Hanya tersisa sembab di kantung mata Christal. Gadis itu sesenggukan sambil memegangi bunga-bunga di pusara tempat Mama beristirahat untuk terakhir kali. Area pemakaman sudah sepi. Seluruh kerabat dan saudara sudah kembali ke rumah masing-masing. Namun, Christal enggan beranjak.
Papa memilih untuk tetap bersama Christal. Beliau ber diri di hadapan Christal, memandangi anak semata wayangnya tanpa banyak bicara. Beliau tidak ingin mengganggu, hanya membiarkan Christal meresapi kenangan-kenangan yang berkejaran di otak dan hati Christal.
Papa berdiri, kemudian berjalan pelan ke samping Christal. Beliau memeluk tubuh Christal dan mengucapkan kalimat-kalimat penenang. Papa justru sosok yang paling ikhlas melepaskan Mama pergi. Berbeda dengan Christal yang masih belum benar-benar ikhlas menerima kepergian Mama.
Air mata Christal kembali luruh. Kali ini suara sesenggukan berubah menjadi suara tangis yang cukup kencang.
“Tapi, Mama belum sempat lihat Christal lulus SMA, Pa. Mama enggak bisa liat kalau nanti Christal wisuda kuliah. Mama enggak bisa nemenin Christal di pelaminan kalau Christal nikah.” Kalimat-kalimat itu terlontar dari bibir Christal dengan suara parau, dengan suara yang hampir tidak jelas. “Kenapa enggak Christal aja yang dipanggil sama Tuhan? Mama itu orang baik, Pa. Enggak adil kalau orang baik lebih cepat dipanggil sama Tuhan.”
Papa membiarkan Christal meluapkan isi hati. Meskipun, jika melihat putrinya tersiksa seperti ini, Papa jadi ingin ikut menangis. Tapi, Papa menahan air matanya. Tugasnya sebagai seorang ayah adalah menguatkan Christal. Papa harus punya andil besar untuk membuat Christal merasa lebih tenang.