Kelahiran Kota Lumpur

Mbak Ai
Chapter #6

Bab 6: Penindasan Anak Pengungsian

Sudah satu minggu berlalu sejak Leila tinggal di pengungsian. Ia mulai terbiasa dengan antri kamar mandi subuh-subuh, serangan nyamuk yang menciptakan lecet di seluruh tubuh, juga kehadiran para relawan yang terus mengadakan kegiatan menarik dan berbagai macam hadiah.

Arum yang terlihat paling bahagia karena dia mendapatkan banyak boneka dari para relawan. Dia selalu pulang hampir maghrib dengan tangan yang penuh dengan hadiah.

“Kena lumpur seru juga ya!” serunya dengan tersenyum lima jari.

Semenjak di pengungsian ada banyak kunjungan dari berbagai mahasiswa, organisasi, bahkan pejabat negara. Semua orang sering berkumpul, lalu berteriak meminta kejelasan tentang nasib mereka pada bapak-ibu berseragam batik yang seringkali datang bersama gunungan sembako.

“Kita akan usahakan yang terbaik untuk semuanya.”

Barangkali, mereka saling berbagai jawaban hingga kalimatnya tak jauh berbeda saat menjawab pertanyaan warga.

Sebenarnya Leila tak terlalu tertarik dengan keramaian, tapi ibunya lebih sering menitipkan Arum padanya hingga mau tak mau ia ikut kemana pun Arum pergi. Beruntung Mira dan Bagas sesekali menemaninya karena mereka berdua suka bersaing saat mengikuti lomba.

Leila pikir, kehidupan di pengungsian akan terus berlalu seperti itu. Namun, sebuah kabar baik datang. Sekolah telah dimulai.

“Ayo yang cepet!” Leila menarik Arum agar berlari lebih cepat menuju kamar mandi.

Mereka berangkat ke kamar mandi lebih awal daripada hari-hari sebelumnya. Jam baru menunjukkan pukul setengah empat, tapi mereka berdua sudah membelah jalanan pasar demi sampai ke kamar mandi di ujung ruko.

“Aku ngantuk banget, Mbak.” Arum mengeluh.

“Kalau lama nanti antri makin lama. Hari ini kita sekolah! Nanti ditinggal!”

Leila terus berlari sampai kamar mandi. Ia bersyukur antrian lebih sedikit daripada kemarin. Pagi ini ibunya tak ikut karena sedang tak enak badan sehingga Leila diberi tanggung jawab untuk membantu Arum mandi.

Setelah lima belas menit menunggu, Leila dan Arum membersihkan diri dengan cepat. Untung saja Arum pagi ini tak terlalu bandel dan bisa mandi sendiri tanpa main air sehingga mereka tak membutuhkan waktu banyak untuk di kamar mandi.

Sesampainya di kamar, seragam mereka sudah rapi dan licin karena disetrika ibu. Semuanya berlalu dengan cepat, Leila dan Arum terlalu sibuk mempersiapkan diri ke sekolah sampai harus disuapi oleh ibu.

“Ayo! Mobilnya sudah datang!” Leila berseru pada Arum yang rambutnya masih dikuncir dua oleh ibu.

“Sudah sana berangkat. Jangan nakal,” ucap ibu saat Arum salim. Leila ikut mencium tangan ibunya sebelum berlari keluar mengejar mobil tentara yang berjejer di dekat ruko.

Ada sekitar lima mobil yang terjaga dan siap untuk mengantar seluruh anak-anak di pengungsian menuju sekolah masing-masing. Leila dan Arum harus berpisah karena jarak sekolah mereka sangat berbeda.

“Inget! Jangan sampai nyasar! Jangan ketiduran!” peringkat Leila.

Leila memang tak bisa berharap banyak pada anak yang baru masuk sekolah dasar, tapi ia akan terus berdoa agar adiknya yang menyebalkan itu benar-benar sampai ke tujuan dengan selamat. Setelah mengantar Arum ke mobil nomor dua, ia melangkah ke-empat. Mobil ini khusus mengantar anak-anak SMP.

“Ayo, Nduk.” Seorang TNI yang berjaga mengulurkan tangan untuk membantu Leila naik.

Leila mengambil uluran tangan itu, kedua kakinya menaiki undakan yang cukup tinggi demi berhasil masuk ke mobil. Namun, belum sempat ia naik ke atas, pergerakannya terhenti karena ucapan Mira di belakangnya.

“Mau kemana? Kita kan sekolah masuk siang.”

Leila menoleh dengan panik. Mira menatapnya dengan kepala miring. Kemudian, bibirnya menahan senyuman geli karena menyadari temannya tengah salah tanggap.

“Hahaha! Salah ya?!” Mira sudah terbahak-bahak hingga membuat wajah Leila memerah karena malu.

Leila kembali turun dengan bantuan bapak tentara. Ia mengucap terima kasih dengan sangat pelan dan segera berlari dari area parkir.

Wajahnya benar-benar menunduk dalam. Ia sangat tak suka menjadi pusat perhatian, tapi ia yakin kalau semua anak di mobil tadi sedang melihat ke arahnya.

“Hahaha! Mau kemana?” Mira masih saja menggoda dengan terus tertawa.

Lihat selengkapnya