Bab 2: Kericcuhan Lumpur Panas
Sepanjang perjalanan pulang, Leila dibingungkan dengan orang-orang yang keluar dari rumah dengan wajah ketakutan. Anak-anak menangis dalam gendongan ibunya, beberapa lelaki ikut kalang-kabut dengan berlari kesana-kemari. Seorang bapak bertopi hitam bahkan mengenakan sandal berbeda sambil berlarian ke jalanan.
“Lumpur mbledos5! Lumpur mbledos!” serunya dengan berlarian kencang menuju ke arah selatan.
Leila dan Mira berpandangan, tapi saling menggeleng karena tidak tahu-menahu tentang apa yang sedang terjadi. Yang jelas, kebahagiaan mereka pulang pagi kini terasa sangat ganjal.
Perjalanan ke rumah yang biasanya memakan waktu lima belas menit, tapi hari itu Leila bisa sampai enam menit lebih awal karena ia mengayuh sepedanya secara ugal-ugalan. Ia berlari masuk ke dalam rumah, lalu mendapati ibunya sedang mengemasi semua pakaian di lemari ke dalam buntalan kerudung hingga menjadi bulat besar.
“Kita mau ke mana, Buk?”
“Ke rumah De mu. Di Malang.”
“Hah? Kenapa?”
Leila tak bisa menampik perasaan bahagianya saat mendengar bahwa mereka akan ke Malang. Ia memang paling suka ke rumah De Bas karena sangat sejuk dan bisa berpetualang ke hulu sungai jernih, tapi tetap saja rasanya aneh karena keputusan tiba-tiba ini.
“Ada bencana dari pengeboran di desa sebelah. Lumpurnya naik, katanya bisa meluber sampai sini.”
Nunuk kembali mengambil beberapa pakaian yang masih tersisa di lemari. Ia merentangkan dua lembar kerudung lagi, lalu menumpuk baju-baju itu di atasnya. Gerakan tangannya lihai meski keringat sebiji jagung di dahinya tak kunjung berhenti menetes. Jantungnya bahkan masih berderap kencang karena kabar bencana yang semula diumumkan melalui toa musala.
Leila keluar dari rumah saat menyadari ibunya sedang tak bisa diajak bicara. Di teras, ia melihat Arum yang sedang meloncat-loncat kegirangan. Terdengar suara lengkingannya, “Hore, ke Malang! Ke Malang! Hore!”
Betapa enaknya menjadi anak kecil, hanya berbahagia tanpa memikirkan keanehan yang tersembunyi. Arum masih berputar-putar di teras sambil berkata hore-hore, sedangkan ia masih dibingungkan dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Mau lihat semburan lumpurnya ndak?”
Leila yang masih melamun, tersentak saat Mira memukul punggungnya. Dia sudah berganti pakaian dengan kaus biru dan celana pendek olahraga bekas SD.
“Di mana emang?” tanyanya.
“Di Balongbendo.”
Leila menimbang-nimbang selama beberapa saat. Mungkin dengan melihat sumber permasalahan, ia bisa jadi lebih mengerti kenapa para orang dewasa gelisah setengah mati dengan kemunculan letupan lumpur itu.
“Ayo deh. Aku ganti seragam dulu.”
“Jangan lama-lama.”
Leila kembali masuk ke dalam rumah. Beruntung ibunya sedang tidak ada di kamar sehingga ia bisa mengambil baju ganti yang semula sudah berada di atas geraian kain kerudung yang siap dibungkus. Ia tak mau ketahuan akan pergi main di saat keadaan tampak genting.
“Buk, aku keluar sebentar!”
“Mbak! Ikut!”
“Moh6! Di rumah ae!”
Leila mengayuh sepedanya dengan cepat sebelum Arum menangis dan membuat ibunya keluar. Bisa-bisa ia tak diizinkan main, atau lebih buruknya lagi harus mengajak adiknya agar tak menangis.
“Jauh, ndak?” tanyanya sewaktu sudah menempuh enam meter dari rumah.
“Deket selep7 De Kaji!”
“Oh….”
De Kaji adalah kakak nomor empat dari ibu Mira dan ibunya. Ibu Mira anak nomor sepuluh, sedangkan ibunya si bungsu anak kesebelas. Namun, bukan berarti ia memiliki banyak Pak De dan Bu De karena yang tersisa hanya tinggal empat anak. Neneknya bilang kalau kebanyakan sudah meninggal saat bayi karena gizi buruk. Leila sendiri juga tak paham kenapa orang dulu suka sekali beranak pinak.
Sepanjang perjalanan menuju lokasi, ada banyak orang yang ia jumpai dengan tujuan yang sama. Mereka serentak menuju selatan, tepat sumber letupan berasal. Ada yang naik motor, sepeda, bahkan jalan kaki. Sayup-sayup Leila mendengar kalau sumber itu berada di persawahan dan dekat pabrik jam.