"Ih gang, bahasa Inggris ini apa sih? Aku rasanya jadi munafik banget deh...lain baca lain tulis. Bikin kesseeeeelll..." Cuminka gemes pagi-pagi. Dia mencak-mencak sambil memukul manja dada buku di hadapannya.
"Cuminka cantik, daripada mukul buku, mending pukul dada abang aja sini..." anak laki-laki, yang sudah duduk di tempat, rupanya memperhatikan Cuminka. Dia menawarkan dadanya ke arah Cuminka.
"Aow...boleh dah. Sini sini..." Cuminka membalas centil-centil. Dia memanggil dengan pulpen boneka pinknya. Matanya berkedip-kedip.
"Hahai!" Si anak cowok kelihatan senang. Dia segera berdiri. Dengan tertawa senang kakinya melangkah. Tapi agaknya sebuah kesalahan sudah terjadi pada dirinya dan bukan diriku.
Boni menangkap baju si cowok saat dia lewat di sebelah meja gadis sehat itu.
"He, mau kemana lo?" Suaranya menggelegar bak om jin. "Cuminkaaa...?"
"Iya, Mamiiii...?" Cuminka segera berdiri di tempatnya.
Cuminka senyum ala anak gadis culun nan polos yang nggak tahu apa-apa.
"Mami panggil Cuminka?" Cuminka memberinya kedip-kedipan dua mata dengan senyum paling manis.
"Kamu jangan gitu, Nak. Tidak boleh goda anak laki-laki."
"Siap, Mami." Cuminka memberi hormat centil. Salahsatunya berkedip ke Boni. Ia kemudian berbicara pada anak laki-laki itu dengan suara cempreng, "Maaf ya, Rion. Dimarahin sama Mamiku tuh. Kamu yang sabar ya...?"
Cuminka lalu balik duduk baca buku, seolah nggak pernah terjadi apa-apa.
"Jiah...ya ela, Mami Boni...kecewa anaknya mami ini." Anak laki-laki itu menunjuk dirinya sendiri.
"Eh sejak kapan lo jadi anak gue?" Boni menunjukkan garangnya.
"Sejak Mami Boni jadi galak. Eh Cantik."
Sontak makhluk yang nggak diundang bernama Domma tertawa terpingkal-pingkal. Oh demi apa? Anak ini terbongkar. Rupanya dia berbalik menonton. Di tangannya ada pilot hitam yang diacung-acungkan bak pelukis profesional. Ce ile, mbak Domma.
"Pulpen andalang. Murah ceria kantong perut." Kata Domma saat ditanya kenapa pilotnya banyak.
"Kirain mau jadi pilot, Dom?" Tanya Rayya waktu itu.
"Kagak, gue takut pesawat. Katanya harus pintar itung-itung. Mending gue itung uang." Domma tertawa.
Sarap ni anak. Pintar itung uang tapi takut pesawat gara-gara itung. Apa yang mau diitung coba?
Suara tawa Domma benar-benar nggak terkontrol. Lebih mirip tawa anak laki-laki saja.
"Haha. Bilang aja lo kalo Boni galak. Nggak usah malu lo. Anak laki cemen."
Domma ketawa lagi.
Mampus gue! Ucap hati si anak laki-laki itu. Maunya sih di mulut. Tapi di hati aja cukup. Pacar juga nanti 1 aja cukup. Katanya lagi berusaha mengubah wajah yang malah berubah tegang. Untung bukan berubah jadi ultraman. Bayangin aja, bisa-bisa atap kelas mereka rubuh. Jadilah dia korban mal praktek teman-temannya.
Karena kesal, dia mengintip dari balik badan Boni. Anak itu menunjukkan tinju sambil menggerakkan mulut, "Awas lu!"
"Atas nama anak perempuan, sini lo kalau berani!"
Domma Domma...ni anak bawa nama anak perempuan lagi. Ck ck ck...cicak aja berdecak pusing.
Kenapa sih, si Domma nggak dimajuin aja? Dia kan setengah laki. Liat aja bajunya digulung gitu. Lengan ya lengan. Jilbabnya kayak ala kadarnya gitu. Sepatunya bukan sepatu cewek. Sepatu cowok cuy! Itu loh yang biasa dipakai naik gunung.
Udah, hajar aja!
"Eh, pembaca, gila lo minta gue hajar Domma. Gini-gini gue masih gentle! (Baca jentle. Kita kan orang indo bukan blasteran. Hehe) Lebih cemen kalo hajar-hajaran sama anak perempuan. Ntar dia nangis, minta pulang mama lagi. Mamanya datang, berani lu? Bagus kalau mamanya cantik sih." Bayangan Rion seperti keluar dari cerita, protes. Rion versi out of story terkekeh. Embun sirup bening jatuh dari sudut bibirnya.