De Kaji sudah dua minggu tinggal di rumah karena lumpur telah meluap hingga ke Desa Balongbendo, tempat tinggalnya. Oleh karena itu, dia seringkali mengingatkan Umar untuk mulai memindahkan barang-barang yang penting ke tempat aman.
“Titipkan TV-mu ke rumah Rukiyah.”
“Nanti-nanti saja, Bah.”
“Lek10 lumpur datang tiba-tiba, dadi11 repot.”
Umar masih masa bodoh, bahkan sebagian besar orang lain pun juga sudah tak peduli lagi dengan luberan lumpur meski desa sebelah sudah terkena dampaknya.
“Sudah ada tanggul baru di perbatasan desa, pasti nggak bakal sampai sini,” pikir Umar.
De Kaji jengkel sendiri. Dia memilih mulai merapikan beberapa barang di rumah sendirian meski tanpa bantuan Umar. Nunuk ikut membantu dengan kembali menumpuk baju-baju menjadi buntalan di kerudung.
De Kaji dengan telaten membongkar dipan kasur sendirian meski penuh kesusahan. Firasatnya malam ini tak enak, sama seperti malam saat lumpur datang ke rumahnya di desa sebelah. Beruntung ia sudah memindahkan barang-barang berharga ke rumah Rukiyah, sanak saudara jauh yang tinggal di lain kecamatan.
Umar yang semula santai merokok di teras akhirnya sungkan juga karena iparnya terus bergerak membereskan rumah. Ia membuang putung rokok yang tinggal beberapa senti ke semak-semak depan rumah, lalu bangkit untuk membongkar dipan di kamar yang lain.
Malam itu, Leila sedikit kedinginan karena tertidur di atas kasur tanpa dipan. Ia membentangkan selimut hingga ke leher dan mencoba tidur nyenyak. Ia bermimpi bertemu idolanya, Adit, dalam acara musik nasional paling populer tahun ini. Namun, saat ia ingin berjabat tangan dengan Adit, mimpinya sudah hilang karena teriakan ibunya.
“Tangi12! Leila, bangun! Lumpure teko13!”
Nunuk menggoyang tubuh Leila hingga dia berjengit kaget. Leila menatap ibunya dengan mata yang masih meradang. Ibunya sedang kewalahan membawa dua buntelan besar yang berisi pakaian seisi rumah. Belum lagi membangunkan Arum yang masih lelap dengan mimpinya.
“Ayo bantuin Ibuk, Lei! Bawa yang lainnya!”
Leila meloncat dari kasur saat ibu menyentak. Tangannya dengan cepat membawa seplastik besar barang yang ia sendiri tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Ibu berlarian ke luar dan ke dalam rumah untuk mengecek apakah tak ada barang berharga yang tertinggal, sedangkan Leila sudah termenung di teras saat melihat luberan lumpur sudah sampai di depan rumah Mira, tepat di sebelah rumahnya.
“Ayo! Cepat! Cepat pergi!”
Leila tersentak saat bapak berteriak dari atas mobil pick up yang membawa barang-barang di rumahnya, termasuk televisi, kayu-kayu dipan, lemari, sofa, dan yang lainnya. Ia tak tahu sejak kapan ada mobil itu dan ia pun bingung kenapa lumpur itu sangat cepat sampai di rumahnya.
Arum yang baru bangun ikut termenung di sampingnya. Matanya melotot pada lumpur yang hampir menyentuh halaman rumah. Leila paham kalau dia sedang terkejut, karena ia pun juga merasakan hal yang sama.
Untuk kali pertama, ia melihat lumpur panas dengan jarak yang teramat dekat. Lumpur itu memiliki percikan bagai air yang mendidih. Ia jadi menduga-duga seberapa panas lumpur itu sampai-sampai ada banyak kepulan asap di atasnya.
“Cepat! Kalian kenapa bengong?!”
Nunuk menarik kedua tangan putrinya sambil berlari melewati semak-semak belukar yang terdapat di sebelah rumah, karena setengah halaman rumah sudah dijajah oleh lumpur panas. Ia tak mau mengambil resiko mencelakai kaki-kaki putrinya.
“Buk, sandal Arum….”