Bab 21
Cinta itu rasa, kekasihku. Sebelum akhirnya menjadi kata.
Prof. KH. Buya Syakur Yasin. (Pimpinan Pondok Peantren Cadang Pinggan-Indramayu)
Ketika keriuhan terjadi, Bandaraga tengah membuka pintu dan melihat Jaman serta Mimi sedang bergelut di atas kasur. Lelaki berotot besar dan kokoh itu, melihat beberapa rekannya berlarian ke lantai bawah.
“Terjadi kebakaran di parkiran!” seru seorang kawannya. Bandaraga seketika terkejut. Ia bingung dan terdiam cemas di kursinya. Ia makin bimbang begitu melihat teman lainnya lagi teegesa berlari menuruni anak tangga. Tak lama Bandaraga berdiri, sejenak mondar-mandir di depan pintu. Kebingungan mendera di hatinya.
Sementara di dalam kamar, Jaman mulai menarik tali plastik yang ia ulurkan ke bawah dan telah diikatkan pada tangga tali oleh Barli. Mimi berdiri di belakang dengan cemas. Perlahan tali plastik yang mengikat tangga tali makin naik ke atas. Jaman terengah sendiri melakukannya. Akhirnya tangga tali mentok di tepi jendela. Jaman menyeringai melihatnya.
“Siapkan dirimu untuk turun dari tempat terkutuk ini!” pintanya kepada Mimi dengan wajah penuh keringat. Mimi mengangguk dengan raut muka memucat dan penuh peluh. Kemudian ia menyerahkan tali plastik pada genggaman tangan Mimi.
“Kau pegang kuat jangan sampai terlepas,” ujarnya seraya mengenakan sepatu. Mimi mengangguk dengan lidah kelu. Beberapa detik kemudian, dengan kekuatan penuh, perempuan itu melihat laki-laki yang dikagumi sekaligus dicintainya, melayangkan kakinya kearah kaca jendela.
Pranggg!!!
Seketika kaca jendela pecah, serpihannya berhamburan melayang ke bawah, bersamaan dengan Bandaraga yang masih gelisah, mondar-mandir serta gusar karena telinganya kian mendengar kegaduhan di bawah. Lelaki itu masih diterpa bimbang ketika melihat jam tangannya. Satu menit lagi ia harus melihat lagi keadaan kamar.
Waktunya tiba, ia membuka pintu, kembali melihat kedalam kamar, Jaman serta Mimi masih tetap bergelut di atas ranjang. Tali plastik yang mengikat tangga tali, ujungnya telah Jaman ikatkan pada kain gorden. Sengaja Jaman melakukan itu karena ia dan Mimi harus kembali pura-pura bercumbu untuk mengelabui pandangan Bandaraga.
“Hai, lakukan dengan cepat. Ada huru-hara di bawah!” seru Bandaraga lalu menutup pintu. Jaman melompat dan langsung menyibak gorden jendela seluruhnya. Dengan hati-hati, menggunakan saputangannya ia membersihkan sisa pecahan kaca yang masih meruncing diantara celah kusen jendela. Mimi kembali gelisah berdiri di belakang. Wajah cantiknya makin kuyup oleh peluh. Sigap Jaman menarik tali plastik hingga tangga tali sudah berada dalam genggaman tangannya. Jantung Mimi berdetak sangat kencang.
“Kau pegang,” berkata Jaman seraya memberikan tangga tali pada Mimi. Bergetar tangan Mimi saat menerimanya. Jaman mulai mencoba menggeser ranjang yang terbuat dari besi. Suara berdecit terdengar. Lelaki itu mengeluh. Peluh membanjir di tubuhnya. Bandaraga mendengar suara decit di dalam kamar, namun waktu masih tersisa empat menit. Ia masih bertahan untuk tidak membuka pintu. Namun kedatangan Jagal yang sempoyongan, membuatnya terperangah. Betapa tidak, wajah temannya itu penuh darah.
