Kekasih Tanpa Wajah

rhee
Chapter #20

Chapter#20 Sarang Pelacuran

Bab 20

Aku akan menceritakan kerinduanku dengan kata-kata biasa. Dan, kau cukup tersenyum memahami deritaku.

K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)


Setelah meninggalkan Jaman hingga duduk di ruang tunggu dengan sofa empuk, Mador kembali menemani Jagal di depan pintu gerbang. Sejak memasuki kedalaman rumah, Jaman tahu kalau dirinya diawasi oleh setiap pasang mata. Entah siapa saja mereka. Bisa pengawal, atau pun mereka yang mendapat bagian bersih-bersih gedung. Tami tidak terlalu lengkap menjelaskan seluruhnya. Peduli setan buat Jaman. Lagi pula, mereka tidak bisa berbuat apa selama yang datang menguntungkan buat usaha majikannya. Tampak pula lalu-lalang perempuan-perempuan dengan dandanan menor atau riasan molek, tertawa cekikikan dengan gaya genit, mungkin mereka selesai memuaskan pelanggannya dan mendapatkan limpahan rezeki tak terhingga.

Jaman melihat lelaki-lelaki lain di ruang tunggu yang berbeda sedang menanti untuk dijemput. Ruangan yang luas serta pintu-pintu yang tertutup rapat, adalah kamar-kamar khusus. Tami berkata menjelaskan. Sebuah tempat para hidung belang menginap dan mengobarkan napsu yang tidak terpuaskan oleh istri-istri mereka. Jaman mendengus. Tami juga menegaskan, bahwa lelaki-lelaki itu, kendati beberapa diantara mereka cukup puas dengan pelayanan sang istri, tetap saja, kaserakahannya tidak terbendung. Mereka selalu ingin memperoleh lebih. Betapa pun lezatnya rendang sapi, akan selalu membosankan jika dilahap setiap hari. Apalagi jika hanya sekedar ikan tongkol atau bahkan tempe bongkrek. Karena sesungguhnya, rasa tiap lekuk tubuh dan rintihan kaum perempuan, tidaklah serupa. Setidaknya, kerakusan yang telah membuktikannya.

Di lantai dua, masih kata Tami kala itu, akan lebih banyak lagi kamar-kamar seperti halnya petak-petak kontrakan. Selain tarif lebih mahal, juga penghuni disana adalah pelacur-pelacur dengan pengalaman yang sulit dijelaskan melalui kata-kata. Perempuan pemuas napsu lelaki edan yang berkocek tebal tanpa peduli apapun profesi mereka. Selama mereka mampu membayar harga, bahkan lelaki bau solar atau bromocorah sekalipun, berhak mendapatlan pelayanan sepenuh jiwa dan raga. Jaman sampai merinding mendengarnya. Diam-diam hatinya terasa begitu pedih. Cabikan itu kembali mengoyak.

Keringat mulai sedikit membasahi kerah kemeja biru langitnya. Jas hitam yang juga ia kenakan, menjadi terasa lebih panas. Tidak berapa lama kemudian, seorang lelaki kerempeng mendatangi, bersalaman kemudian duduk disamping Jaman. Ia menyerahkan sebuah album foto. Jaman menerima dengan tangan yang juga mulai berkeringat.

Sawir, lelaki kerempeng, berbicara menjelaskan, jika semua perempuan dalam album tersebut, bisa memuaskan setiap tamu. Promosi macam apa itu. Tentu saja demikian. Jika tidak, bukankah lubang comberan atau melubangi sabun batangan itu bisa lebih baik. Jaman tersenyum masam. Ia mulai membuka lembaran album, memandangi seluruh foto perempuan sampai ke halaman terakhir. Tak ada foto Mimi. Sementara Foto Teh Ratih dan teman-temannya, semua masuk dalam album dan Jaman melihatnya tadi.

“Apa ruangan ini terlalu panas untukmu, Bos?” bertanya Sawir, tentu ia harus mengatakan itu sebab pendingin ruangan terasa segar disana.

“Kau tahu, aku sudah sangat bergairah untuk bisa segera merasakan sorga disini." jawab Jaman. Sawir tersenyum sumringah mendengarnya.

"Akan tetapi..." suara Jaman terhenti. Sawir diam menunggu.

“Tak ada perempuan disini yang bisa membuatku melonjak!” lanjut Jaman. seraya menunduk, melihat 'bagian bawah' celana hitammya dan masih baik-baik saja. Sawir ikut memperhatikan dan ia tersenyum kecut. Jaman menyerahkan sejumlah uang pada Sawir sebelum akhirnya ia berdiri. Sawir menerima uang itu dengan kaget. Jumlah yang cukup besar. 

“Mungkin aku harus mencari tempat lain dimana ada perempuan yang sesuai dengan seleraku!” ujar Jaman sambil menatap Sawir.

