Satu-satunya hal yang menarik perhatian Leila saat sampai di Pasar Baru Porong adalah triplek kayu tipis yang sudah membentuk kubik-kubik di setiap penjuru pasar. Jika bisa menghitung, mungkin totalnya ada ratusan.
Triplek kayu itu bagaikan ruangan persegi panjang digunakan sebagai tempat pengungsian yang memuat dua keluarga. Bagian depan sudah penuh dengan warga yang rumahnya menjadi sasaran lumpur panas sejak awal. Leila dan seluruh penghuni dusun Wangkal mendapat tempat di tengah pasar.
“Kita akan tinggal di sini?” tanyanya pada bapak yang sedang sibuk menata kasur ke dalam ruangan yang tersekat triplek.
“Ya. Untuk sementara.”
“Terus habis itu kita balik pulang ke rumah?”
Pertanyaan kedua Leila tak mendapatkan jawaban. Bapak dan para orang dewasa lain sibuk berbondong-bondong mengisi ruangan yang katanya digunakan sebagai tempat tinggal, sedangkan beberapa di antara masih terlihat lemas dan pucat seolah-olah sedang sakit parah. Tatapan mata mereka tak menunjukkan setitik pun cahaya. Hanya ada rasa putus asa yang tergambar jelas di sana.
“Rumahku… rumahku….”
Mbah Rat, perempuan tua dengan rambut yang sudah sepenuhnya putih, terus menangis di depan ruang triplek. Kain jariknya yang lusuh digunakan untuk mengelap air mata yang terus-menerus mengalir di pipi.
“Kenapa menangis seperti itu?”
Leila sungguh tak mengerti. Mbah Rat adalah tetangga depan rumahnya dan dia sangat galak dan benci pada anak-anak, termasuk Arum. Ia tak pernah berhubungan dengan Mbah Rat karena tak mau kena bentak. Selama ini, ia kira perempuan tua itu hanya bisa marah tetapi bisa menangis juga.
Rasanya aneh sekali melihat orang yang bisa bersikap kasar tiba-tiba terlihat lemah. Hal ini mendorong kakinya untuk melangkah mendekat, meski ia sendiri tak tahu kenapa harus berhadapan dengan Mbah Rat, orang yang selama ini dihindari.
“Jangan menangis, Mbah. Nanti kita bisa balik ke rumah lagi kok.”
Leila bukan orang yang ahli menenangkan, tetapi ia mencoba dengan sebaiknya. Terbukti usahanya hanya berbuah sia-sia saat wajah Mbah Rat merengut dan mendorongnya.
“Mana bisa balik! Lumpur wis ngerebut omahku!”
Mbah Rat masih menangis, tapi juga marah dan meraung-raung hingga dalam sekejap semua orang menghentikan kegiatannya untuk melihat apa yang terjadi. Leila merasa menjadi tersangka utama karena membuat Mbah Rat terus berteriak dan hilang kendali. Perempuan tua itu bahkan sudah menunjuk-nunjuk wajahnya sambil berkata kalau dia orang bodoh.
“Goblok! Goblok! Koen iku goblok!”
Leila ingin menangis saat orang-orang mulai mendekat dan menunjukkan tatapan menghakimi. Abdi, putra sulungnya yang semula sibuk mengusung kasur langsung melupakan pekerjaannya untuk menenangkan.
“Pon, Buk. Pon15.”
Leila benar-benar merasa terpojokkan. Ia berlari menjauh saat orang-orang mulai mendekat. Ia menulikan telinganya atas pekikan bapak dan ibunya. Penyesalan memenuhi dirinya. Harusnya ia biarkan saja Mbah Rat menangis. Harusnya ia tetap diam.
“Dasar orang dewasa aneh.”
Leila terus berlari tak menentu arah. Mengabaikan fakta bahwa tempat ini sangat asing baginya. Ia baru sadar sudah berlari terlalu jauh saat melihat sebuah taman yang terletak di balik pagar. Ia menoleh ke belakang dan menyadari kalau berada di ujung pasar dan taman itu sudah di luar area pengungsian.
“Yah… nyasar.”
Jujur saja, ada ketakutan yang tersembunyi di benaknya. Namun, rasa marah dan kesal karena pekikan Mbah Rat membuat wajahnya tetap merengut keras. Ia berjalan ke pagar, lalu menyandarkan punggungnya hingga kini ia menatap seluruh wilayah pasar dengan jelas.
Semua orang benar-benar sedang sibuk. Sangat sibuk… hanya dirinya yang berdiam diri. Kesepian ini membuat bayang-bayang tentang lumpur semalam kembali datang. Ia masih ingat jelas betapa lumpur itu terlihat sangat panas dan menyeramkan. Lumpur yang kini ia benci karena telah menempatkannya di tempat asing seperti ini.