“Tangkap lelaki di dalam kamar itu!” ujar Jagal parau dan penuh amarah. Bandaraga terkejut namun ia mengangguk cepat, serta membuka pintu sekaligus masuk ke dalamnya. Jaman yang masih mencoba mendorong ranjang untuk dijadikan penghalang pintu, menatap Bandaraga dengan kaget. Mimi bahkan terpekik. Bandaraga dengan marah langsung menyerang Jaman. Namun segera Jaman menghindar dan membalas dengan pukulan telak mengenai hidung Bandaraga. Lelaki itu memaki dengan hidung mengucurkan darah. Tubuhnya membungkuk dan oleng. Tak lama tendangan kaki Jaman menyusul menderu deras menghajar pelipisnya. Bandarga terjatuh dengan wajah nyeri dan kepala pening tak terperi. Belum ia bangkit, sebuah tendangan menyusul ke wajahnya hingga membuat ia tak sadarkan diri.
“Akan kuhabisi kalian!” seruan berat di muka pintu terdengar. Jagal berdiri menyeringai melihat Mimi. Perempuan itu tercekat dengan mata terpana. Ia bagai melihat wajah Iblis disana. Jaman menatap nanar wajah luka Jagal. Lelaki bengis itu masuk ke dalam kamar dengan murka. Jaman surut ke belakang, ia mendekati Mimi yang tersengal.
“Kau tetap pegang tangga tali itu!” ujar Jaman dengan suara tak bisa menyembunyikan cemas. Ia mulai berhadapan dengan Jagal. Sebenarnya seluruh tubuh Jaman telah begitu letih, namun ia tak bisa menyerah. Tidak boleh. Untuk saat itu, ia memberlakukan hukum ‘Haram’ jika harus menyerah! Lagi pula, ia telah terbiasa dengan keputus-asaan. Pikirnya, tak ada lagi yang harus ia takutkan.
Ia harus bisa bertahan dan mesti berhasil keluar dari kamar laknat itu. Serat jantung Jaman bergetar. Bisa jadi ia akan mati disana, namun setidaknya ia masih memberikan perlawananan yang berarti. Mati? Ia merindukannya. Dan, karenanya ia tidak akan lagi memaki takdirnya. Kata orang bahwasanya manusia adalah makhluk yang paling takut untuk menghadapi kematian, ini tidak berlaku buat Jaman saat itu.
Jagal mulai menyerang Jaman dengan pukulan. Mimi menjerit sambil menjauh dan makin mendekati jendela. Kedua kakinya lunglai. Angin malam menerpanya dingin, mulai menguapkan peluh wajahnya. Kedua kaki perempuan nyaris tak kuasa berdiri. Tangannya masih kuat memegang tangga tali meski dengan gemetar.
Beberapa kali Jaman terkena pukulan dan tendangan yang diluncurkan Jagal, meski ia juga berhasil mendaratkan balasan pukulan ke badan Jagal. Biadabnya, perut Jagal bagai bongkahan es, begitu keras dan dingin. Mereka masih bertarung dengan disaksikan Mimi yang nyaris berhenti bernapas dan bahkan seakan hendak pingsan. Gelap dalam pandangannya mulai meradang. Sampai akhirnya, dengan samar, Mimi melihat Jaman terkulai di atas lantai setelah menerima tendangan lurus dari Jagal mengenai ulu hatinya
Jagal terkekeh dengan wajah semakin menampakan Iblisnya. Mimi menatap nanar. Ia berupaya untuk tidak pingsan. Tali dalam genggamannya nyaris lepas. Ia tetap bersikukuh memegangnya dengan sisa tenaga. Dengan berjalan sempoyongan, Jagal menghampiri Mimi. Lelaki bedebah itu meleletkan lidah melihat perempuan di depannya begitu sangat menggoda birahi. Mimi memejamkan kedua mata. Ia pasrah dengan semua. Tetapi mendadak terdengar lenguhan pendek, beberapa detik kemudian sebuah tubuh jatuh berdebam. Jagal mengumpat ketika satu kakinya dikait tiba-oleh kaki Jaman hingga membuatnya terjatuh. Belum ia bangun, tubuh Jaman sudah menyerang dan berada di atasnya dengan pukulan bertubi menghajar wajahnya. Darah makin membanjir di wajah itu. Jaman menghentikan tinjunya saat melihat tubuh Jagal tak lagi bergerak!
Jaman bangkit dengan wajah, kepalan tangan serta badan penuh darah. Mimi melihatnya nyaris pingsan. Keringat bercampur darah membuat Jaman terlihat bagai setan kerak neraka. Dengan sisa tenaga, Jaman menyeret tubuh Bandaraga, kemudian mengambil tangga tali dari tangan Mimi. Mimi yang pasi melihat tangga tali diikatkan ke tubuh Bandaraga dibagian perut.