“Maafkan jika tempat kami mengecewakanmu, Bos.” berkata sawir. Jaman mengangguk lalu melangkah keluar ruang tunggu diantar oleh Sawir. Beberapa pengawal disana memperhatikan mereka. Ketika Sawir melewati seorang pengawal, ia berbisik-bisik sebentar dengannya, kemudian kembali menyusul mengikuti Jaman. Sawir mengangguk hormat melepas Jaman dimuka pintu.

Jaman bertemu kembali dengan Jagal dan Mador yang menatapnya heran.

“Kukira tempat ini berkelas, ternyata hanya berisi sampah belaka!” ujar Jaman menjawab pandangan heran dari kedua penjaga tersebut. Mador dan Jagal bersitatap.

“Bajingannya lagi, sopirku lenyap dari sini!” gerutu Jaman. Mador dan Jagal mengangguk santun.

“Siapapun, carikan aku taksi untuk mengantarkanku ke sorga yang lain,” ujar Jaman.

“Biar aku saja, Bos.” tawar Jagal. Jaman mengangguk sambil kembali mengeluarkan uangnya dan memberikan kepada penjaga itu. Mereka merasa malam itu berlimpah uang. Dengan mengendarai motor, Jagal lenyap dibalik pintu gerbang besi. Sementara Mador kembali menerima kedatangan sebuah mobil. Menyambut seseorang yang keluar dari dalam kendaraan dengan hangat. Lelaki tua berusia kurang lebih 60 tahun. Ia terlihat perlente dengan rompi beludru hitam dan kemeja merahnya. Mungkin ia pelanggan tetap disana. Batin Jaman. Namun Jaman resah, ia takut jika kemudian pelanggan itu memilih Mimi. Perempuan yang disembunyikan, dan hanya kalangan tertentu saja yang bisa merasakannya!

Jaman menghembuskan napas berat. Jika semua rencana malam ini akhirnya gagal, selain Mimi tetap terpenjara, juga akan membuat mereka dihujani umpatan Tami yang pedas serta mereka akan dihakimi sebagai laki-laki lemah dan keledai. Jaman tersenyum getir.

Sebelumnya, berkali ia menolak untuk membebaskan Mimi dari sarang pelacuran. Rasa sakit hatinya meradang dan kronis hingga mustahil bisa disembuhkan. Namun Barli seakan memaksanya untuk melakukan semua dengan dalih 'Atas Nama Kemanusiaan'. Kemanusiaan macam apa itu?

"Kau boleh sangat membencinya. Tapi kau tidak bisa membunuh hatimu untuk menolongnya." ujar Barli ketika itu. Jaman dan Darma sampai kembali menajamkan telinganya agar ia sungguh tidak salah mendengar. Barli menatap mereka serius.

Barli juga berkata kepada Tami sebelum mereka pergi.

"Kau cukup berdoa dengan baik." ujarnya. Perempuan itu baru saja membuka mulut ketika Barli melanjutkan ujarannya;

"Berdoa untuk keselamatan sahabatmu, bukan buatku."

Tami mengangguk antara haru dan bingung. Untuk perkara Mimi, Tami lebih mudah emosi.

Jaman menelan ludah dengan susah payah. Gundah-gulana di jiwanya. Sebuah taksi melewati pintu gerbang. Kendaraan itu mendekati Jaman yang masih berdiri tak jauh dari pintu masuk utama. Jagal turun dari motornya, membuat Jaman kembali diterjang resah.

“Taksi sudah siap, Bos.” ujar Jagal mendekati Jaman. Jaman mengangguk dan menghampiri taksi. Jagal membukakan pintu kendaraan itu untuknya. Jaman masuk dan duduk di kursi belakang taksi. Jagal menutup pintu kendaraan dengan santun seraya berkata;

“Semoga malammu menyenangkan, Bos.” ujarnya. Jaman mengangguk dengan senyum pahit. Taksi bergerak.

“Akan kuantarkan anda ke tempat sorga yang lain.” ujar sopir taksi yang disambut tawa palsu Jaman. Mobil perlahan bergerak. Jaman memejamkan mata. Mereka harus membuat rencana lain. Tapi apa itu? Bahkan Darma saja masih terperangkap di area parkiran!

Sopir taksi melihat dari kaca spion seorang pengawal berlari kecil dan melambaikan tangan memintanya untuk berhenti. Taksi berhenti. Tak lama kaca jendela mobil diketuk. Jaman membuka kaca dengan enggan.

"Tuan besar kami, ingin bertemu denganmu, Bos." ujar Mador. Jaman mengerutkan kening dan susah payah menyembunyikan guncangan di dadanya. Setengah mati Jaman menyembunyikan kejut dan dengan santai memberikan uang kepada sopir taksi. Ini biaya tidak terduga. Ia berharap uang yang dikumpulkanya, ditambah pemberian Darma dan Barli dimana jumlahnya jauh lebih besar, masih sangat mencukupi untuk menyelesaikan semua persoalan.

