Begitu suara entakan sepatu hak tinggi terdengar, semua murid berbondong-bondong lari ke bangku masing-masing. Bayangan rambut singa sang guru, sudah terpatri di otak. Lipstiknya yang merah merona, senantiasa menjadi teman setia dalam melontarkan segala ceramah panjang dari kelas ke kelas. Tiap kata pedas yang terucap, selalu membekas dan menancap di hati. Kata-kata yang selalu terngiang-ngiang dan nyelekit jangka panjang.
Hari ini Bu Wulandari memakai rok sepan warna hitam selutut, berpadu dengan inner warna senada, dan blazer sebagai outer. Tangan kirinya menenteng tas berlogo kereta kuda sementara tangan kanan membawa map yang diyakini berisi hasil kerja kelompok murid yang dikumpulkan minggu lalu.
“Semangat pagi, anak-anak!” sapanya dengan suara keras nan lantang.
“SEMANGAT PAGI!” jawab murid-murid serentak.
“Bagaimana kabarnya hari ini?”
“LUARRRRRR BIASAAA!”
Bu Wulandari mengangguk-angguk. “Meskipun ini sudah siang, semangatnya harus tetap sama seperti pagi hari!” ucapnya. “Tadi sudah berdoa, ya?”
“SUDAH, BUUUUUU!”
“Hari ini siapa yang nggak masuk?”
“NIHIL, BUUUUUU!”
“Nihil, kok, nggak pernah masuk, ya? Coba di-WA! Mungkin sakit. Kasihan, udah lama banget, tapi nggak pernah ada yang jenguk!”
Krik krik krik.
Bu Wulandari selalu mencoba untuk melontarkan candaan seperti itu. Sayang, karena image-nya, candaan itu jadi kurang mengena. Alias tidak tepat sasaran. Garing. Tidak lucu sama sekali.
Murid-murid sedang berpandangan. Bersiap melakukan apa yang rutin mereka lakukan tiap kali Bu Wulandari mencoba bercanda seperti ini. Tengku, sebagai ketua kelas, memberi sebuah kode berupa hitungan dengan jari, agar mereka mulai akting. Satu, dua, tiga. Mereka pun serempak tertawa bersama—tertawa palsu.
Kompak sekali kelas X-IIS-5 ini. Namun, ada satu makhluk, yang sebenarnya juga kompak, hanya saja tidak mampu turut menjalani kekompakan itu.
Bu Wulandari mengibaskan rambut singanya. “Kalau begitu, kita mulai pelajaran hari ini.” Bu Wulandari menaikkan posisi kacamatanya. Ia menatap setiap sudut kelas dengan tajam, memastikan bahwa perhatian semua anak didik kelas ini sudah tertuju kepadanya.
Sebenarnya, tanpa melakukan hal itu pun Bu Wulandari selalu mendapat perhatian seluruh murid yang ia ajar, karena image sangar yang disandang. Murid-murid tak akan berani berbuat aneh-aneh. Tiap kali jadwal pelajaran Ekonomi, suasana selalu hening. Jangankan berbicara sendiri, napas saja jarang-jarang, Senin-Kamis jaraknya.
“Ini adalah hasil kelompok kalian minggu kemarin. Semua sudah saya periksa. Hari ini saya mau ada kelompok yang mewakili untuk presentasi. Kelompok yang berkenan, mereka yang aktif bertanya, menyanggah, ataupun memberi masukan yang ilmiah, akan mendapat tambahan nilai keaktifan!” jelasnya. “Tapi, sebelumnya ….” Pandangan Bu Wulandari kembali menyapu seluruh isi kelas. “Mana yang namanya Sahla Laluna Bachmid?” tanyanya.
Napas seluruh penghuni kelas tersekat. Kemudian, arah pandang mereka kompak menuju kepada seorang siswi yang duduk sendiri di bangku pojok kanan belakang. Ia yang sedang menjadi pusat perhatian, tak memberi reaksi berarti. Ia masih seperti semula, pandangan lurus kepada Bu Wulandari di depan sana, dan bibirnya senantiasa melengkungkan senyum.
