Renokenongo, April 2006
Rumah adalah sebagian jiwa. Jika rumah besar, maka jiwanya lapang. Jika rumah kecil, maka jiwanya kerdil. Rumah besar berarti orang kaya. Orang kaya bisa mudah bahagia karena bisa beli apa saja. Begitulah cara Leila berpikir.
Leila tak pernah menyangka bahwa dirinya bisa melihat rumah mewah layaknya di sinetron yang biasa ditonton sehabis magrib. Rumah itu berpagar tinggi dengan banyak ukiran bunga pada besinya, cat cokelat muda, taman besar di halaman dengan air pancur yang mati. Yang lebih menakjubkan lagi, rumah ini memiliki dua lantai!
“Huwaaa! Rumah bagus!” Arum, adiknya yang berusia enam tahun, sudah berlari duluan untuk masuk. Dia melompat-lompat sambil menunggu bapak membuka kunci.
“Inget! Jangan rusakin barang!” peringat Umar dengan mata tajamnya. Memperingatkan putri keduanya yang hanya hanya mengangguk mengiyakan, tapi ia tahu kalau petuah itu sudah keluar dari telinga kirinya.
“Kamu bantu Ibuk bersihin kamar mandi.” Umar menatap Leila sambil memberikan ember berisi sabun dan sapu tangan.
“Enggeh1.” Leila ikut mengangguk, lalu masuk setelah orang tuanya.
Arum sudah pasti sudah berlarian dan mulai menaiki anak-anak tangga. Nunuk buru-buru menyusul karena takut putrinya terjatuh atau tak sengaja menyentuh barang berharga si pemilik rumah.
Leila sengaja mendengus keras-keras saat melihat tingkah Arum. Seminggu yang lalu, bapak bercerita kalau mendapat pekerjaan membersihkan rumah di sebuah perumahan. Bapak pada dasarnya seorang kuli bangunan, tapi juga menggarap berbagai pekerjaan apabila ada orang yang meminta.
“Rumahnya gede, susah kalau bersihin sendiri. Kalian ikut aja minggu besok,” katanya sambil memasukkan suapan penuh nasi, ikan tongkol, dan sambel terasi.
Leila sebenarnya malas sekali saat mendengarnya. Padahal ia berencana main ke warnet bersama Mira dan Bagas di hari Minggu. Sudah satu bulan dia dan teman-temannya memilih menghabiskan waktu di warnet desa sebelah demi bermain game barbie atau mendengarkan lagu hits yang selalu ditayangkan di MTV.
“Kamu masuk kamar mandi dulu, Lei! Bersihin keramiknya!”
“Enggeh."
Leila kembali mengangguk saat ibunya memekik dengan kaki yang masih sibuk mengejar Arum. Dia sudah turun lagi ke lantai satu sambil tertawa kegirangan.
Dia pasti mengira ini di taman bermain, batin Leila.
Jujur saja, Leila tak terlalu suka dengan Arum. Adiknya itu terlalu kelebihan tenaga sehingga tak bisa diam. Puncak kekesalannya adalah saat Arum mencoret-coret buku pelajaran yang dipinjamkan pihak sekolah hingga ia dimarahi gurunya habis-habisan. Sejak saat itu, ia makin yakin kalau anak kecil memang menyebalkan.
Gerundel hatinya tentang Arum terhenti setelah tangannya membuka lebar-lebar pintu kamar mandi. Mungkin matanya sudah membelalak tanpa sengaja saat melihat bak mandi besar yang ia ketahui digunakan untuk merendam seluruh tubuh, persis seperti yang dilakukan para artis dalam adegan di sinetron. Belum lagi shower yang tergantung di dekat bath up, yang juga baru pertama kali dilihat.
“Jadi orang kaya enak banget.”
Leila mulai membayangkan bagaimana serunya mandi di bawah shower. Bulir-bulir air yang mengalir ke seluruh tubuhnya pasti akan terasa lebih menyegarkan dibanding air yang digayung dari bak mandinya. Andai saja punya shower, dia bisa merasakan mandi hujan semaunya, tanpa perlu menunggu langit mendung.
Leila mulai masuk dengan perlahan, benar-benar takut setiap pergerakannya akan menimbulkan petaka. Ia tak mau membuat orang tuanya pusing karena harus ganti rugi apabila ada kerusakan di rumah ini.
Ibunya baru menyusul setelah lima belas menit kemudian, tentu dengan Arum di genggamannya. Anak itu masuk dengan merengut kesal karena berhasil ditangkap, tetapi senyumnya kembali merekah saat matanya menangkap bak mandi besar.
“Wah!”
Arum hampir berlari ke arah bath up, tapi ibu berhasil mempertahankan cengkeraman tangannya. Alhasil, Leila yang bekerja lebih keras untuk membersihkan kamar mandi karena ibunya fokus pada Arum.
Setelah seluruh lantai kamar mandi menkilap, Leila keluar untuk mencari bapak. Namun, kakinya seolah tersihir hingga menaiki peranakan tangga. Matanya benar-benar terpikat oleh keindahan rumah ini. Angan-angannya kembali terbang pada kemungkinan-kemungkinan di masa depan.