Leila tidak kembali ke ruko sampai matahari terbenam. Ia memilih menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri untuk mengelilingi keseluruhan pasar. Ia bertemu dengan banyak wajah baru yang asing. Dan ia pun baru tahu kalau ada ruko dari tembok yang berjejer di sebelah selatan yang ditempati warga desa yang rumahnya terkena lumpur pertama kali.
“Mbak!”
Leila baru sampai di ujung jalan deretan ruko saat Arum berlari ke arahnya. Anak itu datang sambil memeluk satu boneka barbie yang berhasil dia bawa sebelum pergi dari rumah.
“Mbak! Mbak dicari Bapak daritadi!” ucapnya sambil menarik tangan Leila.
Leila menghela napas panjang, tapi tak protes saat Arum terus menariknya menuju ruko. Ia bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Sudah dipastikan ia akan dimarahi habis-habisan karena tak pulang sejak mereka menginjakkan kaki di pengungsian.
“Leila!”
Badan Leila gemetar saat pekikan bapak sudah melengking bahkan saat ia belum masuk ke ruangan. Namun, tatapan matanya terjatuh pada ibu yang kini sudah duduk-duduk sambil tertawa bersama Bu Lek yang seruangan dengannya. Dan hal itu cukup membuat perasaan Leila lega karena ibunya tak menangis lagi.
“Kamu dari mana? Nggak ngerti kalau semua orang sibuk? Bukannya bantuin malah main sendiri!” Umar mengamuk. Suasana hatinya memang sudah buruk sejak semalam, ditambah kelelahan membereskan barang-barang di rumah dan sekarang di tempat pengungsian.
“Maaf….”
Tidak ada kata lain selain permintaan maaf. Meskipun Leila terus dimarahi selama sepuluh menit kemudian, ia tetap menerima dengan wajah menunduk. Beruntung tiga orang asing datang sambil membawa beberapa bungkus nasi.
“Ini jatah makan malam,” ucap lelaki dengan pakaian serba hitam.
“Yo, suwon.” Umar menerimanya, lalu masuk ke ruko tanpa mengatakan apa-apa lagi dan Leila akhirnya bisa bernapas lega karena sesi dimarahi telah selesai.
“Kamu tuh darimana? Udah tahu bapakmu emosional. Jangan cari gara-gara,” celetuk ibunya kemudian.
“Main sama Mira, Bagas.”
“Lain kali tahu waktu. Kamu juga belum tahu daerah sini, nanti nyasar.”
Leila yakin ibunya tak percaya kalau dia sudah hafal seluruh area pengungsian ini karena ia telah berjalan memutar sebanyak tiga kali. Ia bahkan tahu kalau ada beberapa warga pengungsi lama yang berjualan makanan dan keperluan lain, selayaknya tempat ini adalah area perumahan alih-alih pengungsian.
Makan malam yang disediakan adalah nasi putih dengan porsi besar, tahu goreng, ayam goreng, dan sambal. Semua orang makan dengan lahap karena mengingat belum makan sejak semalam. Leila yang biasanya melewatkan makan malam pun ikut makan dengan terburu-buru karena saking laparnya.
“Nasinya beli atau masak sendiri ya?”
Arum bertanya setelah merasa kenyang. Dia memang selalu mempertanyakan banyak hal, kadang-kadang tak ada yang menjawabnya karena terlalu banyak tanya yang terus terlontar dari mulut kecilnya itu.
“Masak. Tempatnya ada di gedung selatan pasar.” Leila menjawab dengan terus melahap nasinya.
“Kamu kok tahu?” Umar menyahut dengan menunjukkan tatapan tajam.
Dari matanya, Leila sudah sadar kalau orang tuanya sudah menaruh curiga karena ia sejak tadi berkeliaran. Akan bahaya jika mereka tahu kalau ia tahu gedung masak karena mencarinya sendiri
“Diceritain Mira.”
“Oh….”
Orang tuanya mengangguk-angguk, lalu lanjut makan. Leila diam-diam menghela napas lega, meski hatinya berkata maaf pada Mira karena menjadi alasan ke seribu kalinya agar ia terhindar dari masalah.
Setelah makan malam, tak ada yang dilakukan selain tidur lebih awal. Leila langsung terlelap saat kepalanya menyentuh bantal. Kedua tangannya juga menyengkram selimut erat-erat karena takut Arum menariknya. Adiknya itu suka mengambil alih selimut untuk dirinya sendiri di tengah mimpi.
Tidur harusnya menjadi obat lelah setelah banyak kejadian besar yang telah dilalui, tapi semuanya tak berjalan lancar. Leila sering terbangun karena komplotan nyamuk yang terus menyerang. Ia bahkan tak sadar telah menggaruk terlalu keras dan memukul dirinya sendiri terus menerus untuk mengusir nyamuk yang mencuri darahnya.
Saat pagi tiba, Leila dikejutkan dengan kakinya yang berdarah. Luka panjang tercetak di kedua kaki dan tangannya. Dan hal yang sama juga terlihat di tubuh Arum.
“Semalem lamuk tok,24” rengek Arum sambil menunjukkan tangannya yang terluka karena garukan kerasnya sendiri.
“Iya, nanti Ibu beli obat nyamuk,” balas ibunya, menenangkan. “Sekarang, ayo mandi sebelum antri.”
“Antri?” Leila bertanya bingung.