pagar besi berteralis setinggi satu meter, dimana langsung menuju kearah garasi tidak tertutup rapat. Perlahan Darma mengendap. Masuk dengan tubuh lebih membungkuk sampai kemudian punggungnya menempel dengan badan mobil. Darma melihat sekeliling. Aman. Melalui kaca jendela mobil, lebih jelas ia memandangi sekelompok orang yang sedang berbincang di teras. Jantungnya berdegup makin keras. Mulutnya melaknat. Matanya nyalang melihat mereka. Anjing kurap, Darma memyumpah. Ia hapal betul, lelaki-lelaki itu. Beberapa dari mereka, wajahnya masih merekat diingatan Darma. Ia yang membawa pisau, dimana Darma dan dua sahabatnya nyaris menemui ajal. Mereka yang tiba-tiba datang mencari Barli dan melakukan penyerangan itu. Wajah masing-masing kembali tergambar jelas di pelupuk mata Darma.
Mereka terlihat terbahak-bahak. Jahanam. Darma memandang dengan muak. Obrolan mereka tak ada yang lucu baginya, menandakan selera humor mereka sangat jelek. Lebih dari itu, tawa mereka hanya merupakan ejekan semata buat Darma. Seseorang keluar lagi dari dalam rumah. Lelaki muda berpakaian rapih. Wajahnya cukup tampan sebenarnya, namun terkesan keji.
"Aku ingin, waktu yang telah kita rencanakan, berjalan lebih baik lagi." ujar Lelaki itu sambil duduk dengan angkuh. Berenam lelaki dewasa mengangguk penuh hormat.
"Sengaja lama kubiarkan mereka seolah aman, agar mereka terlena." ujar Daldaru, lelaki perlente. Semua terkekeh.
"Tapi, rencana kita mengadu domba Si Barli dan Si Darma, tetap terlaksana bos muda?!" bertanya seorang berperut buncit. Dia Gadun. Daldaru menyeringai.
"Tentu. Aku sudah siapkan orang buat mengajak Si Barli datang saat Si Darma sedang berduaan dengan perempuan sundal itu!" jawab Daldaru. Mereka terkekeh.
"Sudah sejak lama kuperingatkan, jauhi lelaki bernama Barli, tapi Ranum lebih memilih keras kepala." dengus Daldaru.
"Malah semakin gila, pacaran dengan Si Darma. Ya baguslah, sekalian kita hancurkan mereka dari dalam,” Daldaru mendengus keras.
“Mereka akan lebih lemah, sampai akhirnya kita tumpas semua!" tambah Daldaru menyeringai.
"Tapi, Bos akan menikahi Ranum Sari, apakah ayah sudah menyetujuinya?" bertanya Rodix seorang dari mereka. Daldaru tersenyum kecut.
"Persetan, meski tidak menyetujuinya, aku akan tetap menikahi perempuan itu!" ujarnya serak. Semua terdiam.
"Apa salahnya saudara tiri menikahi saudara tirinya?!" Daldaru mengumpat. Semua terdiam.
"Tapi, bukankah Si Bangga akan menjadi batu sandungan, Bos?" ujar Parman. Daldaru terkekeh. Bangga, kakak kandung Ranum Sari sudah dalam genggamannya. Obat-obatan dan minuman telah meracuni dan merasuki darah lelaki itu.
Tak lama, seorang perempuan datang membawa nampan penuh gelas berisi kopi. Menyimpannya di atas meja.
"Keluarkan makanan dan botol-botol itu, sayang." ujar Daldaru sambil merangkul pinggang Ranum Sari. Perempuan itu menepiskan, memberontak, dan mengangguk lemah kembali masuk kedalam. Sagir menyeringai melihatnya. Badot tersenyum liar karena diam-diam ia pun menginginkan Ranum Sari.
Menyaksikan dan mendengar perbincangan mereka, apalagi melihat Ranum Sari diperlakukan seperti tadi, membuat seluruh tulang dalam diri Darma bagai mengeras. Darah lelaki itu bagai membeku, kemudian mencair dengan gelegak melewati batas didih. Wajah Darma memerah menahan marah, dan memucat merasakan bongkahan hatinya tercabik dengan sangat buas. Lakon apa ini Tuhan?! Batin Darma keras, mengisi relung hati. Napas lelaki itu terengah. Kedua matanya terpejam. Kedua kakinya masih gemetar saat ia membungkuk hati-hati keluar dari sana. Lututnya benar-benar goyah, nyaris ia terjatuh saat memaksakan berdiri tegak setelah mulai keluar beberapa langkah dari teras garasi.