“Kau bisa turun dari sini dengan tubuh bedebah itu sebagai penahannya.” desah Jaman. Mimi terpana dan hanya mengangguk lemah. Dengan sisa tenaga, Jaman membantu Mimi untuk naik ke tepi jendela. Seluruh tubuh Mimi bergetar. Angin malam yang dingin menyambar-nyambar tubuhnya.
“Jangan melihat ke bawah, dan tenangkan hatimu.” ujar Jaman pelan.
“Di bawah sangat gelap,” desah Mimi setelah menginjak anak tangga tali pertama. Jaman mengangguk cemas.
Mimi mulai kembali menginjakan kaki ke tangga tali berikutnya. Kedua kaki perempuan itu makin bergetar hebat. Kedua tangannya yang basah dan gemetar menggenggam erat tiap centi tangga tali. Ia terus memaksakan diri untuk tetap menuruni anak tangga tali. Ia mulai bisa mendengar suara gaduh di bawahnya. Mimi melanjutkan menuruni anak tangga demi anak tangga. Rasa dingin pada tubuhnya makin kentara. Ia menguatkan diri. Sementara tubuh Bandaraga sebagai penahan, tertarik kian kuat dan menempel pada dinding tembok. Makin Mimi menuju bawah, kian membuat tubuh Bandaraga tertarik hingga tubuh itu agak terangkat pada dinding tembok di bawah jendela.
Jaman mengambil kunci dari saku celana Bandaraga. Tubuh besar itu mulai menggeliat karena daya tarik pada tubuhnya makin kencang. Anak kunci berada dalam gemggaman tangan Jaman. Ia tertatih ke arah pintu, melongokan kepala keluar kamar, seiring dengan berlariannya beberapa orang menuju ke arahnya. Betul, bahkan sekilas ia melihat Ayah Goli disana. Jaman panik dan mengunci pintu dengan cepat. Baru ia membalikan badan, pintu digedor-gedor keras. Jantung Jaman berguncang.
“Keluar kau, bajingan!” suara Ayah Goli terdengar murka. Jaman mengumpat. Ia kembali mendorong ranjang besi hingga menempel dengan pintu.
“Lebih baik kau menyerah, sebelum kami menguburmu hidup-hidup di halaman belakang!” ancam Ayah Goli membentak keras. Jaman terseok melangkah ke arah jendela kamar. Ia melihat Bandaraga mulai siuman dan hendak melepaskan ikatan tangga tali yang telah mencekik pernapasannya. Lelaki penjaga sekaligus pengawal bertubuh berotot tersebut menatap Jaman penuh amuk dan dendam. Akan tetapi itu hanya sebentar saja sebab tendangan Jaman ke arah rahangnya sudah membuatnya kembali tak sadarkan diri.
Di luar kamar, terdengar suara pintu dibentur-bentur keras oleh beberapa orang. Kusen dan badan pintu mulai berderak. Jaman melongokan kepala keluar jendela. Hanya kegelapan. Ia mulai menarik pelan tangga tali dan terasa ringan, artinya Mimi telah berhasil turun dari sana. Jaman menghembuskan napas, mencoba menenangkan diri. Ia mulai naik ketepian jendela dan menginjakan kaki ke anak tangga tali pertama, bersamaan dengan badan pintu mulai retak-retak. Di luar kamar orang-orang makin membabi-buta merusakan pintu. Dari celah pintu yang retak, mereka sudah bisa melihat ke dalam kamar namun mereka tak melihat Mimi dan Jaman di dalamnya.
“Kejar mereka ke halaman belakang!” teriak Ayah Goli penuh amarah.
***
Di bawah jendela kamar, di halaman belakang sarang pelacuran, Mimi menyaksikan dengan tubuh bagai tak bertulang, bagaimana sengitnya Darma bertarung dengan dua orang pengawal berbadan besar. Seorang pengawal sebelumnya telah berkalang tanah. Dua tersisa membuat Darma harus bertempur mati-matian. Namun kedatangan Barli, begitu sangat membantunya, membuat dua pengawal itu tak lama kemudian harus terjerembab mencium rumput.
“Lama sekali kau tiba?” kembali terulang pertanyaan itu dari mulut Darma. Barli meringis.
“Anjing, ganti pertanyaanmu, bosan aku mendengarnya.” maki Bali. Darma terkekeh.