“Kamu yang namanya Sahla Laluna Bachmid?” tanya Bu Wulandari dengan wajah menyeramkan dan nada suara yang mengancam.
Sahla mengangguk dengan ceria, seakan baru saja mendapatkan kabar bahwa nilai ulangannya adalah yang tertinggi di kelas. Padahal, Bu Wulandari sedang berubah—menjelma menjadi seperti singa yang hendak menerkam mangsanya.
Murid-murid lain benar-benar tak habis pikir. Kapan Sahla mau berubah? Kenapa ia begini? Apa kapasitas otaknya benar-benar sejongkok itu sampai-sampai ia tetap tak mengerti?
“Kenapa nama kamu nggak ada dalam kelompok mana pun?” tanya Bu Wulandari lagi.
Sahla mulai terlihat berpikir. Matanya bergerak memutar, mencoba mengingat-ingat. “Kelompok apa, ya, Bu?”
Seluruh penghuni kelas seperti baru saja tertampar. Mereka belum bereaksi apa pun, seakan sedang merasakan panas dan perihnya tamparan itu. Kemudian, mereka mulai memberi reaksi beragam, memprotes si tersangka penampar.
“Wah, nggak bener, nih, Sahla!”
“Bangun, woy! Kelompok baru minggu lalu udah lupa aja!”
“Jangan handphone melulu yang di-upgrade, La! Kapasitas otak juga perlu ditambahin!”
“Padahal, bapaknya dokter, lho. Kok, anaknya begini!”
“Makin hari bukannya makin waras, malah makin kronis!”
“Upgrade antivirus, dong, La! Biar itu Trojan lenyap, hilang tak bersisa.”
“MOHON PERHATIAAAAAAN!” Teriakan Bu Wulandari membahana, membawa angin topan, menerjang seisi kelas X-IIS-5.
Kadar kemurkaan Bu Wulandari telah mencapai stadium akhir. Penampakan rambut singanya semakin membuat kemurkaan itu terlihat kentara. Semua diam, tegang, dengan napas tersekat—kecuali Sahla.
“Kenapa nama Sahla nggak ada dalam kelompok? Apa dia nggak masuk minggu kemarin?”
“MASUK, BUUUUUUUUU!”
“Terus, kenapa nggak ada?”
Lagi-lagi semua berpandangan, terlihat ketakutan dan memprihatinkan. Sang Ketua Kelas yang merasa bertanggung jawab, akhirnya bersedia mewakili semua murid kelas itu. Ia berdiri takut-takut, berusaha memberanikan diri.
“B-begini, Bu.” Tengku sampai tergagap saking takutnya. “S-Sahla memang begitu, Bu. Setiap ada perintah apa pun dari guru—terutama saat ada kerja kelompok—dia nggak pernah berpartisipasi.”
“Memangnya kenapa? Jadi, Sahla adalah seorang pemalas?”
Tengku menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Gimana, ya, Bu? Sahla itu … kami sudah berusaha ngajak dia gabung ke salah satu kelompok. Tapi, bukannya segera gabung, dia cuma senyum-senyum nggak jelas. Jangankan ikut ngerjain, nyumbang satu opini pun nggak. Karena jengkel, makanya kami nggak pernah lagi mengajak dia gabung. Bikin kesel!”
Bu Wulandari mendengkus keras, seakan ada kobaran asap dan api keluar bersamaan dari lubang hidung dan telinganya. “Sepanjang sejarah saya mengajar, baru kali ini ada kasus murid seperti Sahla.” Bu Wulandari mengayunkan langkah tegas, menimbulkan suara teplak-teplok khas yang diciptakan sepatu hak tinggi. Ia menghampiri Sahla. “Sahla Laluna Bachmid!”
“Iya, Bu?” Sahla pun berdiri.
Sahla yang mini, terlihat hanya setinggi bahu Bu Wulandari. Wanita itu sebenarnya sudah tinggi, ditambah sepatu hak 12 cm, jadilah ia semakin menjulang. Ia membuat manusia-manusia seperti Sahla semakin tenggelam.