***
Tiba di rumah, Darma menemui Jaman, Barli, Tante Rosma dan Tami yang sedang berbincang. Lagu ‘Melati Dari Jayagiri’ dari pencipta Iwan Abdurachman, terdengar merdu dari grup Bimbo di radio. Wajah Jaman masih menyisakan luka. Tangisnya jelas tertahan kuat di kedua matanya. Dua tas besar tergeletak disana, katanya itu pakaian milik Tami dan Mimi. Namun Darma tidak melihat Mimi disana. Tentu saja, pengkhianatannya kepada Jaman sudah sangat keterlaluan.
"Aku ingin bicara denganmu." ujar Darma seraya melihat ke arah Barli, lalu ia hendak menaiki anak tangga saat Jaman berkata;
"Sejak kapan diantara kita ada rahasia?" ujarnya berat. Darma menoleh, memandangi Jaman dan Barli. Ia menelan ludah. Tatapannya beralih kepada Tami dan Tante Rosma.
"Mereka telah menjadi bagian dari kita." ujar Barli. Darma sesaat terdiam. Kemudian melangkah lagi mendekati mereka, dengan perlahan duduk dan mendesah. Lidahnya kelu saat akan memulai perkataan. Beberapa kali bibirnya terlihat bergetar. Setelah menghisap rokok, ia menceritakan semua yang dialaminya. Barli sesaat tenang, sampai pada pembahasan mengenai sekelompok orang yang menyerang mereka, kedua mata Barli memerah. Dadanya seketika membara. Napasnya terengah. Akhir dari kisah Darma, semua terdiam.
"Aku sudah bilang kepada Ranum Sari, ia tidak perlu memilih, karena kita yang akan memilihnya. Dan, aku memilih, kau yang mesti memilikinya." serak Barli dengan hati terkoyak. Darma menatapnya. Semua menunggu.
"Kau jauh lebih awal mengenal dan dekat dengannya yang lebih berhak," balas Darma agak terbata. Barli tersenyum perih. Menggeleng.
"Kau lebih baik dariku. Perempuan itu layak mendapatkan lelaki sepertimu." ujar Barli dengan nada suara parau. Darma menghembuskan napas berat. Menggeleng. Tami dan Tante Rosma termangu. Jaman menatapi tajam wajah Barli kemudian Darma.
"Kita tahan sementara urusan itu. Bukankah sebaiknya kita balaskan dendam kita kepada mereka sebelum mereka menghabisi kita?" ujar Jaman berat. Barli dan Darma berpandangan, kemudian mengangguk sepakat.
Sebelumnya mereka hendak bertahan dan menunggu serangan kelompok berandal bayaran itu. Akan tetapi, itu tidak akan mudah diperkirakan. Apalagi jika pihak lawan mempunyai beberapa rencana. Ini akan sangat membahayakan jika tidak segera didahului. Kesulitannya lagi, kelompok mereka tidak diketahui berasal darimana. Barli saja sebagai orang yang lama berada di jalanan, sama sekali tidak mengenali mereka. Maka Barli, Darma dan Jaman, lebih memilih bergerak langsung malam itu juga. Tante Rosma dan Tami tidak mencegah, selain mereka tidak mengerti dengan semua, lagi pula, semua laki-laki itu sama-sama keras kepala.
Lagu ‘Seberkas Sinar’ dari Nike Ardila yang disetel berulang-ulang oleh Tami, kembali sayup terdengar oleh mereka saat mulai menaiki taksi. Beberapa benda mereka bawa. Satu senjata menyelinap di belakang pinggang Barli. Lainnya terbungkus kertas koran, memanjang tersembunyi dipegang Darma. Sepanjang perjalanan itu penuh getaran buat mereka. Semua membisu sampai Barli membayar ongkos taksi dan mereka berlompatan turun di tepian jalan yang tidak terlalu jauh dengan keberadaan rumah Ranum Sari.
Sejak taksi meninggalkan mereka, langkah ketiga lelaki itu penuh kehati-hatian. Mereka berjalan beriringan di pinggir jalan yang mulai semakin sepi. Darma menunjuk beranda rumah. Begundal-begundal itu masih berbincang, berenam dan tidak melihat Daldaru. Begitu pula sedan hitam yang sebelumnya terparkir disana, tempat persembunyian Darma waktu itu.
Beberapa helai daun pohon mangga gugur menimpa tanah. Angin lirih membuat gemerisik dedaunan. Jaman masih bisa mengenali lelaki yang membuatnya nyaris menemui kematian. Di luar pagar tidak jauh dari batang pohon mangga ia bisa melihatnya. Darah Jaman mendidih. Terpaan angin dingin tidak pernah membuat tubuhnya mengigil meski hanya berbalut kaos hitam.