 Jaman keluar kendaraan dan diantar oleh Mador hingga pintu utama. Kemudian seorang pengawal berbeda, mengajaknya untuk masuk kedalam ruangan lain. Aroma pewangi ruangan makin kentara terasa. Lantai beralas karpet tebal, meredam setiap langkah kaki. Pengawal itu mempersilahkan Jaman untuk menunggu karena Tuan besar sebentar lagi akan tiba. Pengawal itu berlalu. Jaman mengedarkan pandang. Tak ada apapun di ruang tunggu istimewa itu selain seperangkat sofa dan asbak yang tersimpan di atas meja kaca. Jaman melenguh dengan jantung yang tiada henti berpacu. Keringat mulai lagi membasahi kening. Semakin deras hingga ia menyekanya dengan sapu tangan yang tersimpan disaku belakang celananya. Tidak berapa lama, pintu terkuak. Seseorang datang. Jaman berdiri, dan menatap orang tersebut. Lelaki berusia berkisar 45 tahunan.

“Maaf jika membuat anda menunggu,” sapa lelaki berpakaian kemeja tangan panjang berwarna merah marun dengan celana katun putih. Sepatu yang dikenakannya sama persis warnanya dengan celana. Lelaki itu menyalami Jaman. Jaman menerima jabatnya, seraya mengangguk seraya mengulas senyum. Kemudian mereka duduk berhadapan dengan dibatasi meja kaca. Lelaki itu pemilik sarang pelacuran. Orang-orang menyebutnya Tuan Besar. Perempuan-perempuan sundal penghuni rumah, memanggilnya dengan sebutan ‘Ayah Goli’.

Lelaki dengan rambut kelimis dan disisir rapih kebelakang itu, menyimpan selembar foto di atas meja dengan kedaaan terbalik hingga yang tampak warna putih belaka. Pun jika ada yang terlihat kecil hurup-hurup, maka itu adalah merek perusahaan percetakan foto.

Ayah Goli menatap Jaman. Jaman tercekat. Ayah Goli sejenak memperhatikan, pandangannya seolah menyelidiki. Sekuat hati Jaman meredakan cemas. Laki-laki berambut selalu basah itu tersenyum lebar.

“Dibalik lembaran itu, ada foto perempuan berkelas,” suara Ayah Goli berat dan serak. Jaman terdiam. Napasnya ia tahan agar tidak terengah.

“Pepatah bijak mengatakan; Kita tidak mungkin mendapatkan sesuatu yang terbaik, jika tidak bersedia membayar harganya.” lanjut ayah Goli. Jaman mendesah. Ia mengeluarkan dompetnya. Menarik sejumlah lembaran dan menyimpannya di atas meja. Ayah Goli tersenyum. Ia menggeleng.

“Jumlah itu hanya buat perempuan dalam album yang sebelumnya anda lihat.” nadanya seperti mengejek. Jaman mendengus, kembali mengeluarkan uang. Ayah Goli masih menggeleng.

“Sepertinya selera anda tidak cukup dengan keuangan anda sendiri.” semakin mengejek Ayah Goli. Jaman tergelak. Ia tetap menyupayakan dirinya agar tidak kikuk.

“Bagaimana mungkin seleraku tidak sesuai, sementara dibalik foto itu saja aku belum melihatnya,” ujar Jaman ditengah gelaknya.

“Seperti membeli kucing dalam karung!” tambah Jaman dengan suara berat. Ia berhasil menahan getaran suaranya. Memerah wajah Ayah Goli. Ujarnya;

“Lihat saja.”

Jaman terdiam. Lalu dengan perlahan tangannya terulur, mencoba membalikan foto tersebut. Nanar mata Jaman melihat foto perempuan dihadapannya. Kemudian tawanya meledak. Ayah Goli terdiam memperhatikan.

“Tak sanggup aku membayar lebih untuk perempuan ini.” ujar Jaman setelah usai dengan bahaknya. Matanya tak lepas dari foto seorang Tami! Duhai, Tami pasti terluka jika mendengar ucapan Jaman tadi. Ayah Goli memperhatikan foto tersebut, kemudian tersenyum.

“Oh, maafkan aku. Rupanya aku keliru membawa foto. Maklum, Semakin beranjak usia, mata ini semakin kabur.” ujar ayah Goli seraya bangkit dari duduk. Ia meminta Jaman menunggu, dan beberapa detik kemudian ia telah lenyap dari dalam ruangan. Jaman mengumpat. Anjing kurap, kau mau menjebak dan menipuku. Tami ada di rumah Barli!

Tak lama ayah Goli kembali seraya duduk dan menyimpan lagi selembar foto di atas meja. Masih terbalik posisinya. Masih dengan gaya sebelumnya, membuat Jaman muak sekaligus semakin membuat jantungnya berdegup-degup keras dan cepat.

Lihat selengkapnya